Isu Terkini

Skandal Menggerogoti KPK, Kini Jadi Komisi ‘Diberantas’ Korupsi?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jadi sorotan luas dalam beberapa hari terakhir. Salah seorang oknum penyidik KPK yang berasal dari kepolisian, AKP Stepanus Robin Pattuju ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara Tahun 2020-2021, M. Syahrial. Komisi antirasuah itu juga digerogoti masalah-masalah lain yang mencoreng citra lembaga.

Sebelumnya, penyidik KPK dari Polri Stepanus Robin Pattuju disebut menerima suap dari M. Syahrial senilai Rp1,5 miliar. Suap itu diduga diberikan dengan janji Robin bisa menghentikan kasus korupsi Syahrial yang sedang diselidiki KPK. Robin ditangkap pada Selasa (20/4/21).

Mirisnya, kasus yang menjerat Robin tersebut merupakan skandal ketiga yang terjadi di KPK dalam sebulan terakhir. Pada Kamis (8/4/21), KPK dikejutkan dengan aksi pegawainya–berinsial IGAS–yang mencuri barang bukti berupa emas seberat 1,9 kg dan menggadaikannya untuk membayar utang. IGAS akhirnya diberhentikan dengan tidak hormat oleh Dewan Pengawas KPK.

Baca juga: Pegawai KPK Curi Barang Bukti Emas, Ini Kronologinya!

Masalah lain yang menghampiri KPK adalah dugaan pembocoran informasi penggeledahan di perusahaan PT Jhonlin Baratama dalam perkara suap pemeriksaan pajak. Kebocoran informasi itu membuat KPK gagal mendapatkan barang bukti kasus dugaan suap terkait pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017 pada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan saat menggeledah Kantor PT Jhonlin Baratama, Jumat (9/4/21).

KPK Mulai Digerogoti Masalah Sejak Akhir 2019?

Eks Juru Bicara KPK sekaligus pegiat anti korupsi Febri Diansyah mengatakan bahwa sederet masalah dan kontroversi KPK yang belakangan terjadi, justru sudah muncul sejak akhir 2019 lalu. Ia menyebut salah satu pemicu kontroversi ini karena revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK.

“Memang tidak semuanya berkonsekuensi langsung akibat revisi UU KPK. Tetapi beberapa kontroversi-kontroversi yang baru itu tidak bisa kita lepaskan dari dua fenomena umum ya. Pertama dari revisi UU KPK sendiri dan yang kedua pemilihan pimpinan KPK yang awalnya memang kontroversi dan banyak sekali kritik di publik,” kata Febri, dalam program Apa Kabar Indonesia Malam tvOne yang dikutip Minggu (25/4/21).

Febri mengatakan dua hal tersebut yang akhirnya membuat sederet kontroversi bermunculan di internal KPK. Sehingga, ia pun tak heran dengan kasus pemerasan yang menjerat AKP Stepanus terhadap Wali Kota Tanjungbalai, lalu kasus pencurian emas oleh pegawai KPK, serta hilangnya bukti sehingga membuat penggeledahan gagal dilakukan oleh KPK.

Tak hanya itu, Febri juga menyoroti langkah KPK soal menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus BLBI. Padahal, kasus tersebut menyebabkan dugaan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp4,58 triliun.

“Ada banyak lagi revisi struktur kemudian rencana kenaikan gaji pimpinan. Bahkan pelanggaran etik Ketua KPK sendiri yang sudah terbukti dan Harun Masiku yang tidak pernah ditemukan sampai saat ini. Deretan kontroversi itu terjadi dalam waktu tidak terlalu lama sebenarnya di KPK,” ucapnya.

Febri pun menilai wajar pada akhirnya publik melihat ada yang salah di KPK kalau berkaca dengan munculnya kontroversi-kontroversi tersebut. Selain itu, ia juga menyoroti perihal izin penggeledahan yang berlapis-lapis sejak revisi UU KPK sehingga menyulitkan pergerakan komisi antirasuah itu.

“Sekarang, KPK sudah tidak bisa lagi melakukan penggeledahan dalam keadaan mendesak. Dulu KPK bisa ketika ada alat bukti yang dikhawatirkan akan berpindah maka bisa dilakukan penggeledahan dalam keadaan mendesak.”

Febri menyebut dengan kewenangan SP3 yang dimiliki KPK saat ini, dikhawatirkan malah akan jadi ladang potensial transaksional. Sehingga, kondisi itu pun membuatnya menyarankan perlu adanya pembenahan serius terhadap KPK agar tak membusuk dari dalam. Ia juga mengingatkan soal keberadaan Dewan Pengawas KPK yang dinilai kurang bertaji.

“Dewan mampu nggak mendeteksi kejadian yang sejak enam bulan lalu ketika ada pertemuan dengan salah satu pimpinan DPR RI terkait perkara ini. Ternyata nggak mampu kan. Baru kali ini.”

Eks Pimpinan KPK: Pimpinan KPK Sebaiknya Mundur

Sementara itu, eks pimpinan KPK Bambang Widjojanto menilai skandal penyuapan penyidik KPK Stepanus oleh Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial merupakan aib bagi komisi antirasuah. BW, sapaan akrabnya, meminta agar komisioner KPK saat ini mundur dari jabatannya.

“Untuk menghilangkan aib dan karma yang sangat memilukan dan memalukan ini, pimpinan KPK sebaiknya segera mengundurkan diri,” kata Bambang lewat keterangan tertulis, Jumat (23/4/21).

BW juga ikut menyoroti kasus-kasus lain yang menggerogoti KPK seperti pencurian barang bukti emas seberat 1,9 kg oleh pegawai KPK. Menurutnya, ada tren integritas di KPK yang sudah tak lagi diutamakan. “Ada tren integritas tak lagi dimuliakan dan ditempatkan sebagai kehormatan dan nilai”.

BW mengaku khawatir kalau tren tersebut akan berlanjut selama pimpinan KPK saat ini tak bisa menjadi teladan bagi pegawainya. Menurutnya, pimpinan KPK seharusnya bisa menampilkan dan menjaga integritas tanpa cela sedikitpun.

“Tidak ada jaminan virus nirintegritas tidak menginfeksi insan KPK lainnya ketika keteladanan dari pimpinan KPK tidak bisa ditunjukkan secara tegak lurus. Bahwa mereka menjadi garda terdepan yang bisa dicontoh dan dihormati karena senantiasa menjaga integritas dan akuntabilitasnya tanpa cela,” kata BW.

Pengamat: Intergritas Personal Tak Cukup Tangguh di KPK

Terkait berbagai skandal dan masalah yang belakangan menghampiri KPK, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang Kepolisian, Bambang Rukminto mengatakan, pada dasarnya kejahatan itu bisa muncul oleh siapa saja karena adanya niat, kesempatan, dan kemampuan.

Menurutnya, masalah di KPK tak akan selesai karena keberadaan integritas personal yang baik saja.

“Jadi problem-nya tidak cukup integritas personal saja. Seseorang yang punya integritas baik, bisa saja berubah menjadi tidak baik ketika ada kesempatan berbuat jahat. Apalagi ditopang dengan kemampuan,” kata Bambang saat dihubungi Asumsi.co, Sabtu (24/4/21).

Menurut Bambang, kesempatan berbuat jahat oleh oknum penegak hukum itu sangat besar, karena mereka diberikan kemampuan berupa kewenangan oleh negara. Tanggung jawab yang besar, kata Bambang, itu memang harus diserahkan pada orang-orang yang berintegritas.

Baca juga: OTT Dianggap Tak Bikin Jera, Gimana Harusnya Koruptor Ditindak?

“Tetapi memastikan seseorang berintegritas atau tidak itu tidak mudah. Harus melalui sistem kontrol yang ketat. Siapa mengawasi apa, siapa, bagaimana sistemnya dan sebagainya,” ujarnya.

Bambang menilai selama sistem kontrol dan pengawasannya lemah, maka kasus-kasus yang terjadi di KPK belakangan itu akan terulang. “Bahkan bukan hanya terulang, saat ini terus terjadi, cuma tidak terbuka saja karena rasio antara pengawas dengan yang diawasi sangat tidak seimbang.”

Sementara itu, pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan bahwa KPK sebenarnya diciptakan sebagai lembaga yang menjadi watchdog bagi lembaga-lembaga negara lainnya. Oleh karena itu, lanjut Fickar, berbeda sistem keuangannya.

“Tetapi karena orang-orang KPK itu orang juga, maka tidak mustahil sifatnya akan sama dengan manusia lainnya yang menggambarkan ada sisi setan dan sisi malaikatnya. Hanya saja untuk KPK dengan sistem penggajian yang lain, juga dengan sendirinya sanksi atas pelanggaran aturannya harus maksimal,” kata Fickar saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (23/4/21).

Oleh karena itu, menurut Fickar, pelanggaran yang terjadi di dalamnya tidak boleh ditoleransi dan harus langsung dipecat. Bahkan, jika mungkin, bukti kuat dipidanakan. Namun, secara sosiologis dapat dipahami karena penyidik KPK tidak hanya berasal dari KPK sendiri saja, sebagian besar berasal dari kepolisian juga.

“Karena itu tak terhindarkan pula terjadi penyimpangan-penyimpangan. Oleh karenanya, harus ada penetapan sanksi yang ekstrem, selain diberhentikan, juga dituntut secara pidana,” ucapnya.

Share: Skandal Menggerogoti KPK, Kini Jadi Komisi ‘Diberantas’ Korupsi?