Isu Terkini

MK Tolak Gugatan Uji Materi Eks Pimpinan KPK, UU KPK Baru Tetap Berlaku

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Mahkamah
Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan atau gugatan uji
materi atau 
judicial
review
 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Selasa (4/5/21). Itu artinya UU KPK yang
baru tetap berlaku.

Gugatan tersebut diajukan Tim Advokasi UU KPK
yang terdiri dari mantan pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, Saut
Situmorang dkk. Adapun putusan menolak permohonan Tim Advokasi UU KPK tersebut
dibacakan Ketua MK Anwar Usman.

“Menolak permohonan para pemohon untuk
seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan tersebut
yang disiarkan secara langsung di YouTube MK RI, Selasa
(4/5).

Terdapat beberapa pertimbangan majelis hakim
konstitusi dari berbagai dalil permohonan yang diajukan pemohon. Hal inilah
yang mendasari penolakan hakim. MK berpendapat dalil para pemohon yang
menyatakan UU KPK yang tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR
RI dan terjadi penyelundupan hukum, tidak beralasan menurut hukum.

Menurut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, RUU
KPK sudah masuk dalam Prolegnas sejak lama, sehingga terkait lama atau tidaknya
pembahasan, itu tergantung pada UU itu sendiri.

Baca juga: Mahfud MD: Indonesia
Ada Kemajuan Meski Banyak Korupsi | Asumsi

“Terutama untuk mengharmonisasi antara
RUU yang satu dengan yang lain. Sehingga, tidak menutup kemungkinan, terjadi
perbedaaan waktu dalam melakukan harmonisasi undang-undang,” kata Arief.

Setidaknya, ada sejumlah dalil yang
disampaikan Tim Advokasi UU KPK dalam permohonannya yang menuntut agar UU KPK
dinyatakan cacat formil sehingga tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.

Salah satunya, Tim Advokasi UU KPK menilai UU
KPK cacat prosedural, terutama pada bagian Perencanaan, Penyusunan, dan
Pembahasan yang dilandasi oleh lima bangunan argumentasi.

Selain itu, pemohon juga mendalilkan mengenai
KPK yang tidak diundang dalam pembahasan revisi UU KPK, tapi justru hanya
mengikutsertakan dua perwakilan pemerintah, yakni Menteri Hukum dan HAM dan
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam pembahasan
tersebut.

Namun, dalil ini juga dinilai tak beralasan
menurut hukum. MK berpendapat justru KPK sendiri yang menolak untuk dilibatkan
meski sudah diundang.

Dalam hal ini, Hakim Konstitusi Saldi Isra
menyebut berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan pembuat UU, yakni DPR, sudah
melibatkan masyarakat dan
 stakeholder terkait,
termasuk pimpinan KPK dalam pembahasan RUU. Ia mengatakan bahwa Mahkamah juga
sudah melihat bahwa pimpinan KPK sudah diajak untuk terlibat dalam pembahasan.

“Menemukan fakta bahwa beberapa kali KPK
menolak menghadiri proses pembahasan rencana revisi Undang-Undang KPK. Hal demikian
berarti bukanlah pembentuk undang-undang, DPR dan presiden yang tidak mau
melibatkan KPK, tetapi secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam
proses pembahasan rencana revisi Undang-Undang KPK,” kata Saldi.

“MK berpendapat permohonan para pemohon
tidak beralasan menurut hukum seluruhnya.”

Baca juga: Pertanyaan Janggal Warnai Tes KPK,
Sudah Dirancang Untuk Menyingkirkan? | Asumsi

Kemudian, terkait adanya berbagai penolakan
kalangan masyarakat perihal pengesahan RUU KPK, Mahkamah berpendapat bahwa hal
itu merupakan bagian dari kebebasan menyatakan pendapat karena kegiatan
tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok yang menolak, tetapi juga yang
mendukung.

Menurut Saldi, terkait dalil naskah akademik
fiktif juga dinilai Mahkamah tak beralasan menurut hukum. Mahkamah juga menilai
dalil terkait tidak kuorumnya pengesahan RUU KPK dalam rapat paripurna, tidak
beralasan menurut hukum.

“Naskah akademik yang dijadikan bukti
oleh para pemohon adalah naskah akademik yang memiliki halaman depan atau 
cover per
tanggal September 2019. Sementara naskah akademik yang dijadikan lampiran bukti
oleh DPR tidak terdapat halaman depan atau kabar dan tidak tercantum
tanggal,” kata Saldi.

Sementara terkait Presiden Joko Widodo yang
tidak menandatangani UU KPK hasil revisi, Saldi mengungkapkan hal itu tidak
bisa dijadikan tolok ukur bahwa telah terjadi pelanggaran formil.

Sebab, lanjutnya, meski tidak ditandatangani
presiden, UU KPK tetap berlaku dengan sendirinya apabila dalam waktu 30 hari
tidak ditandatangani.

Namun, dalam sidang putusan tersebut, ada
satu orang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda atau 
dissenting opinion mengenai
perihal pemohonan pengujian formil UU KPK tersebut, yakni Wahiduddin Adams. Ia
berpendapat bahwa seharusnya MK mengabulkan permohonan uji materi UU KPK.

MK membaca putusan uji materi UU Nomor 19
Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Selasa
(4/5). Adapun gugatan uji materi revisi UU KPK masing-masing tercatat dengan
nomor perkara 59/PUU-XVII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019,
71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, 77/PUU-XVII/2019, dan 79/PUU-XVII/2019.

Saat ini ada juga enam permohonan uji materi
UU KPK lainnya dan sidang putusan terhadap enam permohonan lainnya tersebut
masih berlanjut.

Baca juga: Skandal Menggerogoti
KPK, Kini Jadi Komisi ‘Diberantas’ Korupsi? | Asumsi

Selain eks pimpinan KPK, Agus Rahardjo dkk,
pemohon lain dalam perkara ini adalah Erry Riyana Hardjapamekas, Mochammad
Jasin, Omi Komaria Madjid, dan Betti S Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo.

Lalu, ada pula Mayling Oey, Suarhatini Hadad,
Abdul Fickar Hadjar, Abdillah Toha, dan Ismid Hadad. Sedangkan 39 kuasa hukum
meliputi Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, YLBHI, hingga sejumlah
kantor hukum profesional.

Para pemohon dan kuasa hukum tidak
mengatasnamakan lembaga dalam pengajuan permohonan
tersebut, 
melainkan atas nama pribadi sebagai warga negara.
Adapun permohonan uji formil mereka telah teregistrasi di MK dengan nomor
1927-0/PAN.MK/XI/2019.

Share: MK Tolak Gugatan Uji Materi Eks Pimpinan KPK, UU KPK Baru Tetap Berlaku