Indonesia Corruption Watch (ICW) buka suara soal pleidoi Mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, Juliari Batubara. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, hukuman 11 tahun yang dituntut oleh JPU KPK dianggap sudah terlalu ringan bagi Juliari, apalagi meminta bebas.
“Untuk itu, ICW mendesak agar majelis hakim mengabaikan pleidoi yang disampaikan oleh Juliari,” ucap Kurnia, kepada Asumsi.co, Rabu (11/8/2021).
Menurut Kurnia, karena kesalahannya menyelewengkan duit bansos di masa pandemi ini, hukuman paling pantas untuk Juliari dan komplotannya adalah vonis seumur hidup penjara. Tuntutan JPU yang masih ringan pun, hendaknya diabaikan oleh majelis hakim. Mengingat, begitu merusak dan merugikannya tindakan korupsi yang dilakukan Juliari dan komplotannya.
“Vonis seumur hidup ini menjadi penting, selain karena praktik kejahatannya, juga berkaitan dengan pemberian efek jera agar ke depan tidak ada lagi pejabat yang memanfaatkan situasi pandemi untuk meraup keuntungan,” kata Kurnia.
Selain itu, Kurnia juga melihat kalau Juliari begitu egois. Selain meminta bebas karena alasan keluarga, ia juga hanya menyampaikan permohonan maaf kepada Presiden Joko Widodo sebagai bosnya, kala menjabat sebagai Menteri Sosial, dan kepada Megawati Soekarnoputri, Ketua PDI Perjuangan, partai tempat Juliari merintis karier sebagai politisi. Sementara ke masyarakat Indonesia, yang sudah dicederai amanatnya, Juliari tak mengucap sepatah kata maaf pun.
Baca Juga: Pledoi Juliari, Egois dan Tak Tahu Malu | Asumsi
Menurut Kurnia, hal ini cukup membuat geram. Sebab, pihak yang paling terdampak atas praktik kejahatan Juliari adalah masyarakat. Bukan Presiden bahkan ketua partai.
“Penderitaan yang dirasakan oleh Juliari tidak sebanding dengan korban korupsi bansos. Mulai dari mendapatkan kualitas bansos buruk, kuantitas bansos kurang, bahkan ada pula kalangan masyarakat yang sama sekali tidak mendapatkannya di tengah situasi pandemi Covid-19,” tuturnya.
Pleidoi Juliari Dianggap Tak Tahu Diri
Nota pembelaan yang dibacakan Juliari, pada Senin (9/8/2021) memang memantik kemarahan publik. Sebab, Juliari dianggap tak tahu diri dengan meminta vonis bebas pada hakim.
Tiga hari berselang, pembahasan soal Juliari di publik tetap juga ramai. Di media sosial Twitter, bahkan nama Juliari yang disandingkan dengan kata hujatan menjadi trending topic. Hingga hari ini sudah 21 ribuan pengguna Twitter yang mencuit soal Juliari.
Ketika kata kunci trending topic ini diklik, begitu banyak luapan kemarahan publik atas pleidoi Juliari. Bentuknya macam-macam. Mulai dari kemarahan yang eksplisit, sindiran, hingga becandaan.
Seorang pengguna Twitter misalnya, mengunggah meme dengan wajah Juliari tersenyum. Meme ini dilengkapi dengan teks berjudul “Pentingnya Menabung”. Isinya menceritakan kisah sukses seorang menteri yang berhasil mengumpulkan Rp 17 miliar hanya dengan menyisihkan uang sebesar Rp 10.000 per hari.
Pleidoi Juliari Sudah Sesuai Fakta Persidangan
Kuasa Hukum Juliari Batubara, Maqdir Ismail, mengatakan, permohonan bebas yang dibacakan Juliari lewat pleidoinya, mengacu pada fakta persidangan. Menurut pihaknya, tidak ada bukti penerimaan uang sebagai suap atau gratifikasi oleh Juliari Batubara. Saksi yang disebutkan sebagai penerima untuk kepentingan Juliari Batubara, membantah pernah menerima uang.
“Para saksi yang hadir di persidangan menerangkan bahwa mereka tidak pernah memberikan uang untuk Pak Juliari P Batubara. Bahkan, dalam pikiran mereka bahwa uang yang diserahkan kepada Matheus Joko Santoso adalah untuk dia dan tim pengadaan, bukan untuk Pak Juliari P Batubara,” ujar Maqdir saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (11/8/2021).
Baca Juga: Bisa Beli Apa Saja dari Uang Suap yang Diduga Diterima Juliari Sebanyak Rp32,4 Miliar? | Asumsi
Maqdir pun menilai, orang yang tidak mengakui menerima uang dan didukung oleh saksi lain, harus dihormati haknya dan harus dianggap benar. Apalagi, saksi yang memberi keterangan tersebut adalah saksi yang tidak mempunyai kepentingan dengan perkara.
“Orang yang tidak mengakui menerima uang dan dibenarkan oleh saksi, tidak boleh dianggap berbelit-belit. Sebab, jika orang seperti Pak Juliari P Batubara, dipaksa untuk mengakui sesuatu yang tidak dia lakukan, dan dibenarkan oleh saksi, maka paksaan untuk mengakui itu adalah bentuk kezaliman atas nama penegakan hukum. Dan kalau dia mengakui, sesuatu yang tidak dia lakukan, maka sama artinya dia menzalimi dirinya sendiri,” ucap Maqdir.
Tim Kuasa Hukum Juliari pun menyebutkan, sampai sekarang tidak ada respons yang tegas dari Penuntut Umum KPK, untuk menyampaikan bukti adanya penerimaan uang oleh Juliari. Mereka hanya bertahan pada argumen ada uang yang diterima oleh Juliari, tanpa mereka buktikan. Padahal, Maqdir beranggapan, untuk perkara suap harus ada bukti suapnya.
“Kalau uang suap itu dibelikan barang, maka harus dtunjukkan barangnya. Dalam perkara ini tidak ada uang atau barang yang disita dari Pak Juliari terakit dengan suap yang didakwakan,” ucapnya.
Respons Publik atas Pleidoi Juliari Dianggap Berlebihan
Mengenai respons publik, Maqdir menilai publik tidak sepatutnya menghujat atau memberikan respons yang berlebihan. Seharusnya, masyarakat mempercayai penegakan hukum yang dilakukan dalam proses peradilan.
“Masyarakat sudah diwakili kepentingannya oleh Penuntut Umum sebagai aparatur negara. Pengamat yang tidak mengetahui detail dan fakta di persidangan, sebaiknya tidak memberi komentar berlebihan, karena hal ini akan menyesatkan pendapat umum.Dalam negara hukum dan sebagai warga negara yang taat hukum, seharusnya proses hukum dihormati bukan dilecahkan.Jangan publik dipengaruhi untuk berpendapat bahwa proses hukum ini tidak benar, untuk kepentingan tertentu,” katanya.
Maqdir pun optimistis, hakim akan memutus perkara ini sesuai fakta persidangan. “Berdasarkan atas hukum untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Mengenai langkah yang akan dilakukan (selanjutnya) tentu akan dilihat terlebih dahulu isi putusan,” imbuh Madqir.
Diberitakan sebelumnya, jaksa menuntut Juliari 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga meminta agar majelis hakim menjatuhkan pidana pengganti senilai Rp14,5 miliar dan mencabut hak politik Juliari selama 4 tahun.
Jaksa berpandangan, Juliari terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan dua anak buahnya Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Juliari disebut jaksa memerintahkan Joko dan Adi untuk mengumpulkan fee sebesar Rp10.000 tiap paket bansos.
Karena perbuatannya itu, jaksa menilai Juliari telah melakukan korupsi sebesar Rp32,48 miliar.