Isu Terkini

9 Demonstran Hardiknas Jadi Tersangka, Kemunduran bagi Demokrasi?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Polda Metro Jaya menetapkan sembilan orang demonstran di depan Gedung Kemenristek Dikti sebagai tersangka, Selasa (4/5/21). Lima dari sembilan orang tersebut merupakan mahasiswa.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengungkapkan bahwa sembilan orang itu ditangkap saat menggelar demonstrasi peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada Senin (3/5) sekitar pukul 17.00 WIB.

“Kami sudah tetapkan sebagai tersangka. Kesembilan orang dengan perannya masing-masing dan ini berproses. Negara kita negara hukum dan harus taat kepada hukum,” kata Yusri di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (4/5).

Yusri menjelaskan bahwa kesembilan tersangka tersebut dijerat dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Pasal 14 Tentang Wabah Penyakit Menular. Polisi juga menjerat mereka dengan Pasal 216 dan pasal 218 KUHP dengan ancaman hukuman 4 bulan penjara, sehingga tak dilakukan penahanan.

“Sekarang mereka sudah kami pulangkan, tapi kasusnya tetap berproses,” ucapnya. 

Menurut Yusri, penangkapan sembilan demonstran tersebut karena melakukan kerumunan dan demo melewati batas waktu yang ditentukan. Dari hasil pemeriksaan, terdapat lima orang yang berstatus mahasiswa. Sisanya, merupakan buruh dari KASBI yang menyusup di antara pendemo.

Baca juga: Aksi Aneh Polisi di Demo Buruh: Amankan dan Tangkap Mahasiswa | Asumsi

Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka terdiri dari Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FHUI), Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), serta tiga orang buruh dan empat mahasiswa yang berasal dari aliansi lainnya.

Terkait penangkapan ini, LBH Jakarta menuding penangkapan sembilan demonstran itu cacat prosedur. Sebab mereka tak bisa memberikan pendampingan hukum terhadap pendemo yang ditangkap.

“Jaminan bantuan hukum bagi orang yang ditangkap dilanggar polisi,” kata Kepala Advokasi dan pengacara LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora, Selasa (4/5).

Namun, hal tersebut kemudian dibantah Yusri. Ia menyebut hak pendampingan hukum terhadap para pendemo sudah diberikan. Ia pun meminta tak ada pihak yang mencari panggung atas kasus ini. “Itu orang-orang tak mengerti, tapi terus berkoar-koar di media sosial,” kata Yusri.

Penetapan Tersangka Bentuk Arogansi Kepolisian

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) memandang penetapan tersangka itu merupakan bentuk arogansi kekuasaan dan diskriminasi yang nyata oleh Kepolisian terhadap masyarakat yang menyampaikan pendapat mempergunakan hak konstitusionalnya secara sah.

Selain itu, TAUD menyebut penangkapan terhadap sembilan orang massa aksi juga diwarnai dengan kekerasan, berupa pemukulan pada bagian kepala depan, kepala belakang, hidung dan lutut, serta ada yang sedang membubarkan diri ditarik paksa oleh anggota polisi dari atas mobil komando, sehingga terjatuh tersungkur lalu dipukul.

Termasuk seorang buruh perempuan sehingga ketika keluar dari Polda pada pagi harinya ia harus menggunakan kursi roda karena kondisi yang masih lemah.

“Tindakan yang dilakukan oleh anggota kepolisian tersebut merupakan bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan kepada peserta yang menyampaikan pendapat secara damai atau bahkan menghalang-halangi warga dalam menyampaikan pendapat dimuka umum sehingga dapat dipidana penjara paling lama 1 tahun penjara sebagaimana Pasal 18 ayat (1) UU 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” kata salah satu tim TAUD sekaligus Direktur YLBHI Asfinawati dalam keterangan resminya yang diterima Asumsi.co, Selasa (4/5).

Selain itu, Asfina menyebut kejadian-kejadian serupa, seperti kuasa hukum atau pendamping hukum tidak diperbolehkan untuk menemui korban. Padahal, lanjutnya, Indonesia sudah memiliki UU 16/2011 tentang Bantuan Hukum.

Baca juga: Rapor Merah Kebebasan Pers Indonesia, 70 Persen Kekerasan Dilakukan oleh Polisi | Asumsi

Asfina menegaskan bahwa terdapat pelanggaran formil dalam penetapan tersangka terhadap sembilan orang tersebut. Pertama, kata Asfina, penerapan Pasal 14 Ayat 1 UU Wabah Penyakit Menular dengan dalih para pengunjuk rasa tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana adalah tidak tepat, mengingat tak satupun dari pengunjuk rasa yang ditangkap itu “dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah”. Aksi justru dilakukan secara damai dan patuh protokol kesehatan.

“Kedua, seluruh pengunjuk rasa sedang melakukan hal yang sama, yaitu berada di tempat unjuk rasa dan dengan jarak yang relatif sama dengan aparat kepolisian yang bertugas, tetapi yang dianggap sedang melawan perintah aparat maupun tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali hanyalah sembilan orang yang secara “acak” ditangkap.” 

Ketiga, penangkapan dan Penggeledahan Penyitaan terhadap 9 pengunjuk rasa dilakukan dengan kekerasan. Lalu, barang-barang bukti yang dijadikan alasan menetapkan tersangka adalah almamater, toa, dompet, hp, tas make up, baju serikat, mobil komando, alat medis berupa p3k dan oksigen serta bendera merah putih. Kesemuanya adalah alat peraga aksi damai dan untuk mematuhi protokol kesehatan. 

Pemerintah Tebang Pilih Terkait Kasus Kerumunan

Asfina mengatakan bahwa sejak Pandemi COVID-19 menyebar, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menekan laju penyebaran. Salah satunya dengan menetapkan protokol kesehatan di tempat-tempat umum, termasuk di dalamnya penegakan hukum bagi para pelanggar protokol kesehatan tersebut.

“Namun penegakan hukum tersebut seringkali dilakukan secara tebang pilih, beberapa kejadian dapat menjadi contohnya.”Asfina dan tim TAUD pun memberikan contoh kasus kerumunan yang sama sekali tak diproses, beberapa di antaranya: 

  1. Kedatangan Jokowi  Ke Provinsi NTT untuk untuk meresmikan Bendungan Napun Gete yang terletak di Desa Ilinmedo, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT);
  2. Keramaian di Stasiun Tanah Abang; Keramaian Pasar Tanah Abang;
  3. KLB Partai Demokrat Versi Kubu Moeldoko;
  4. Pelanggaran Protokol Kesehatan pada Kampanye Pemilihan Walikota Medan pasangan calon Bobby Nasution dan Aulia Rahman;
  5. Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 yang berimbas pada pelanggaran protokol kesehatan. Beberapa kejadian tersebut merupakan contoh tumpulnya upaya penegakan hukum bagi para pelanggar protokol kesehatan yang sebelumnya digembar-gemborkan Pemerintah.

Menurut Asfina, penegakan hukum pelanggaran protokol kesehatan justru digencarkan kepada mereka yang melakukan aksi penyampaian pendapat di muka umum akibat kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya di banyak aspek. Misalnya seperti penangkapan secara sewenang-wenang terhadap massa aksi Mayday 2021 karena alasan pelanggaran protokol kesehatan.

“Fakta-fakta di atas dengan dikaitkan dengan prinsip-prinsip penegakan hukum yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia telah dengan sangat nyata menyilaukan mata kita bahwa kepolisian telah menjadikan diri sebagai perpanjangan tangan kekuasaan dan meninggalkan peran melindungi dan mengayomi warga masyarakat. Absennya perlindungan hak asasi sejatinya telah menandai kemunduran demokrasi yang berdarah-darah diperjuangkan saat menumbangkan orde baru tahun 1998.” 

Baca juga: Beda Pendapat Kuasa Hukum Munarman dan Polisi Soal Bahan Peledak, Mana yang Benar? | Asumsi

Berdasarkan uraian dan analisa hukum di atas, Tim Advokasi Untuk Demokrasi menuntut: 

  1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya memproses Penegakan Hukum terhadap anggota polisi yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada peserta yang menyampaikan pendapat secara damai atau bahkan menghalang-halangi warga dalam menyampaikan pendapat di muka sebagaimana Pasal 18 ayat (1) UU 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
  2. Kepolisian RI Daerah Metro Jakarta Raya menghentikan proses hukum dan membatalkan penetapan status tersangka terhadap 9 orang peserta unjuk rasa hari pendidikan nasional 2021;
  3. Presiden Jokowi mengendalikan Kepolisian untuk tidak secara arogan dan penuh diskriminastif membungkam aspirasi yang sah dari warga negara untuk mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang bermasalah dan merugikan sebagian besar masyarakat Indonesia, dengan dalih penegakan hukum protokol kesehatan ataupun menggunakan pasal-pasal kolonial anti kebebasan berkumpul seperti pasal 216 dan 218 KUHP;
  4. Lembaga-lembaga pengawas eksternal kepolisian yaitu Kompolnas, Ombudsman RI dan Komnas HAM menjalankan tugas dengan semestinya yakni memotong langkah-langkah offside kepolisian dalam penegakan hukum yang pada akhirnya melanggar hak-hak konstitusional warga negara untuk berkumpul menyampaikan pendapat sebagaimana digaransi UUD 1945;

Sementara itu, Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang Kepolisian, Bambang Rukminto mengatakan bahwa sejak awal pandemi sampai saat ini, aparat keamanan tidak mempunyai konsep yang jelas terkait penanganan aksi unjuk rasa yg melibatkan massa banyak.

Di satu sisi, kata Bambang, unjuk rasa adalah hak menyampaikan pendapat yang juga dilindungi UU. Di sisi lain, situasi pandemi juga menuntut polisi tegas dalam melaksanakan protokol kesehatan.

“Setahun lebih pandemi, mereka tak punya konsep yang jelas, akibatnya bukan hanya dalam penanganan aksi unjuk rasa saja, tetapi juga seringkali muncul adalah kebijakan yang tak konsisten dan sering berubah-ubah,” kata Bambang saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (5/5).

Menurut Bambang, kondisi ini memang menjadi dilematis, dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada kepolisian, karena bagaimanapun juga penegakan hukum itu harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan.

Lebih tepatnya, kata Bambang, kegagalan polisi dalam membuat konsep pengamanan unjuk rasa saat pandemi.“Akibatnya, arogansi itu muncul dengan asal tangkap saja dengan dalih protokol kesehatan. Sementara di tempat lain, aksi-aksi kerumunan massa justru tetap dibiarkan,” ucapnya.

Share: 9 Demonstran Hardiknas Jadi Tersangka, Kemunduran bagi Demokrasi?