Isu Terkini

Hari-hari Seorang Tionghoa Semarang Saat Mei ’98: Menanti Imbas Kerusuhan Jakarta

Fariz Fardianto — Asumsi.co

featured image

Bulan Mei menjadi momentum yang terus membekas di benak Widjajanti Dharmowijono. Walau sudah 20 tahun yang lalu tetapi kenangan di bulan Mei 1998 masih terekam jelas dalam ingatannya.

Saat ditemui menggelar bedah buku berjudul Ada Aku di Antara Thionghoa dan Indonesia di Aula Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang, pada awal Mei 2018 lalu, Inge, sapaan akrabnya, mengenang 20 tahun yang lalu dirinya dikejutkan dengan kabar adanya kerusuhan dalam aksi demonstrasi menjelang lengsernya Presiden Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun.

“Sekitar tanggal 13 atau 14 Mei 1998, saya waktu itu di Semarang. Meski kondisi Semarang ketika itu landai-landai saja, tetapi bagi warga peranakan Tionghoa, menjadi hari yang sangat mencekam,” kata Inge.

Ketika rentetan kerusuhan meletus di Jakarta dan Solo—dua kota yang paling terkena dampak kerusuhan—ia sedang sibuk bekerja sebagai dosen Bahasa Belanda di Kampus Akaba (sekarang Universitas 17 Agustus).

Kesibukannya bertambah tatkala seorang koleganya memintanya untuk meliput situasi keamanan kota Semarang saat kerusuhan Mei ’98 meletus.

“Kebetulan saya jadi dosen Bahasa Belanda. Sehingga seorang teman dari sebuah kantor radio dari Belanda meminta saya berpartisipasi meliput situasi Kota Semarang. Saya yang tinggal di Kampung Pandanaran, tentunya mudah memantau keamanan pusat kota. Banyak pendemo yang ke Jakarta pasti lewat situ,” ujar perempuan yang kini jadi Ketua Yayasan Widya Mitra tersebut.

Terlahir dari keluarga peranakan Tionghoa membuat Inge tak nyaman dengan situasi Mei ’98. Mayoritas warga peranakan Tionghoa diliputi perasaan cemas karena ada dugaan kerusuhan massal di Jakarta bakal merembet ke ibu kota Jawa Tengah tersebut.

“Kita kan takut kena imbasnya juga. Semarang ikut menegang tapi situasinya aman. Apalagi, kita ditakut-takuti dengan beredarnya kabar yang merebak bila rumah orang Tionghoa sudah ditandai dengan kode tertentu. Kamu harus ngamati pagarmu. Kalau ada lingkaran bundar berarti mereka mengawasi keluargamu khususnya yang punya sanak perempuannya,” kata Inge menirukan perkataan tetangganya.

Kerabat dekat keluarganya hanya bisa pasrah melihat kondisi tersebut. Mereka, lanjut Inge, dalam sikap menunggu. “Pokoknya itu pas sehari sebelum Pak Harto lengser,” ujarnya. Soeharto sendiri mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998.

Situasi semakin kalut menyusul adanya gerakan pendemo yang bergerak secara sporadis menuju Jakarta.

Usia Inge waktu itu sudah 51 tahun. Dalam kondisi serba panik dan tak menentu, ia terpaksa mengungsi ke rumah salah satu anaknya di Kecamatan Mijen. “Saya sampai nginep di rumah anak yang ada di Mijen semalam suntuk,” ujarnya.

Namun untungnya, semua kecemasan sirna ketika Soeharto lengser sehari kemudian. Keluarga dan harta bendanya dalam kondisi selamat.

Inge mengaku masih menyisakan trauma bila melihat pendemo wira-wiri di jalanan.

Ia berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini mampu menciptakan rasa aman dan nyaman sehingga kerusuhan yang timbul di masa lampau tak terukang lagi.

“Semoga hal-hal yang menimbulkan kepanikan masyarakat tidak lagi terjadi lagi pada masa mendatang. Cukup kejadian Mei ’98 yang kami alami,” tuturnya.

Share: Hari-hari Seorang Tionghoa Semarang Saat Mei ’98: Menanti Imbas Kerusuhan Jakarta