Beberapa waktu lalu, cuitan akun Twitter pedagang online yang mengaku menerima “surat cinta” dari kantor pajak sempat menjadi perbincangan warganet.
Masalah NPWP
Dalam curhatan tersebut, salah seorang pedagang di salah satu marketplace menerima tagihan pajak mencapai Rp 35 juta untuk transaksi selama dua tahun.
“Yang udah berjualan dan baru dagang onlen, ingat kalo ada pajak. Ternyata selama ini data transaksi seller sopi diterima oleh kantor pajak, gatau kalo mp (marketplace) lain, kayaknya sih iya juga,” cuit akun @txtdariolnshop.
Diketahui kalau pedagang online yang menerima surat tagihan pajak tersebut belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Total tagihan pajak selama dua tahun karena dianggap tidak membayar pajak itu pun mencapai Rp35 juta.
Cuitan yang sama pun menuliskan saran kalau pedagang online, mulai sekarang mesti memperhitungkan biaya berjualan di marketplace dengan adanya potongan pajak, hingga biaya administrasi.
“Kecuali bagi yang sudah memiliki NPWP karena akan terdeteksi langsung biasanya. Semoga bisa menjadi perhatian untuk lebih cerdas memperkirakan harga yang akan kita jual,” cuit unggahan akun tersebut.
Cuitan ini kembali menjadi perbincangan karena isu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang diam-diam menjadikan pedagang di marketplace sebagai salah satu target objek pajak kembali terangkat.
Perlunya NPWP
Pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Ronny Bako mengaku ikut memperhatikan kembali ramainya sorotan soal pajak pedagang daring ini.
Ia menyebutkan, ada pernyataan dalam cuitan tersebut yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut. Sebab, menurutnya bisa disalahrtikan kalau pelaku UMKM yang berjualan online bakal ditagih pajak yang besar.
“Itu kan, seolah pernyataannya semua orang (yang berjualan online) bayar pajak besar. Padahal tidak demikian. Itu yang perlu dipahami masyarakat adalah semua orang yang punya usaha wajib memiliki NPWP,” katanya saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon, Senin (10/1/2022).
Pajak UMKM
Adapun bagi pelaku UMKM yang berjualan online atau tidak, kata dia sebetulnya sudah ada aturan pajaknya tersendiri, yakni berdasarkan omzet yang diperoleh mereka.
Hal ini, kata dia berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Adapun DJP mengenakan pajak penghasilan (PPh) atas UMKM kepada penjual baik melalui e-commerce ataupun toko retail, tarifnya 0,5 persen dari penghasilan bruto
“UMKM itu dia bayar pajaknya dari omzet. Mau dapat Rp50 atau Rp100 juta maka 0,5 persen, bayar PPh (Pajak Penghasilan),” ucapnya.
Bisa Bebas PPh
Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mulai berlaku tahun 2022, Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai PPh atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak.
Aturan pembebasan PPh untuk UMKM perseorangan tersebut tertuang dalam Bab III Pajak Penghasilan Pasal 7 ayat 2a UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dimana untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) perseorangan dengan penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun akan bebas Pajak Penghasilan.
NPWP Khusus Pelaku UMKM
Ronny turut mengingatkan, setiap pelaku UMKM juga harus memiliki NPWP agar data omzetnya bisa transparan dan jika ada keluhan, seperti tagihan pajak yang terlalu besar karena tidak sesuai perhitungannya maka bisa mengajukan protes.
“Jadi, kalau dia kalau pelaku UMKM lalu dikasih surat cinta dari kantor pajak dan itu tagihannya tidak sesuai, memang bisa sampaikan saja klarifikasi. Datang saja ke kantor pajak untuk membuatnya clear,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dirinya menyampaikan kritik kepada pemerintah soal NPWP untuk pelaku UMKM. Semestinya, kata dia di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang yang memunculkan banyak pelaku UMKM dadakan, perlu ada NPWP khusus mereka.
NPWP khusus ini, menurutnya perlu agar tidak memberatkan pelaku UMKM dari segi pajak karena omzet mereka yang berbeda-beda.
“Misalnya, UMKM di NPWP harus ada kode tertentu. Bisa dengan dibuatkan kode tiga angka yang menunjukkan dia pelaku UMKM. Selama ini kan, NPWP tidak ada beda jenisnya. Jadi ketika ada kode tertentu maka pemerintah tahu bahwa ini UMKM, sehingga tidak lagi memunculkan kesalahpahaman seperti ini,” tandasnya.
Staf Khusus Bidang Komunikasi Kementerian Keuangan, Yustinus Prastowo pun belum mau memberikan penjelasan lebih lanjut soal hal ini. Saat Asumsi.co mencoba mengubunginya, ia menolak untuk berkomentar.
“Belum bisa kasih jawaban sekarang ya,” ucapnya singkat melalui sambungan telepon. (zal)
Baca Juga:
Wamendag: Bursa Kripto Diperlukan Supaya Mudah Pungut Pajaknya
Sri Mulyani Semringah Penerimaan Pajak 2021 Lebihi Target
Sri Mulyani: Daripada Hidup Tidak Berkah, Mending Ikut Tax Amnesty