Pertengahan April lalu, Jeff Smith, seorang aktor muda yang sering lalu lalang di dunia perfilman dan sinetron, kembali menjadi sorotan. Namanya kembali naik, bukan karena kelihaiannya dalam berakting, melainkan keberaniannya mengungkapkan pendapat – yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran – dalam konferensi pers yang digelar oleh kepolisian, 19 April 2021.
Perlu diketahui, Jeff Smith harus menghadapi proses hukum karena menggunakan narkotika jenis ganja setelah sebelumnya ditangkap pada 14 April lalu. Namun, walaupun saat ini berstatus sebagai tahanan, Jeff Smith dapat membalikan stigma buruk yang dilekatkan pada seorang pengguna. Ia justru menyuarakan hal yang jarang disampaikan oleh banyak figur publik lainnya, maupun tersangka non-figur publik, ketika terjerat kasus narkotika.
“…Menurut saya ganja tidak layak untuk dikategorikan sebagai narkotika golongan satu. Secepatnya Indonesia harus melakukan penelitian…” imbuhnya. Ucapan ini pun menjadi ramai karena menjadi sorotan publik, khususnya di media sosial.
Kenyataan Riset Ganja di Indonesia
Apa yang disampaikan Jeff Smith – mulai dari ganja tidak layak masuk dalam golongan I, hingga perlu melakukan riset tentang ganja – merupakan hal yang benar adanya. Terlebih mengenai riset tentang ganja. Hingga kini, Indonesia belum melakukan riset komperhensif terkait ganja itu sendiri, khususnya medis.
Baca juga: Dibuatin Lagu Biar Enggak Pakai Narkoba, Memang Bisa Efektif? | Asumsi
Setelah WHO mengeluarkan rekomendasi legalisasi ganja (WHO 5.4 & 5.5) pada pertengahan tahun 2020, Pemerintah pun langsung bersikap untuk menolak rekomendasi WHO tersebut. Pemerintah berdalih, jika berdasarkan penelitiannya, ganja itu berbahaya bagi kesehatan.
Klaim itu pun dipertanyakan. Oleh karenanya, Koalisi masyarakat sipil, yang diwakili oleh LBH Masyarakat (LBHM), mengajukan permohonan informasi publik yang ditujukkan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Kementerian Kesehatan. Namun gayung tak bersambut, dan harus berlanjut ke tahap sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
Pemuda, dan keberanian berpendapat
Pemuda sudah menjadi poros pergerakan progresif sejak masa kolonial. Mereka turut aktif berpolitik pada masa itu dengan dilandasi nasionalisme dan kemanusiaan. Ini seperti yang ditunjukkan oleh Chairul Saleh dalam menyatukan gerakan di kalangan pemuda-pelajar dalam konteks meraih kemerdekaan. Tentu perjuangan yang dilakukan Chaerul Saleh akan berbeda dengan konteks Jeff Smith—memang akan sedikit jauh membandingkan kedua nama ini. Namun, yang perlu digaris bawahi, adalah keberanian dari kedua orang ini.
Keberanian Jeff Smith untuk bersuara secara terbuka dan jujur tentang ganja patut untuk diapresiasi. Mengapa? Karena, sepertinya, jarang sekali ada tokoh publik yang mau dan berani berbicara, sekalipun berada ‘di bawah tekanan’.
Jika ditilik lagi, mengapa jarang sekali ada tokoh publik, seperti Jeff ini, adalah karena pemerintah, secara tak langsung, selalu menerapkan fear-mongering dalam isu narkotika. John Fitzgerald, akademisi dari Melbourne University, mengatakan, jika tokoh politik ‘membajak’ isu narkotika untuk kepentingan politik, yang terjadi justru menimbulkan ‘luka’. Perang terhadap Narkotika (war on drugs) adalah salah satu slogan politis yang dibuat oleh tokoh politik yang mempunyai dampak yang luas pada publik, khususnya pengguna narkotika di Indonesia. Faktanya, Fear-mongering lewat ‘war on drugs’, yang dilakukan sejak tahun 2016, ternyata tidaklah berdampak terhadap penurunan angka kriminalitas. Justru sebaliknya, angka kriminalitas narkotika mengalami kenaikan. Namun, pemerintah tetap saja menjalankan hal tersebut ketimbang memilih mengganti narasi alternatif yang tidak menebarkan rasa ‘takut’.
Baca juga: Jangan Stigmatisasi Perempuan dan Anak Yang Terpapar Ide Ekstrem! | Asumsi
Walaupun belum ada penelitian lebih dalam tentang dampak Fear-mongering, seperti slogan ‘war on drugs’ terhadap psikologis publik untuk membicarakan narkotika di ruang publik memunculkan rasa takut atau tidak, tapi yang bisa dikonfirmasi untuk saat ini, yaitu proses edukasi atau informasi tentang narkotika yang datang dari pemerintah saat ini kental dengan narasi yang ‘menakut-nakuti’. Pasalnya, proses edukasi atau informasi itu hanya membicarakan bahaya narkotika saja, dan jarang sekali membicarakan hal-hal di luar frame tersebut, misalnya seperti reformasi kebijakan narkotika, legalisasi ganja medis untuk kesehatan, dan lainnya.
Sudah saatnya publik, khususnya pemuda-pemudi, untuk mulai berani membicarakan narkotika di ruang publik secara terbuka dengan maksud edukasi dan menciptakan narasi alternatif tentang narkotika, yang selama ini masih dikapitalisasi oleh pemerintah lewat slogan ‘war on drugs’-nya.
Selama kebebasan berpendapat masih dijamin konstitusi dan undang-undang, sudah saatnya kita memanfaatkan hal tersebut untuk membalikan tabu, phobia, dan stigma, tentang narkotika dan pengguna narkotika, lewat edukasi-edukasi ilmiah yang berdasar. Tidak hanya berbasiskan pada ‘katanya’ sembari membacakan lembar-lembar kosong.
Mungkin pidato Soekarno tentang pemuda ada benarnya, “Beri aku 10 pemuda maka aku akan guncangkan dunia”. Mungkin saja, jika ada 10 pemuda, seperti Jeff Smith yang berani bersuara, Indonesia mau berpikir untuk mereformasi kebijakan narkotikanya supaya lebih humanis.
—-
Tengku Raka adalah sarjana lulusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran yang percaya bahwa sejarah memiliki hubungan erat dengan kehidupan saat ini. Sekarang ia aktif bekerja sebagai communication specialist di LBH Masyarakat.