Isu Terkini

Draf RKUHP: Hina Kepala Negara Diancam Hukuman Pidana

Irfan — Asumsi.co

featured image
Pixabay/Mohamed Hassan

Sempat ditentang secara keras oleh publik pada September 2019, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana digodok lagi oleh Pemerintah bersama DPR. Sayangnya, meski sudah tahu muatannya tidak disukai publik, draf KUHP, yang sekarang dibahas dan dibawa keliling daerah untuk sosialisasi, merupakan draf yang sama dengan draf pada tahun 2019.

Tak heran kalau kemudian mulai banyak suara lagi yang menentang isi draf KUHP ini. Salah satu yang dikritisi di antaranya adalah pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Mengacu pada draf yang Asumsi dapatkan, penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden bisa diancam dengan hukuman pidana paling lama lima tahun penjara.

Baca juga: Urus Hak Privat Warga, RKUHP Bisa Bikin Penuh Penjara Hanya Karena Norma | Asumsi

Ancaman ini juga berlaku luas. Bahkan sampai aktivitas warga negara di media sosial.

Pada Pasal 219, misalnya, disebutkan bahwa unggahan, baik berupa teks, gambar, video, atau suara yang menyerang kehormatan Presiden atau Wakil Presiden, terancam pindana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Namun dalam pasal selanjutnya, dijelaskan bahwa tindakan itu bisa diproses hukum selagi ada aduan yang dilakukan langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden. Tidak bisa diwakilkan.

Warisan Kolonial

Bagi ranah hukum Indonesia, pasal-pasal yang berkaitan dengan pemidanaan tindak penghinaan pada kepala negara bukanlah hal baru. Hukum ini justru produk lama yang pernah diatur dalam KUHP pasal 134, 136 bis, 135, hingga 154 dan 155.

Kalau ditarik mundur lagi, keberadaan pasal-pasal di atas juga berhubungan dengan warisan KUHP yang dibuat Belanda. Ketentuan terkait penghinaan kepala negara, atau yang disebut dengan istilah Lèse-majesté, mulanya umum digunakan di Eropa untuk menghukum penghina raja atau orang berkuasa lainnya.

Di era kolonial Belanda bercokol di nusantara, larangan untuk menghina pemerintah itu dimuat dalam pasal-pasal yang disebut sebagai haatzaai artikelen. Pasal ini memberi ancaman lima tahun penjara atau denda paling banyak 300 gulden untuk penghinaan yang disengaja pada raja dan ratu Belanda.

Pakar Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo, dikutip dari Tirto.id menyebut bahwa ketentuan Lèse-majesté dan haatzai artikelen mulanya terhimpun pada kitab hukum pidana kolonial Hindia Belanda, Wetboek van Straftrecth voor Nederlandsch India (WvS).

Saat Indonesia merdeka, WvS lantas diadopsi menjadi KUHP yang juga menyertakan pasal-pasal terkait pemidanaan penghina kepala negara tadi. Padahal, dari sisi historisnya, pasal-pasal ini termaktub dalam WvS untuk membungkam suara bumiputera yang anti pada kolonialisme dan imperialisme.

Melansir makalah John H. McGlynn, berjudul “Silenced Voices, Muted Expressions: Indonesian Literature Today” yang dikutip Tirto.id, alasan diberlakukannya haatzaai artikelen di Hindia Belanda untuk menjaga aktivis dan politisi agar tidak “menabur kebencian” di antara penduduk pribumi.

Namun, pada praktiknya, haatzai artikelen digunakan tidak hanya untuk membenarkan pengawasan terhadap kegiatan politik, tetapi juga untuk memantau dan mengendalikan hampir semua kehidupan intelektual di wilayah penjajah.

Baca juga: 9 Demonstran Hardiknas Jadi Tersangka, Kemunduran bagi Demokrasi? | Asumsi

“Dengan adanya pasal tersebut, apapun bisa dicetak atau diterbitkan, namun pihak berwenang berhak menuntut, memenjarakan, mengasingkan, dan bahkan mengeksekusi orang yang terkait dengan publikasi yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum,” demikian ditulis McGlynn.

Dicabut Lewat Putusan MK

Namun, meski bertengger lama dalam sejarah hukum pidana Indonesia, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sebetulnya sudah ditiadakan sejak 2006. Dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi lewat Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006. Gugatan atas pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 ini dilayangkan oleh Eggi Sudjana.

Eggi berpendapat materi-materi yang ada pada pasal tersebut menghalangi kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat. Setelah dibatalkan oleh MK, penghinaan Presiden dan Wakil Presiden selaku pejabat bersifat delik aduan mengacu pada Pasal 207 KUHP.

Tetapi, 15 tahun setelah pasal-pasal itu dibatalkan MK, upaya untuk menghidupkannya kembali melalui RKUHP kembali mengemuka. Sebetulnya bukan kali ini saja pasal itu hendak dihidupkan lagi. Sejak draf RKUHP versi 21 Januari 2015 muncul, pasal-pasal ini sudah masuk pada Pasal 263 sampai 265.
 
Dalam draf Januari 2015 ini bahkan pasal penghinaan Presiden dan Wapres masih bersifat delik biasa. Baru pada revisinya pada 15 September 2019, redaksional materi draf 2015 diubah menjadi delik aduan.

Pengalaman di Thailand

Di Asia Tenggara, negara yang konon paling ketat menerapkan aturan pidana pada penghina kepala negara adalah Thailand. Mengutip laporan Human Right Watch, dalam setahun terakhir saja, jumlah kasus Lèse-majesté di sana meningkat cukup pesat.

Setelah hampir tiga tahun jeda di mana penuntutan Lèse-majesté tidak dibawa ke pengadilan, pada November 2020 Perdana Menteri Jenderal Prayut Chan-ocha memerintahkan pihak berwenang untuk melanjutkan penuntutan Lèse-majesté karena meningkatnya kritik terhadap monarki. Sejak itu, para pejabat telah mendakwa setidaknya 82 orang dengan kejahatan Lèse-majesté terkait dengan berbagai kegiatan demonstrasi atau komentar pro-demokrasi di media sosial. Enam di antaranya adalah anak-anak, di bawah usia 18 tahun.

Baca juga: Keputusan Soal UU ITE, Bukti Pemerintah Belum Serius! | Asumsi

Dalam pernyataan 8 Februari 2021 tentang situasi di Thailand, pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa undang-undang Lèse-majesté “tidak memiliki tempat di negara demokratis”. Mereka juga menyatakan keprihatinan serius tentang meningkatnya jumlah penuntutan Lèse-majesté dan hukuman penjara yang keras yang dijatuhkan pengadilan di Thailand kepada beberapa terdakwa.

Pasal seperti ini memang sangat rentan memenjarakan warga negara karena unsur subjektitasnya yang kuat. Yang dikhawatirkan adalah penggunaanya pada setiap oposisi yang “berisik”. Kalau di Thailand siapa yang mengkritik Monarki bisa dengan mudah dijerat oleh ancaman Lèse-majesté, maka bukan tidak mungkin Indonesia juga menerapkan hal serupa jika RKUHP ini disahkan.

Share: Draf RKUHP: Hina Kepala Negara Diancam Hukuman Pidana