Upah minimum provinsi (UMP) 2022 Provinsi DKI Jakarta telah ditetapkan sebesar Rp4.453.935,536. Hanya naik Rp37.749 atau sekitar 0,85 persen dari UMP 2021, upah ini dianggap belum memenuhi kebutuhan para buruh.
Sebelum angka final itu diketok, Minggu (21/11/2021) beberapa hari sebelumnya massa dari berbagai elemen serikat buruh meminta Pemprov DKI menaikkan UMP 2022 sebesar 10 persen dibandingkan tahun 2021. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang sempat menemui para buruh di depan Balai Kota Jakarta, Kamis (18/11/2021) hanya bisa berjanji mengurangi biaya hidup buruh di Ibu Kota.
Anies mengklaim kenaikan UMP yang belum memenuhi harapan para buruh, dapat ditalangi dengan biaya hidup turun yang bisa diintervensi oleh pemerintah daerah. Misalnya biaya transportasi di Jakarta yang satu keluarga bahkan bisa mencapai 30 persen dari total pengeluaran atau biaya.
Anies juga berjanji memberikan fasilitas pangan murah dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk anak-anak buruh sehingga dapat mengurangi biaya. Dengan begitu, biaya hidup bisa ditekan dan selisih tersebut dapat ditabung.
Namun bagaimanapun juga, kenaikan UMP 2022 yang tak sampai 1 persen itu dinilai tidak wajar. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik, angka kenaikan sebesar 0,85 persen bahkan menjadi yang terendah dari data historis yang terhimpun sejak 1999.
Bahkan angka ini masih lebih rendah dari kenaikan di tahun 2021 sebesar 3,27 persen, yang dianggap sebagai imbas dari adanya pandemi COVID-19. Adapun rata-rata upah minimum di Tanah Air tahun depan naik sebesar 1,09 persen.
Diklaim Terlalu Tinggi
Sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah menyebut kenaikan pengupahan di Indonesia justru terlalu tinggi dibandingkan banyak negara. Nilai pengupahan ini, kata dia kerap membuat banyak pengusaha kesulitan untuk memenuhinya.
“Kondisi upah minimum yang terlalu tinggi menyebabkan sebagian besar pengusaha tidak mampu menjangkaunya dan akan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan,” ujarnya dalam konferensi pers virtual baru-baru ini.
Ia mengungkapkan patokan Indonesia masuk ke dalam negara dengan pengupahan yang tinggi berdasarkan metode Kaitz Index yang digunakan secara global untuk mengukur upah minimum di suatu negara.
Namun bila dilihat dari laporan Organisation for Economic Co-Operation and Development yang dirilis CareerAddict, Indonesia tidak berada pada lima besar negara dengan nilai pengupahan tertinggi bagi para pekerja.
Luksemburg merupakan negara dengan nilai pengupahan tertinggi di dunia. Di sana pendapatan tahunan rata-rata pekerjanya, mencapai US$ 68.681 atau setara Rp977,3 juta dengan kurs Rp14.230 per tahunnya.
Negara dengan pengupahan tertinggi kedua di dunia adalah Islandia yang mengupah pekerjanya mencapai US$ 68.006 atau setara Rp 967,7 juta per tahun. Swiss menjadi negara ketiga dengan nilai pengupahan tertinggi sebesar US$ 66.567 atau setara Rp947,2 juta per tahun bagi pekerjanya.
Amerika Serikat merupakan negara keempat dengan nilai pengupahan tertinggi. Rata-rata pengusaha di sana menggaji pekerjanya sebesar US$ 65.836 atau bila dikurskan ke Rupiah setara Rp936,8 juta per tahun.
Negara kelima dengan nilai upah tertinggi si dunia adalah Denmark yang karyawannya digaji rata-rata sebesar US$ 57.150 atau senilai Rp813,2 juta per tahun.
Harus Sebanding dengan Produktivitas
Terkait hal itu, Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Dita Indah Sari menjelaskan pernyataan Menaker yang menyebutkan upah minimum terlalu tinggi menggunakan komparasi atau pembanding nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia.
Dita menyebutkan nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia sebetulnya masih cenderung rendah jika dibandingkan dengan upahnya. Ia menyebutkan nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia itu masuk ke dalam urutan ke-13 di Asia.
“Baik jam kerjanya maupun tenaga kerjanya, ini umum secara nasional. Bukan berarti semua orang layak dikasih gaji kecil,” ujarnya, dikutip dari Antara.
Menurut Dita, nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia memang rendah. Di Thailand, poinnya mencapai 30,9, sedangkan di Indonesia hanya 23,9 poin. Adapun Thailand menetapkan upah minimumnya mencapai Rp4.104.475,00, yang berlaku di Phuket. Angka ini lebih rendah dari di Indonesia, dibandingkan dengan upah minimum di Jakarta misalnya, padahal nilai produktivitasnya cuma mencapai 23,9 poin.
Belum Transparan
Terkait dengan kenaikan upah di DKI Jakarta yang hanya Rp37.749, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan dalam penetapan UMP di berbagai daerah Indonesia, termasuk DKI Jakarta sebetulnya belum transparan secara keseluruhan.
Ia menyebut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan masih ada data yang “gelap” dan susah terbuka bagi publik untuk mengetahui perhitungan detail pengupahan.
Pada umumnya, ada lima variabel dalam perhitungan sistem pengupahan untuk menentukan UMP, yakni validitas daya beli, penyerapan tenaga kerja, median upah, pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
“Kalau dilihat dari data pertumbuhan ekonomi dan inflasi misalnya, masih bisa kita dapatkan tapi ada data-data yang susah kita dapatkan secara lebih jelas misalnya kaya median upah tadi dari BPS (Badan Pusat Statistik) pasti enggak mungkin terbuka,” jelasnya kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Senin (22/11/2021).
Ia menambahkan, penyerapan tenaga kerja juga menjadi pertimbangan penetapan UMP. Saat ini, persentase penyerapan tenaga kerja sebesar 6,49 persen karena kondisi pandemi yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan.
“Cuma karena pengukuran jelasnya seperti apa juga tidak jelas. Ini kan, datanya enggak ketahuan jelas penyerapan tenaga kerja juga dihitung seperti apa,” ucapnya.
Ia menerangkan bila melihat nilai Inflasi rata-rata saat ini sebesar 1,67 persen dan pertumbuhan ekonomi sekitar 4 persen, semestinya kenaikan UMP di DKI Jakarta bisa lebih tinggi.
“Semestinya bisa lebih-lebih sedikit besaran UMP yang naik. Di undang-undang juga selama ini kan, enggak dijelaskan detail formulanya. Kalau perkiraan sebetulnya kenaikan UMP DKI bisa Rp50 ribu atau lebih tinggi malah,” imbuhnya.
Titik Tengah
Tauhid menyatakan tidak setuju dengan pernyataan Menaker yang menyebutkan kalau Indonesia adalah salah satu negara dengan nilai pengupahan tertinggi di dunia. Menurutnya wajar jika sistem pengupahan mengalami kenaikan secara dinamis dan pengusaha mesti mengikutinya.
“Kenaikannya tentu mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang akan naik dan inflasi yang juga bakal terus cenderung tinggi. Upah saat ini di Indonesia juga sekitar 1 persen kenaikannya, enggak bisa dibilang juga tertinggi,” pungkasnya.
Dalam kesempatan terpisah, perencana Keuangan One Shildt Financial Planning Mohamad Andoko mengatakan kenaikan UMP DKI yang besarannya sekitar Rp37 ribuan merupakan titik tengah pengupahan yang diberikan pengusaha dan diterima para pekerja.
Sebab, kata dia para pengusaha juga di masa pandemi masih harus dibebankan oleh biaya lainnya untuk operasional perusahaan dan berbagai tunjangan bagi para karyawannya.
“Sebetulnya kenaikan UMP yang hanya 1 persen ini juga masih memberatkan pengusaha. Gaji itu kan, fix cost dan mereka tetap harus terbebani untuk tunjangan hari raya, BPJS ketenagakerjaan, dan biaya fasilitas lain untuk pegawainya,” terangnya.
Sementara bagi pekerja, tentu memaksa mereka untuk terus meningkatkan kemampuan bekerja agar nilai tawarnya bisa meningkat di dunia kerja bahkan kalau bisa membuka usaha sendiri.
“Makanya itu kan, DKI juga mengadakan program pelatihan bagu pekerja supaya mereka punya skill yang lebih dan yang paling penting membuat mereka lebih kreatif punya usaha sendiri enggak cuma bergantung pada gaji,” tandasnya.
Utamakan Kesejahteraan Karyawan
Terkait dengan minimnya nilai kenaikan UMP 2022, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta optimistis pengusaha mengutamakan kesejahteraan karyawannya. Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Diana Dewi, karyawan juga mengetahui kondisi perusahaannya masing-masing, apalagi dalam saat pandemi COVID-19 saat ini.
“Pengusaha akan memberikan UMP sesuai dengan kemampuan perusahaan,” kata Diana Dewi, pada Rapat Pimpinan Provinsi II-2021, di Jakarta, Senin (22/11/2021) dikutip dari Antara.
Diana menjelaskan, kenaikan UMP 2022 ini juga tergantung pada masing-masing sektor usaha dan menyesuaikan dengan kondisi perusahaan. Jadi jika perusahaannya mendapatkan kinerja masih berlabel positif, bukan tidak mungkin kenaikan upah yang diberikan juga lebih besar.
Ketika perusahaan merugi, maka pengusaha pastinya mengeluh meski terkadang luput dari perhatian. Begitu juga ketika perusahaan untung, lanjut dia, pengusaha memiliki tanggung jawab moral termasuk membayar pajak.
“Ini lah yang jadi keprihatinan dari kita. Pada saat pandemi COVID-19, membuat kami semua dalam kondisi memprihatinkan, tapi kami tetap survive,” ucapnya.
Baca Juga: