Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, telah memutuskan untuk bekerja sama dengan produsen laptop dalam negeri, Zyrex yakni PT. Zyrexindo Mandiri Buana Tbk. Hal itu dilakukan dalam rangka memaksimalkan program Digitalisasi Sekolah yang digagas Kemendikbudristek.
Keputusan itu, mengundang pertanyaan publik soal alasannya memilih perusahaan ini untuk membuat Laptop Merah Putih. Lantas, tepatkah pemerintah menganggarkan biaya mencapai Rp17,42 triliun untuk pembuatan laptop buatan dalam negeri?
Zyrex Dinilai Sejalan dengan Digitalisasi Sekolah
Awal mula terungkapnya kerja sama ini sebenarnya sudah sejak bulan Mei lalu, saat Zyrex menandatangani perjanjian untuk memproduksi laptop di Indonesia pada tahun ini, dan tahun-tahun mendatang.
Tempo melaporkan, pada 24 Mei 2021, Zyrex bersama Pegatron Corporation, menandatangani perjanjian kerja sama tersebut. Pegatron merupakan salah satu perusahaan design and manufacturing service (DMS) terbesar di dunia. Mereka bergerak di bidang teknologi desain, dan manufaktur seperti perancangan Komputasi PC, komputasi kecerdasaan buatan, komunikasi 5G, elektronik konsumen, hingga perangkat otomotif.
Pegatron menyatakan siap, memberikan dukungan yang diperlukan dalam desain, manufaktur, serta layanan teknis kepada Zyrex. Hal ini untuk memastikan laptop buatan lokal yang diproduksi di Indonesia, berkualitas tinggi.
Baca Juga: Nadiem Siapkan Rp17,42 T untuk Laptop Merah Putih, Siapa yang Buat dan Apa Tujuannya? | Asumsi
Presiden Direktur Zyrex, Timothy Siddik, mengharapkan, lewat perjanjian kerja sama yang dukungan penuh dari Pegatron, Zyrex mampu menjadi pemasok utama dalam distribusi laptop terbesar yang pernah terjadi untuk Digitalisasi Sekolah.
Timothy meyakini, melalui perjanjian kerja sama dengan Pegatron, kualitas laptop Zyrex akan semakin meningkat dan bisa bersaing dengan merk impor lainnya.
“Pegatron berkomitmen tidak hanya untuk menjual produk ke Indonesia, tetapi juga mendukung dan mempromosikan pertumbuhan industri IT lokal seperti Zyrex, dalam hal transfer teknis dan teknologi,” ungkap Timothy Siddik.
Sementara itu, Nadiem mengungkapkan kepada Presiden Joko Widodo, kalau Zyrex dipilih karena memiliki visi dan misi yang sejalan dengan program Digitalisasi Sekolah, dan mendukung potensi barang produksi dalam negeri (PDN).
“Sebagai brand Indonesia, Zyrex sejalan untuk berpartisipasi dalam Digitalisasi Sekolah, dan kampanye nasional #BanggaBuatanIndonesia,” ucap Nadiem.
Saat ini, Zyrex telah terdaftar di e-Katalog Lembaga Pengadaan Publik Nasional Indonesia (LKPP), sebagai prinsipal lokal untuk memasok komputer pribadi, laptop, dan produk teknologi lainnya.
Dipilih Lewat Proses Lelang
Wakil Presiden Senior Pegatron Steve Huang, menyambut baik kerja sama ini. Ia menyebutkan, selama ini Zyrex telah menjadi mitra penting perusahaannya di Indonesia selama bertahun-tahun.
“Kami senang bekerja sama dengan Zyrex. Kami akan memiliki insinyur, dan teknisi kami untuk memberikan dukungan teknis penuh pada manufaktur untuk Zyrex, dan bersama-sama mengarah pada pasar potensial yang sangat besar di Indonesia,” jelas Steve.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengungkapkan, berdasarkan informasi yang diterima pihaknya, pemilihan Zyrex hingga dilibatkan bekerja sama dengan Kemendikbudristek, melalui proses lelang terbuka tanpa ada kandidat perusahaan lainnya.
“Jadi, ini memang lewat proses lelang terbuka yang kami dengar, memang langsung dipilihnya Zyrex, dan mungkin karena selama ini kita tahu hardware-nya banyak dari pengembangan berbagai kampus di Indonesia juga seperti Universitas Gadjah Mada, ITS, dan ITB,” ujar Satriwan kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Jumat (23/7/2021).
Baca Juga: Nadiem Gandeng Produsen Lokal Bikin Laptop Merah Putih, Bagaimana Isi Komponennya? | Asumsi
“Makanya, mereka juga dilibatkan untuk kerja sama memproduksi laptop buatan dalam negeri ini. Kami rasa sepanjang transparan dan tidak ada main mata di belakang, enggak masalah perusahaan yang ditunjuknya siapa,” sambungnya.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mesti mengawasi proses kerja samanya. Sebab, nilai proyek tersebut sangat besar yakni mencapai Rp17,42 triliun.
“Harus diawasi oleh BPK. Pihak Kemendikbudristek tidak menjelaskan lebih jauh memang, soal pengadaan barang setelah lelang ini, karena memang kerja sama dengan perusahaan. Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek juga harus memelototi ini. Jangan sampai, ada masalah atau sia-sia akhirnya di belakang, sehingga hanya terkesan bagi-bagi laptop,” tutur Satriwan.
Anggaran Lebih Efektif untuk Peningkatan PJJ
Satriwan menilai pemberian Laptop Merah Putih untuk diberikan ke berbagai sekolah, berpotensi sia-sia karena masih banyak daerah yang belum memiliki infrastruktur dasar untuk pembelajaran digital.
“Ketika bantuan laptop diberikan, persoalannya, infrastruktur dasar penunjang penggunaan laptop itu belum banyak yang maksimal. Misalnya, saya merujuk Data Pokok Pendidikan terbaru Kemendibudristek per Juni 2021, menunjukkan 19% sekolah atau setara 42.159 sekolah di semua jenjang, belum tersambung internet,” katanya.
“Artinya, buat apa dikasih bantuan laptop, tapi mereka tidak bisa akses internet? Tentu ini sia-sia dan tidak produktif. Kemudian di Papua dan Paua Barat di sana, masih ada yang belum tersambung listrik. Maka, Digitalisasi Sekolah ini belum siap dari dasarnya,” lanjut Satriwan.
Menurutnya, anggaran yang cukup fantastis ini, daripada seluruhnya digunakan untuk memproduksi Laptop Merah Putih, sebaiknya dibagi untuk program peningkatan kualitas pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sebab hingga saat ini, masih membuat pelajar mengalami learning loss alias ketertinggalan pembelajaran.
“Ini angka fantastis, semestinya angka sebesar itu digunakan untuk merancang PJJ yang efektif, sehingga tidak lagi banyak terjadi learning loss. Upaya merancang PJJ efektif ini adalah memperluas akses internet, pelatihan guru dengan peningkatan skill mereka melek digital, dan kasih laptop, hanya untuk yang benar-benar tidak bisa beli laptop. Supaya, tidak terjadi pemberian laptop ke sekolah swasta yang isinya banyak orang kaya,” tandasnya.
Baca Juga: Nadiem Ingin Pembelajaran Tatap Muka Disegerakan, Tapi Kesiapannya Masih Dikeluhkan | Asumsi
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Lisman Manurung menilai, anggaran ini bisa diperkecil dengan menerapkan sistem penggantian uang laptop ke sekolah-sekolah.
“Jadi sekolah-sekolah mendata siswa-siswanya, mana yang memang membutuhkan laptop. Sekolah kan, yang paling tahu mana siswa yang tidak mampu beli laptop,” kata Lisman saat dihubungi Asumsi.co secara terpisah.
Data yang disiapkan pihak sekolah, lanjut dia, mesti benar-benar lengkap, menunjukkan murid yang harus diberikan laptop memang mengalami kesulitan secara ekonomi, terlebih di masa pandemi ini.
“Sistem reimburse ini, jadi sekolahnya keluar uang dulu membelikan laptopnya, nanti data disampaikan ke Kemendikbudristek, mana saja mahasiswa membutuhkan yang sudah dibelikan laptop. Sehingga, penggunaan anggaranya lebih optimal,” terangnya.
Selain itu, menurut Lisman, pemerintah saat ini tidak perlu memaksakan memproduksi laptop dalam negeri untuk diberikan ke sekolah-sekolah. Demi hemat anggaran, sebaiknya tetap bisa membeli laptop impor yang mungkin harganya lebih murah.
“Toh kalau pun bisa, bikin beberapa komponennya di dalam negeri, jeroan lainnya di produk laptop yang katanya dalam negeri juga, masih pakai buatan luar negeri. Jadi, sekalian saja laptop buatan Cina juga yang diberikan ke sekolah-sekolah,” tandasnya.