Isu Terkini

Rapor Merah Kebebasan Pers Indonesia, 70 Persen Kekerasan Dilakukan oleh Polisi

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash/The Climate Reality Project

Kebebasan pers di Indonesia saat ini masih ada di zona merah atau buruk. Meski dalam dua tahun terakhir ada peningkatan yang signifikan berdasarkan ranking Reporters Without Borders, namun kekerasan pada jurnalis masih sering terjadi. Ironisnya, 70 persen kekerasan pada jurnalis dilakukan oleh polisi.​

Dalam “Peluncuran Catatan AJI Atas Situasi Kebebasan Pers di Indonesia 2021” yang disiarkan secara daring, Senin (3/5/2021), Reporters Without Borders menempatkan kebebasan pers di Indonesia di peringkat 113 dari 180 negara. Tahun lalu, Indonesia menempati peringkat 119. Sementara di tahun 2019, Indonesia ada di peringkat 124. ​

Dalam pernyataannya, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito menyebut, di lapangan pemerintah masih memanfaatkan pandemi Covid-19 sebagai tindak represi pada jurnalis. Dalam riset AJI, selain jumlah kekerasan yang meningkat, regulasi yang tidak bersahabat seperti UU ITE masih menjadi sandungan bagi kerja-kerja jurnalistik.​

Kekerasan Pada Jurnalis Meningkat Pesat

Ketua Divisi Advokasi AJI, Erick Tanjung menyebut tahun ini ada 90 kasus kekerasan pada jurnalis. Jumlah ini naik pesat dibanding tahun lalu yang ada di angka 75 kasus. Dari sejumlah aktor kekerasan pada jurnalis, ditemukan bahwa 70 persen pelakunya adalah Polisi. Selain itu, pelaku lain adalah advokat, jaksa, eksekutif, satpol PP dan lain-lain.​”Dua hal yang jadi perhatian di tahun ini adalah kekerasan terhadap jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi dan vonis terhadap jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi,” kata Erick.​

Teror digital juga menimpa para jurnalis. Di tahun 2021, teror digital menyerang 10 jurnalis dan empat media daring. Delapan kasus di antaranya doxing, empat kasus peretasan, dan dua kasus distributed denial-of-service (DDoS). DDoS adalah jenis serangan yang dilakukan dengan cara membanjiri lalu lintas jaringan internet pada server, sistem, atau jaringan. Umumnya, serangan ini dilakukan menggunakan beberapa komputer host penyerang sampai dengan komputer target tidak bisa diakses.

​Kekerasan seksual juga masih menghantui kerja-kerja jurnalistik jurnalis perempuan. Data AJI menyebut dari 34 jurnalis yang mengisi survei, 25 di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual. Ini dilakukan oleh narasumber pejabat publik, non-pejabat publik, hingga rekan kerja baik atasan di kantor atau sesama jurnalis di lapangan.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyebut berdasarkan data Komnas HAM, Polisi, TNI, dan Pejabat Publik memang menjadi aktor yang paling banyak diadukan terkait kekerasan pada jurnalis. Polri menjadi yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM secara umum sebelum sektor bisnis, dan pemerintah daerah di sektor ketiga. Menurutnya, ini bukan sekadar teknis di lapangan tapi kurangnya pemahaman soal posisi jurnalis dan kebebasan pers dan perannya pada penegakan demokrasi dan HAM.

“Analisa Komnas misalnya saat ada kerusuhan di Bawaslu 2019, ketika kami minta keterangan Kepolisian, mereka bilang bahwa persoalannya teknis. Seputar ID yang kecil misalnya, sehingga susah dilihat oleh aparat. Tapi saya kira bukan teknis semata saja, tapi pemahaman dan pengetahuan yang lebih luas dari pada sekadar teknis dan standar di lapangan,” ucap Beka.

Komnas HAM, kata Beka, juga melihat perlunya kontrol relasi antara jurnalis dengan aparat dan pejabat publik. Ini perlu untuk menghindari bias dalam berita, mengingat kedekatan yang berlebihan antara pers dengan pejabat publik bisa memengaruhi independensi dan memicu kekerasan jurnalis atas berita yang dinilai kritis.

Satu dari 20,000, “Ini Oknum”

Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Pol, Ahmad Ramadhan meminta maaf atas data temuan AJI yang menyebut kalau 70 persen pelaku kekerasan terhadap jurnalis adalah Polisi. Kendati demikian, dia minta agar jurnalis tidak menggeneralisir.​

Menurut Ahmad, jumlah Polisi ada 400.000 lebih, jika diambil 70 persen dari 90 kekerasan, maka paling tidak polisi yang berbuat kekerasan pada jurnalis hanya satu dari 20.000 polisi.​

“Mohon tidak digeneralisir, ini oknum,” kata Ahmad.​

Menurutnya, selama ini Polri berkomitmen bahwa pers adalah mitra. Kerja-kerja jurnalistik juga dilindung oleh UU Pers. Tetapi terkait temua yang ada, Ahmad menegaskan pihaknya akan senantiasa memperbaiki perilaku anggota di lapangan.​

Dia mengklaim telegram nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tanggal (5/4/2021) terkait larangan menyiarkan tindakan arogansi aparat kepolisian dari Kapolri tempo lalu juga sebenarnya ditujukan agar anggota Polri tidak arogan. Namun karena menjadi polemik, STR itu hanya bertahan sehari saja dan dicabut melalui telegram ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 tanggal (6/4/2021).​

Ahmad juga meyakinkan kalau hubungan Polisi terutama di Mabes Polri dengan media baik. Selain lewat diskusi berkala, Polri juga memberi rompi khusus untuk pers yang bertujuan untuk membedakan mereka dengan massa aksi kala meliput demonstrasi. Pihaknya juga akan memberi perlindungan khusus pada media terkait kerja-kerja jurnalistiknya.

Penegak Hukum Seharusnya Melindungi

Pengamat jurnalisme FISIPOL UGM, Gilang Desita Parahita menyebut kalau seharusnya yang menjadi pelindung paling pertama dalam kerja-kerja jurnalistik justru penegak hukum. Sehingga ketika ada angka yang menyebut kalau 70 persen pelaku kekerasan pada jurnalis adalah penegak hukum, maka data ini sungguh memprihatinkan.

​Menurutnya, seharusnya tanpa rompi atau sekadar ID pers pun, aparat penegak hukum harus punya rasa percaya pada jurnalis.​

“Yang jadi masalah di kita adalah ada rasa tidak percaya pada jurnalis baik dari penegak hukum, pejabat publik, bahkan mungkin masyarakat luas,” kata Gilang.​

Menurutnya ini imbas dari praktik jurnalisme Indonesia selama ini. Selain masalah kepemilikan media, ada juga ketidakpercayaan pada jurnalis yang diembuskan oleh figur publik. Apalagi saat jurnalis tersebut mengkritik. Padahal, sebagai mitra, kerja jurnalis adalah mengkritik.​

Dia pun menyarankan pada pejabat publik, jajaran kepolisian, dan penegak hukum lainnya untuk lebih memahami kerja-kerja jurnalistik. Dia menilai, pemahaman ini masih kurang sehingga kerap memicu kekerasan pada jurnalis.​

“Banyak jajaran pemerintah yang menilai kalau apa yang mereka sampaikan di media akan diterbitkan sebagaimana adanya. Padahal, jurnalis tidak bisa menerima pernyataan begitu saja, tapi harus memverifikasi dan framing. Sehingga hasilnya bisa jadi tidak sesuai yang diharapkan,” kata dia.​

Kalau ada ketidakpuasan, para pejabat publik ini harusnya paham akan hak jawab dan mediasi Dewan Pers. 

“Yang jelas, enggak boleh dengan ancaman, bullying, bahkan kekerasan fisik dan mengambil perlengkapan untuk reportase,” ucap dia.

Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin menambahkan, Polri perlu mengamati ulang kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh pihaknya. Ini mencakup pada kasus-kasus yang belum tuntas dan menindak anggota yang bersalah. 

“Kalau misalkan tidak layak diselesaikan jalur hukum ya di-SP3, jangan dibiarkan mengambang. Karena ini akan memberikan kepercayaan dari jurnalis kepada polisi,” kata Ade.

Share: Rapor Merah Kebebasan Pers Indonesia, 70 Persen Kekerasan Dilakukan oleh Polisi