Ekonomi Berbasis Kebudayaan sebagai Antitesis Ekonomi Ekstraktif

Admin — Asumsi.co

featured image
Bentuk kebudayaan Indonesia (Sumber: Wikimedia Commons)

Indonesia perlu mengerek laju pertumbuhan ekonomi dan memanfaatkan berbagai potensinya agar bisa memenuhi karakteristik negara maju. Untuk dapat lepas dari perangkap kelas menengah dan masuk kelompok negara maju, Indonesia menyusun peta jalan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Terdapat empat pentahapan pembangunan dalam rancangan akhir RPJPN 2025-2045 yang perlu ditempuh.

Tahap pertama (2025-2029) berfokus pada hilirisasi sumber daya alam (SDA), peningkatan kapasitas riset inovasi, dan produktivitas tenaga kerja dengan target pertumbuhan ekonomi 5,6-61 persen. Tahap kedua (2030-2034) berfokus meningkatkan produktivitas dan perluasan sumber pertumbuhan ekonomi dengan target 6,9-7,8 persen. Tahap ketiga (2035-2039) berfokus menjadi poros maritim Asia, penguasaan teknologi tinggi, dan penguatan ekonomi dalam negeri yang terintegrasi jaringan global dengan target 6,4-7,6 persen. Tahap keempat (2040-2045) berfokus mengejawantahkan Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi dan poros maritim dunia.

Indonesia memiliki potensi SDA, sumber daya manusia (SDM), dan sumber daya budaya untuk mencapai target RPJPN 2025-2045. Potensi SDA Indonesia bisa dilihat dari kekayaan hutan, tambang, air, sampai mineral. Indonesia juga dianugerahi keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan maupun obat-obatan. Sedangkan potensi SDM Indonesia dapat ditinjau dari jumlah penduduk terbanyak keempat dunia. Peningkatan kualitas SDM semakin urgen mengingat bonus demografi diperkirakan akan merosot sebelum tahun 2040. Namun, tidak tergambar sama sekali rencana pembangunan berbasis kebudayaan dalam RPJPN 2025-2045. Yang tergambar dalam RPJPN 2025-2045 justru 20 tahun ke depan Indonesia masih berfokus pada pemanfaatan SDA.

Sementara itu, potensi sumber daya budaya relatif belum banyak disorot dan dimanfaatkan secara optimal untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Padahal, Indonesia juga mempunyai keberagaman suku, ras, agama, kepercayaan, bahasa, dan budaya dengan kekhasan yang berbeda satu sama lain. Bahkan, The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) mengakui Indonesia sebagai super power di bidang budaya. Pengakuan itu disampaikan Asisten Direktur Jenderal UNESCO, Fransesco Bandarin kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Muhadjir Effendy di sela-sela Sidang Umum UNESCO ke-39 pada November 2017 lalu. Indonesia memang berpeluang menjadi produsen barang dan jasa kebudayaan. Bahkan, Indonesia sudah sepantasnya menjadi poros seni dan budaya Asia Tenggara.

Tetapi, saat ini malah Singapura yang terkesan lebih bersiap menjadi poros seni dan budaya Asia Tenggara daripada Indonesia. Singapura sudah lama menjadi poros bisnis, keuangan, dan transportasi Asia Tenggara. Singapura juga telah lama merencanakan pertumbuhan status poros dengan mengembangan sumber daya budaya sekaligus membangun infrastruktur seperti gedung konser dan teater kelas dunia, tempat percetakan jurnal dan produksi film Melayu, beragam museum hingga pusat penelitian seni kontemporer.

Investasi besar-besaran di bidang kebudayaan juga menjadikan Singapura magnet kunjungan wisatawan mancanegara. Singapura berhasil mengembangkan pariwisata berbasis kebudayaan yang memanfaatkan potensi sumber daya budaya berupa teknologi, pengetahuan, infrastruktur, kesenian, serta hasil cipta, rasa, dan karsa manusia lainnya. Dalam kasus Singapura, terungkap bahwa yang membedakan antara pariwisata berbasis kebudayaan dan pariwisata berbasis keindahan alam terletak pada objek daya tariknya.

Yang menjadi modal utama Singapura dalam mengembangkan pariwisata adalah unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakatnya, bukan SDA. Indonesia sebenarnya juga bisa mengembangkan pariwisata berbasis kebudayaan yang menyajikan berbagai pengalaman unik. Mulai dari berinteraksi dengan masyarakat adat, mencicipi makanan khas, membuat kerajinan lokal, menyaksikan pertunjukan tari tradisional, sampai mempelajari warisan sejarah.

Pariwisata berbasis kebudayaan bukan sekadar dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sebagai medium pembangunan ekonomi, pariwisata berbasis kebudayaan juga bisa meningkatkan standar hidup masyarakat, memeratakan distribusi pendapatan, hingga memastikan keberlanjutan lingkungan.

Ekonomi Berbasis Kebudayaan

Pengelolaan sumber daya budaya untuk pariwisata harus menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam prosesnya. Pengelolaan sumber daya budaya untuk pariwisata tidak hanya berkutat pada aspek pelestarian kesenian tradisional ataupun benda-benda bersejarah, melainkan juga memikirkan aspek pemanfaatan. Sehingga, pengelolaan pariwisata mesti memunculkan kebermaknaan sosial atas suatu sumber daya budaya di dalam kehidupan masyarakat.

Misalnya, pengembangan kawasan warisan sejarah sebagai pariwisata berbasis kebudayaan yang tidak akan terealisasi tanpa adanya kolaborasi antara pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat setempat. Pihak swasta dapat merestorasi bangunan bersejarah yang terbengkalai untuk dijadikan tempat usaha seperti kafe, restoran, sampai supermarket. Sedangkan masyarakat setempat bisa pula meraup keuntungan dari kawasan warisan sejarah tersebut dengan menjual berbagai produk komersial, mengelola lahan parkir, sampai menyediakan jasa tour guide. Karena merasa memperoleh manfaat ekonomi, maka masyarakat setempat biasanya akan berpartisipasi dalam upaya menjaga kawasan warisan sejarah itu.

Sementara itu, pemerintah dapat mengambil peran sebagai regulator, fasilitator, dan motivator. Selain membangun infrastruktur untuk menunjang kawasan warisan sejarah tersebut, pemerintah juga perlu mengembangkan SDM masyarakat setempat. Di antaranya, melalui pelatihan untuk menciptakan berbagai produk komersial yang menyokong pengembangan kawasan warisan sejarah itu sebagai pariwisata berbasis budaya.

Serta, melakukan sosialisasi kekayaan intelektual (KI) untuk melindungi merek produk yang dihasilkan pelaku ekonomi kreatif ini. Bahkan, produk komersial yang dijual di kawasan warisan sejarah tersebut dapat menjadi promosi wisata jika memiliki label indikasi geografis dengan keunggulan dari segi keunikan dan ciri khas daerahnya. Sebab, indikasi geografis merupakan salah satu jenis KI yang menjadi suatu tanda untuk menunjukkan daerah asal produk.

Indonesia harus memanfaatkan kreativitas dan inovasi sebagai KI yang dapat menjadi kekuatan penggerak pembangunan ekonomi. Salah satunya memanfaatkan potensi produk budaya populer Indonesia yang mampu bersaing secara global dengan Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Amerika Serikat. Indonesia perlu mengatasi berbagai permasalahan hak cipta seperti pembajakan dan pengelolaan royalti yang menghambat perkembangan industri berbagai produk budaya populer seperti musik, buku, hingga film.

KI komunal maupun KI konvensional sama-sama merupakan sumber daya budaya yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap SDA sebagai pendorong pembangunan ekonomi. Apalagi, dunia sekarang bergerak ke arah digitalisasi dengan perekonomian yang berpusat pada manusianya. Sumber daya budaya sejatinya juga adalah kebudayaan yang terus diperbarui dengan kreativitas dan inovasi untuk menjawab tantangan zaman.

Menurut ahli ekonomi berbasis kebudayaan dari Macquarie University, Australia, David Throsby AO dalam diskusi yang digelar Ditjenbud bersama Koalisi Seni pada Rabu (5/9/2019), manfaat kebudayaan bisa diukur melalui dua segi. Pertama, dari segi ekonomi, industri kebudayaan menghasilkan barang dan jasa untuk pasar maupun kepentingan publik, yang pada gilirannya berdampak pada inovasi di sektor industri lain. Kedua, dari segi budaya, industri kebudayaan berkontribusi dengan menunjukkan nilai dari barang dan jasa artistik, menaikkan nilai peran individu dalam kegiatan kreatif, mendukung peran seni melalui pendidikan, serta mewujudkan nilai sosial dialog lintas budaya.

Indonesia menanggapi besarnya nilai ekonomi kebudayaan dengan mengembangkan industri ekonomi kreatif. Indonesia sudah menetapkan kementerian dengan nomenklatur pariwisata dan ekonomi kreatif sejak 2011. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif saat itu, Mari Elka Pangestu menerbitkan cetak biru yang menjadi cikal bakal terbentuknya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), yang membantu presiden merumuskan serta mengkoordinasikan kebijakan di bidang ekonomi kreatif. Keseriusan berlanjut dengan pengesahan UU 24/2019 tentang Ekonomi Kreatif yang di dalamnya mengamatkan penyusunantur Rencana Induk Ekonomi Kreatif.

Antitesis Ekonomi Ekstraktif

Tren kebijakan global semakin mengarah pada pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi) seiring seriusnya ancaman perubahan iklim dan komitmen bersama negara-negara dunia memitigasi sesuai Kesepakatan Paris. Tren tersebut berdampak pada perekonomian negara dengan ketergantungan terhadap ekonomi ekstraktif yang mengeruk keuntungan dari memanfaatkan SDA. Sebab, ekonomi ekstraktif pada kegiatan pertambangan batu bara, minyak bumi, dan gas alam saja sudah menyumbang begitu besar emisi karbon.

Di sisi lain, ekonomi ekstraktif cenderung mengabaikan aspek demokrasi maupun keadilan karena memperparah kesenjangan sosial dan memperburuk kualitas lingkungan hidup. Manfaat ekonomi ekstraktif juga kerap tidak terlalu dirasakan masyarakat karena permasalahan transparansi AMDAL, implementasi regulasi, dan ganti rugi lahan. Indonesia perlu menguatkan ekonomi berbasis kebudayaan sebagai alternatif lain pengganti ekonomi ekstraktif. Selain mempercepat target Indonesia menuju negara minim emisi karbon, ekonomi berbasis kebudayaan juga tidak bergantung pada SDA yang tidak dapat diperbarui dan jumlahnya terbatas, sehingga suatu hari nanti pasti akan habis.

Ekonomi berbasis kebudayaan memanfaatkan sumber daya budaya yang merupakan asset Indonesia paling potensial untuk mendatangkan banyak keuntungan ekonomi. Indonesia semestinya bisa mengikuti jejak negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan, Jepang, dan China, yang mampu mempercepat pembangunan ekonominya dengan mengkapitalisasi sumber daya budaya mereka. Indonesia seharusnya dapat menikmati multiplier efek dari mengkapitalisasi sumber daya budaya. Produk yang dihasilkan dari mengkapitalisasi sumber daya budaya tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, melainkan juga mempromosikan keunikan Indonesia – yang pada akhirnya mendatangkan wisatawan mancanegara.

Ekonomi berbasis kebudayaan berupaya menciptakan sistem yang berkelanjutan sebagaimana tujuan Indonesia sebagai negara demokrasi dengan pemerintahan berdasarkan pada kedaulatan rakyat dalam mewujudkan masa depan sebuah bangsa. Ekonomi berbasis kebudayaan juga berpihak pada keadilan sosial dalam mengakses sumber daya. Ekonomi berbasis kebudayaan pada dasarnya berbanding terbalik dengan ekonomi ekstraktif. Oleh karena itu, ekonomi berbasis kebudayaan yang tidak bergantung pada SDA tak dapat diperbarui harus mulai diarusutamakan agar ekonomi Indonesia di masa depan terjamin keberlanjutannya.

Baca Juga:

Budaya Sehat Jamu Ditetapkan Jadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO

UNESCO Tetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta Sebagai Warisan Budaya Dunia

Bahasa Indonesia Ditetapkan Sebagai Bahasa Resmi Konferensi Umum UNESCO

Share: Ekonomi Berbasis Kebudayaan sebagai Antitesis Ekonomi Ekstraktif