Isu Terkini

Mei ’98 di Surabaya: Raja Pengemis dan Yoni Yang Terkoyak

Aan Anshori — Asumsi.co

featured image

Bulan Mei baru saja pergi. Namun memori kelamnya tetap tinggal di sana. Abadi. Di bulan itu, titik penting dalam sejarah peradaban Indonesia dimulai.

Saat itu Orde Baru tumbang digantikan Reformasi. Ibarat bayi yang lahir, transisi ini diiringi oleh pertaruhan nyawa. Ada darah yang meleleh, terutama dari tubuh banyak perempuan Tionghoa. Lelehan ini menuntut kita untuk terus terjaga dan berefleksi.

Meski terus menjadi kontroversi karena tidak pernah terselesaikan secara hukum, aroma kekerasan seksual Mei 1998 di Surabaya tetap menyeruak, melalui laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

Catatan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) menyebut korban terbanyak ada di Jakarta, sekitar 152 orang. Di Solo, Medan, dan Surabaya secara akumulatif ada 16 korban. Menurut penelitian Direktur Amnesty International Usman Hamid dkk. terdapat dua korban di Surabaya. Namun benarkah hanya dua, dan sejauh mana kebenarannya?

Baca juga: Refleksi 20 Tahun Reformasi Kita

Geger Dunia Persilatan

Dari disertasi peneliti dari Deakin University, Jemma Purdey, berjudul Anti-Chinese Violence in Indonesia: 1996-1999, dapat diketahui kerusuhan terjadi pada malam hari 14 Mei hingga hampir subuh. Sekitar 6-7 truk bergerak menuju wilayah Semampir Surabaya Utara, diiringi beberapa sepeda motor.

Penjarahan pun terjadi di banyak toko milik Tionghoa. Pelakunya berusia antara 18-30 tahun dengan dialek bahasa daerah tertentu. Rumor yang berkembang, mereka selama ini dikenal kerap mengkonsolidasi diri untuk hajatan kriminal, istilah lain dari geng.

Entah apa yang sesungguhnya terjadi malam itu selain penjarahan. Yang pasti, setelah 6 minggu pascaperistiwa, tepatnya 1 Juli 1998, harian Jawa Pos memuat tulisan dengan judul yang mengagetkan “Ketua Konghucu Surabaya Ungkap Perkosaan Surabaya”. Koran Surya pada hari yang sama juga menerbitkan tulisan dengan judul “WNI Cina Diperkosa dalam Kerusuhan Surabaya”.

Baca juga: Kesaksian Etnis Tionghoa Saat Momen Mencekam di Kerusuhan Mei 1998

Adalah Bingky Irawan yang berani mengatakan peristiwa itu melalui media. Tokoh agama yang dikenal dekat dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut mengaku dicurhati orangtua para korban. Ia menyatakan ada ketakutan dan kepedihan luar biasa di kalangan Tionghoa atas peristiwa perkosaan tersebut, meski ia tidak bersedia menyebutkan peristiwa tersebut secara detil, termasuk jumlahnya.

Atas pemberitaan ini, aparat kepolisian terlihat gusar dengan pria ini. Bingky diancam akan dipenjarakan jika tidak bisa mempertanggungjawabkan pernyataan di media.

It is hope that people do not make comments which are without evidence and fact. This can cause people to become restless. Let us work to creating an atmosphere of calm,” kata M. Dayat, Kapolda Jawa Timur di Harian Surabaya Post 1 Juli 1998 dengan judul “Bingky akan Dipanggil Kapolda,” sebagaimana saya kutip dalam disertasi Purdey.

Pada 2 Juli, harian Suara Indonesia menurunkan berita dengan judul, “Yang Ada Hanya Pengrusakan, Bingky Ditunggu Pasal Kebohongan”. Di dalamnya, wartawan mengutip seseorang bernama Mahmud, penduduk setempat.

I am convinced that there is an aim to discredit certain member of society. If indeed this is the case, why not just report it to the authorities. This is era of reform,” kata Mahmud dalam disertasi Purdey.

Baca juga: Napak Tilas Reformasi: Dari Trisakti Sampai Kuburan Massal Tanpa Nama di Pondok Ranggon

Nampaknya Mahmud merasa tersinggung dengan sinyalemen Bingky yang menyebut pelaku kerusuhan menggunakan dialek bahasa lokal tertentu. Sangat mungkin Mahmud adalah pengguna dialek tersebut, yang secara tak sadar telah menggeser isu; dari kekerasan seksual menjadi konflik berbasis etnis. Jawa Pos di hari yang sama juga memuat berita “Jika Tak Benar, Bingky Bisa Dituntut.” Isinya, statemen aparat kepolisian yang mengancam Bingky akan dituntut jika pernyataannya fitnah belaka.

Saya membayangkan betapa berkecamuknya hati dan pikiran senior saya ini saat itu. Ia tengah menghadapi konsekuensi berat atas kejujuran dan keberaniannya menyatakan apa yang menimpa kelompoknya.

Bingky akhirnya menghadap aparat kepolisian sekitar tanggal 10 Juli 1998. Entah apa yang mereka obrolkan selama di dalam. Saat keluar, Bingky tetap tidak mau menjelaskan lebih detil atas pernyataannya.

“Ya nanti saja. Jika saya bicara sekarang, bisa geger dunia kang ouw [persilatan] nanti,” ujarnya seperti ditulis dalam Surabaya Post pada 11 Juli dengan judul “Geger Dunia Kang Ouw”.

Silat Sang Pengemis

Menariknya, saat ia mendatangi kantor polisi, alih-alih menggunakan setelan jas atau pakaian resmi lainnya, Bingky malah justru memakai setelan yang oleh Jawa Pos ditulis sebagai “kaipang” atau “jiang bao“.

Kaipang adalah perkumpulan para pengemis dalam cerita silat Tionghoa. “Ya, betul jubah rohaniwan. Jadi Kaipang saat itu, raja pengemis, wong cino kere kata Gus Dur,” kata Bingky ketika saya konfirmasi via WhatsApp.

Menurut Bingky, ia diberi gelar ICMI oleh Gus Dur, kepanjangan dari Ikatan Cino Melarat Indonesia.

Dengan pakaian seperti itu, Binky seperti ingin menyatakan pesannya ke publik secara gamblang; Tionghoa sedang mengemis keadilan atas peristiwa 14-15 Mei, dan rohaniawannya sendiri yang maju. Sendirian. Bingky nampak sengaja berlaku satir.

Baca juga: Panduan Reformasi Buat Kamu yang Belum Lahir Waktu Mei 1998

Kedekatannya dengan Gus Dur saat itu tak pelak mendekatkan pria ini dengan jaringan kerjanya, terutama di lingkaran Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur. Dugaan saya, dengan modalitas inilah Bingky mempercayai Choirul Anam, Ketua PW GP Ansor Jawa Timur saat itu, bertemu korban dan saksi. Dan benar, sekitar tiga hari setelah Bingky mendatangi panggilan polisi, Cak Anam memberikan statement yang dimuat Jawa Pos esoknya, 14 Juli, dengan judul sangat kuat “Ansor Benarkan Adanya Perkosaan.”

Saya melihat Bingky tengah memainkan jurusnya dengan lihai; dengan cara “meminjam” otoritas pemimpin puluhan ribu pasukan Banser untuk memperkuat ceritanya, tanpa perlu berhadapan dengan polisi, atau membahayakan identitas para Korban.

Simpang Siur Korban

Lalu berapa jumlah korban menurut Bingky? Menurut wawancara Purdey dengannya, jumlahnya  sekitar 10an. Angka ini lebih besar ketimbang laporan yang ditulis Usman Hamid dkk. namun lebih sedikit dari temuan Gema Sukma dan Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD).

Dari hasil investigasinya, keduanya mengklaim terdapat 19 korban perkosaan dan 6 penyerangan seksual. Aksi memalukan yang semuanya terjadi di Surabaya Barat itu kebanyakan dilakukan di dalam ruko. Ansor Jawa Timur juga mengklaim terdapat dua perempuan etnis Arab yang juga menjadi sasaran kekerasan dalam peristiwa 14-15 Mei tersebut.

Baik Bingky maupun Hesti, aktivis Gema Sukma, keduanya kerap menerima teror untuk tidak meneruskan aktivitasnya.

I received a lot of threatening telephone calls, they started by asking what my ethnicity was, then they threatened me if I continued my involvement in this problem,” kata Hesti dalam berita koran Surya pada 14 Juli 1998 berjudul “Hesti: Tak Akan Terpejam,” sebagaimana dikutip Purdey.

Baca juga: Hari-hari Seorang Tionghoa di Semarang Saat Mei 1998: Menanti Imbas Kerusuhan Jakarta

Hingga disertasi Purdey dipublikasikan, hanya 20 persen saja korban memilih tetap tinggal di Surabaya, sisanya hidup di berbagai kota di Indonesia. Saat delegasi Taiwan datang ke Surabaya dan bertemu Bingky, beberapa dari korban mendapat tawaran dukungan medis maupun tempat mengungsi.

Peristiwa ini sudah 20 tahun terjadi. Mungkin luka fisik para korban sudah mulai membaik. Kondisi psikologisnya ditekan sedemikian rupa agar bisa menerima kenyataan ini. Situasinya pasti sungguhlah berat; hidup dalam ketakutan dan bayang-bayang aib jika menyampaikan ke publik. Bangsa ini berhutang banyak permintaan maaf pada mereka.

Sedangkan bagi pelaku, mereka mungkin telah melupakannya, atau malah justru menceritakan “kegagahan” itu dengan bangga ke temannya. Saya berharap akan ada salah satu dari mereka yang berani melakukan testimoni ke publik dan meminta maaf. Sebab, bangsa ini perlu terus diuji apakah bisa memberi pengampunan atau tetap tidak dewasa memandang kesalahan.

Aan Anshori adalah koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur, GUSDURian, mahasiswa S2 Hukum Keluarga Islam Univ. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

Share: Mei ’98 di Surabaya: Raja Pengemis dan Yoni Yang Terkoyak