Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menilai Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang selama ini dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi tak membuat koruptor jera. Hal itu disampaikannya saat peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Stranas PK 2021-2022 yang ditayangkan secara virtual pada Selasa (13/4/2021).
“Kita lihat, OTT sendiri pun, menurut saya, buahnya tidak seperti yang kita harapkan, dimana orang jadi kapok. Tidak juga,” kata Luhut.
Menurut dia, yang penting dilakukan dalam menangani tindak pidana korupsi adalah tindak pencegahan. Namun pencegahan korupsi tidak boleh dilakukan asal-asalan. Pencegahan korupsi dikatakannya harus lebih rinci dan dilaksanakan dengan koordinasi yang baik antar kementerian/lembaga.
“Sebenarnya peluang itu (korupsi) terjadi karena kesalahan kita semua juga. Kita jangan biarkan orang terjerumus kalau kita masih bisa ingatkan,” kata dia.
Sepengalamannya menjabat di pemerintahan, Luhut menilai, era Jokowi merupakan era dimana pencegahan menjadi kanon utama penanganan korupsi. Sejak dikedepankan pada tujuh tahun lalu, Luhut mengklaim, pencegahan baru terasa membuahkan hasil belakangan ini .
Untuk itu, Luhut ingin berbagai upaya pencegahan korupsi bisa ditingkatkan lagi ke depan. Dia juga meminta KPK untuk memaksimalkan perannya dalam pelaksanaan pencegahan ini. Begitu juga para kementerian/lembaga lain.
“Fungsi KPK ini ada tiga, yakni pengawasan, pencegahan, dan penindakan. Pencegahan ini menjadi salah satu faktor yang penting, jangan hanya penindakan saja yang menonjol,” ucap dia.
Jangan semata-mata salahkan OTT
Menanggapi ini, pengamat hukum dari Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menyebut kalau OTT hanya merupakan salah satu cara dalam penegakan hukum. Jadi kalau dianggap OTT belum menjerakan tak bisa semata-mata menyalahkan tindak OTT-nya. “Maka hal itu bukan karena OTT yang salah,” kata Agustinus.
Sebaliknya, kalau pencegahan sudah berhasil maka tentunya akan berdampak pada menurunnya tindak pidana korupsi. “Faktanya masih banyak OTT, bahkan pada level pimpinan, seperti menteri, gubernur dan bupati. Ini berarti pencegahan juga belum berhasil,” ucap dia.
Menurut Agustinus, yang perlu dilakukan untuk memberantas korupsi adalah komitmen yang kuat dan konsisten untuk mengatasi korupsi. Dan itulah yang selama ini belum ada. Agustinus mengatakan, pada masa pemerintahan presiden SBY, korupsi justru dilakukan oleh mereka yang mengatakan “Tidak”. Saat ini, kebijakan pemerintah terhadap KPK juga belum mengalami perubahan.
“Sudah terlalu banyak saran dan diskusi untuk mencoba menghentikan korupsi. Faktanya, (korupsi) belum juga berakhir,” kata dia.
UU KPK Lemahkan OTT
Sementara itu, Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut revisi UU KPK menjadi salah satu hal yang melemahkan OTT saat ini. Kurnia menyitir kegagalan KPK sekarang dalam melakukan OTT.
Menurut dia, OTT saat ini mesti dilakukan atas seizin Dewan Pengawas. Sementara dalam undang-undang KPK sebelumnya, penggeledahan dilakukan dengan mekanisme Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Regulasi itu menyebutkan bahwa dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penggeledahan, setelahnya baru melaporkan ke ketua pengadilan negeri,” kata Kurnia.
Kurnia menilai aturan sekarang justru membuat kerja penyidik menjadi lamban karena harus mengikuti proses birokrasi dari bawah hingga ke pucuk.
Bukan kali ini info penggeledahan bocor. Kasus lain dalam penyidikan kasus suap bantuan sosial COVID-19 yang melibatkan Menteri Sosial Juliari Batubara. Ketika disatroni sudah tidak ada lagi barang bukti yang tersisa.
Karenanya, ia menuntut KPK bertindak aktif dengan menggelar pengusutan internal oleh Dewan Pengawas dan penyelidikan obstruction of justice.