Isu Terkini

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams: Sendiri Tolak Revisi UU KPK dan Sindir Jokowi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Foto: Dok. Humas Mahkamah Konstitusi

Sosok Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi sorotan luas saat sidang putusan uji materi UU KPK, Selasa (4/5/21). Ia ramai dipuji karena menjadi satu-satunya hakim yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion.

Wahiduddin Adams menyatakan ada sejumlah indikator yang membuat UU KPK baru memiliki sejumlah masalah konstitusi dan moral yang serius. Saat semua hakim menolak gugatan mengenai proses revisi UU KPK, Wahiduddin justru menyatakan proses revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 itu dilakukan dalam waktu singkat dan secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.

“Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik,” kata Wahiduddin saat membacakan pandangannya dalam sidang yang digelar secara daring di YouTube MK RI, Selasa (4/5/21).

Wahiduddin Soroti Pemerintah Siapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Kurang dari 24 Jam

Wahiduddin menyoroti sikap pemerintah yang diduga menyiapkan DIM atas RUU KPK hanya dalam waktu kurang dari 24 jam saja. Oleh karena RUU tersebut merupakan usul inisiatif DPR, maka DIM disiapkan oleh Presiden.

Baca juga: Uji Materi UU KPK: Penyadapan, Penggeledahan dan Penyitaan, Tak Perlu Izin Dewan Pengawas | Asumsi

“Dengan diperolehnya fakta dari keterangan pembentuk Undang-undang bahwa rapat kerja (Raker) pertama dilaksanakan pada tanggal 12 September 2019 dan Rapat Panitia Kerja pertama dilaksanakan tanggal 13 September 2019, sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa DIM RUU ini disiapkan oleh presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam,” kata Wahiduddin.

Menurutnya, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa pandangan dan pendapat presiden serta DIM dapat disampaikan kepada DPR dalam waktu paling lama enam puluh hari sejak RUU diterima Presiden.

Wahiduddin menyebut singkatnya waktu penyusunan DIM oleh presiden berdampak pada minimnya partisipasi masyarakat, minimnya masukan yang diberikan berjenjang dan kajian analisis dampak terhadap pihak yang akan melaksanakan ketentuan UU KPK.

Secara keseluruhan, menurutnya, hal ini menyebabkan nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU.

“Dalam konteks ini, saya tak menemukan argumentasi dan justifikasi apa pun yang dapat saya terima berdasarkan common sense bahwa suatu perubahan yang begitu banyak, dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK, disiapkan dalam bentuk DIM kurang dari 24 jam. Padahal, jangka waktu yang dimiliki oleh Presiden untuk melaksanakan itu adalah paling lama 60 hari,” ucapnya.

Soroti Revisi UU KPK yang Dilakukan saat Momentum Pilpres dan Pileg 2019

Wahiduddin mengatakan, revisi juga dilakukan bertepatan dengan momentum spesifik, yakni pada masa Pilpres dan Pileg 2019. Lalu, revisi UU KPK disahkan Presiden Jokowi menjadi UU beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR periode 2014-2019, dan beberapa pekan menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden pada periode pertama.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Uji Materi Eks Pimpinan KPK, UU KPK Baru Tetap Berlaku | Asumsi

Menurut Wahiduddin, pembentukan UU yang dilakukan dalam jangka waktu relatif sangat singkat, dan pada momentum spesifik yang mengundang pertanyaan besar, memang tak secara langsung menyebabkan UU itu inkonstitusional.

Namun, ia mengatakan, singkatnya pembentukan UU KPK ini jelas berpengaruh signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat, dan berbagai sistem pendukung yang ada di sisi Presiden maupun DPR.

“Serta sangat minimnya kajian dampak analisis terhadap pihak yang akan melaksanakan undang-undang a quo, in casu KPK,” kata Wahiduddin.

Menurut Wahiduddin, akumulasi dari kondisi yang disebutkan itu mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas UU KPK. Ia menyebut seluruh tahapan prosedural secara kasat mata memang telah ditempuh secara formil.

“Namun, yang sejatinya terjadi adalah hampir pada setiap tahapan prosedur pembentukan undang-undang a quo terdapat berbagai persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang cukup serius.”

Apa Alasan Wahiduddin Memberi Dissenting Opinion?

Wahiduddin mengungkapkan alasan di balik dissenting opinion yang ia sampaikan dalam sidang putusan uji materi UU KPK tersebut.

“Saya berijtihad untuk menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini, yaitu menyatakan bahwa pembentukan Undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 sehingga Undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Wahiduddin.

Penolakan itu ia sampaikan dengan alasan agar pembentuk UU dapat mengulang proses pembentukan undang-undang mengenai KPK dengan cara yang lebih baik, dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional. Wahiduddin menyampaikan bahwa ada tiga opsi yang ia pertimbangkan mengenai aspek formil dan materi UU KPK.

Pertama, menolak seluruh permohonan. Kedua, mengabulkan sebagian, dan ketiga, mengabulkan seluruh gugatan. Wahiduddin pun memberikan penjelasan rinci mengenai tiga opsi tersebut.

Baca juga: Skandal Menggerogoti KPK, Kini Jadi Komisi ‘Diberantas’ Korupsi? | Asumsi

Menurutnya, opsi pertama tak mungkin dipilih lantaran begitu terang benderangnya pelanggaran konstitusi yang terdapat dalam revisi UU KPK tersebut. Terkait opsi kedua, Wahiduddin menilai, hal itu hanya akan menyebabkan pengaturan mengenai KPK dan pemberantasan korupsi semakin compang-camping.

Di sisi lain, MK dinilai berpotensi tergelincir, berubah fungsi untuk melakukan Legislatory on Governing from the Bench atau bahkan Mahkamah akan dicatat sejarah telah menjadi apa yang dikhawatirkan oleh Richard A Posner (2006) sebagai The Judge as Occasional Legislator dalam bentuk yang paling ekstrem.

Sementara opsi ketiga menjadi pilihan Wahiduddin. Menurutnya, pemilihan opsi ketiga diharapkan bisa menyiratkan pesan kepada pembentuk undang-undang dan masyarakat bahwa secara materiil terdapat gagasan yang baik dan konstitusional terhadap KPK dalam UU a quo.

“Oleh karena itu, manakala hal tersebut dibentuk dengan cara dan prosedur yang lebih baik, dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional, dan proporsional, diharapkan dapat terwujud, secara kelembagaan, KPK yang lebih baik dibandingkan KPK yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Wahiduddin.

Wahiduddin menyampaikan bahwa yang terpenting adalah bukti agar para pencari keadilan dan masyarakat percaya bahwa mekanisme pengujian formil di MK betul-betul ada dan bukan sekadar indah dalam cerita.

Menurutnya, hal ini juga bisa menjadi instrumen penyeimbang bagi agresifnya kekuatan politik mayoritas di DPR dalam pembuatan UU. “Berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan di atas, saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon.”

Sayangnya, suara Wahiduddin justru kalah telak dengan delapan hakim konstitusi lainnya yang menolak gugatan pemohon. Alhasil, UU KPK baru pun tetap sah dan berlaku.

Hakim Wahiduddin Adams Sindir Presiden Jokowi

Wahiduddin juga menyindir Presiden Jokowi yang dianggap absurd lantaran tak mau menandatangani UU KPK, tapi justru mau menandatangani peraturan turunan UU KPK.

Baca juga: OTT Dianggap Tak Bikin Jera, Gimana Harusnya Koruptor Ditindak? | Asumsi

“Tidak adanya jawaban yang pasti, dan meyakinkan mengenai alasan Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani Undang-Undang a quo, sehingga pengesahan Undang-Undang a quo didasarkan pada ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945,” kata Wahiduddin.

Lebih lanjut, meski tak menandatangani Undang-Undang a quo, Presiden Jokowi, dalam jangka waktu yang relatif cepat, justru menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang a quo.

Tentu ini dinilai sangat jauh berbeda dengan praktik dan konteks beberapa UU sebelumnya yang pengesahannya juga tidak dalam bentuk tanda tangan Presiden. Pada umumnya, Presiden masih memerlukan waktu yang tidak secara segera menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan dari suatu undang-undang yang tidak ditandatanganinya.

“Dengan tidak adanya jawaban yang pasti dan meyakinkan mengenai alasan Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani Undang-Undang a quo ini, namun di sisi lain, begitu cepat menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan, menyebabkan terjadinya absurditas praktik ketatanegaraan dan semakin terpeliharanya praktik pembentukan undang-undang yang tidak didasarkan pada budaya yang membiasakan adanya justifikasi (culture of justification),” ujarnya.

Share: Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams: Sendiri Tolak Revisi UU KPK dan Sindir Jokowi