Isu Terkini

Urus Hak Privat Warga, RKUHP Bisa Bikin Penuh Penjara Hanya Karena Norma

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash/ Tingey Injury Law Firm

Lama tidak terdengar kabarnya, RUU KUHP kini sudah disahkan
oleh DPR pada tingkat I. Sempat ditentang habis-habisan pada aksi September
2019 lalu, pembahasan RUU KUHP memang sempat ditunda. Namun, di tahun ini,
pembahasan RUU KUHP akan dilanjutkan.

​Dengan sudah disahkannya RUU ini pada tingkat I, maka
tinggal satu langkah di sidang paripurna lagi untuk mengesahkan drafnya.
Pemerintah sendiri saat ini sedang menyosialisasikan draf tersebut ke berbagai
daerah di Indonesia.

​Pada 2019, RUU KUHP ditentang karena banyak muatannya yang
berpotensi mengkriminalisasi masyarakat. Banyak pula urusan privat yang jika
RUU KUHP ini menjadi UU, maka akan terancam pidana.

​Dari banyak muatan yang dibahas, salah satu yang menjadi
sorotan di antaranya urusan ranjang.

​Draft RUU KUHP yang sedang dibahas memperluas cakupan
definisi zina. Dalam Pasal 418 RUU KUHP, pasal zina adalah siapa pun yang hidup
sebagai suami-istri di luar perkawinan akan dipidana dengan pidana penjara
paling lama enam bulan dengan denda kategori II yakni maksimal Rp10 juta.

Baca juga: Sederet Pasal di RKUHP Ini Bisa Bikin Wartawan Dipenjara

​Ini berbeda definisi dengan KUHP yang digunakan saat ini.
Mengutip detik, dalam KUHP sekarang, delik zina hanya dikenakan jika salah satu
atau kedua pelaku hubungan di luar nikah terikat dengan perkawinan yang sah.
Bila kedua pasangan sama-sama masih lajang dan dewasa, meski hidup bersama
tanpa ikatan pernikahan maka tidak kena delik.

Sementara dalam draft RUU KUHP yang sedang dibahas, pelaku
hidup bersama tanpa ikatan pernikahan bisa diadukan oleh suami, istri, orang
tua, atau anaknya. Kepala desa juga bisa mengadukan pelaku yang diduga
melakukan tindakan itu selagi ada izin dari keluarga pelaku. Pengaduan ini bisa
dicabut kapan pun sepanjang sidang belum dimulai.

​Lain dari itu, adalah ancaman pidana untuk perilaku oral
seks. Ini terjadi karena pasal perkosaan ikut mengalami perluasan.

​Dalam Pasal 285 KUHP yang digunakan saat ini, perkosaan
haruslah dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang bukan istrinya.
Sementara makna persetubuhannya adalah masuknya penis terhadap vagina.

​Dalam RUU KUHP, makna ini diperluas dengan oral seks yang
masuk pada tindak pidana perkosaan. Ini kena baik kepada orang yang memasukkan
alat kelaminnya ke mulut orang lain atau sebaliknya: memasukkan kelamin orang
lain ke mulutnya sendiri.

​Memasukkan bagian tubuh yang bukan alat kelamin atau suatu
benda ke dalam alat kelamin juga dianggap tindak pidana perkosaan. Hukumannya
maksimal 12 tahun.

​Sewenang-wenang

Menanggapi ini, peneliti Institute Criminal for Justice
Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menyebut kalau draft yang dibawa keliling oleh
pemerintah saat ini adalah draft yang sama dengan draf RKUHP yang ditentang
pada 2019. Tidak ada beda.

“Jadi demokrasi kita ya sama saja,” kata Maidina
kepada Asumsi.co.

​Padahal, sejak 2019, sejumlah LSM termasuk ICJR sudah
mengingatkan kalau upaya memasukkan urusan privasi pada delik pidana adalah
sikap yang sewenang-wenang. Beberapa yang dikritisi di antaranya penambahan
pihak pengadu yakni kepala desa dalam pasal zina. Menurut ICJR, ini akan
menimbulkan overkriminalisasi pada pihak yang melakukan persetubuhan di luar
perkawinan.

Baca juga: Mengapa Pengesahan RKUHP Perlu Ditunda

Pasal ini juga bisa menimpa mereka yang kesulitan akses
pada dokumen perkawinan resmi seperti masyarakat adat. Mengutip data ICJR, ada
40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55%  pasangan menikah di rumah
tangga miskin yang selama ini masih kesulitan memiliki dokumen perkawinan
resmi.

Dampak lain adalah akan semakin meningkatnya perkawinan
muda. Ini dilakukan dengan alasan menghindari hukuman penjara. Namun, hal ini
akan berakibat pula pada usia kehamilan yang terlalu muda.

​Melihat satu pasal ini saja, ICJR sudah melihat celah
masuknya kesewang-wenangan negara pada urusan privat warganya. Oleh karena itu
ICJR dengan tegas menolak ketentuan-ketentuan yang masuk ke RKUHP dan mendorong
Pemerintah serta DPR untuk kembali membahas secara terbuka khususnya terkait
pasal-pasal dalam RKUHP baik yang bersifat overkriminalisasi maupun yang masih
bermasalah lainnya dengan mengedepankan pendekatan berbasis bukti.

​”Kalau kerja pemerintah tidak memperbaiki ini ya
harusnya bukan sosialisasi namanya,” kata dia.

​Ya, kita boleh berdebat tentang norma. Namun, jika semua
ancamannya pidana, maka bukan tidak mungkin lembaga pemasyarakatan yang
sekarang sudah sangat sesak semakin sesak. Perkaranya, cuma karena mudahnya
negara memasukkan warganya ke penjara.​

Share: Urus Hak Privat Warga, RKUHP Bisa Bikin Penuh Penjara Hanya Karena Norma