Isu Terkini

Jangan Stigmatisasi Perempuan dan Anak Yang Terpapar Ide Ekstrem!

Irfan — Asumsi.co

featured image
Freepik/pikisuperstar

Masih segar ingatan tentang aksi lone wolf ZA, yang menyerang Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dengan sepucuk air gun, akhir Maret 2021 lalu. ZA tidak hanya membuktikan kalau ancaman aksi teror masih sangat ada di sekitar kita. Dia juga mengingatkan lagi kalau pelibatan perempuan dan anak sebagai salah satu cara khas Islamic State Iraq and Syiria (ISIS) melakukan serangan, masih memprihatinkan.

Hal ini bukan isu baru. Sejak ISIS dideklarasikan di Iraq dan Suriah, berangsur-angsur sudah banyak keluarga Indonesia dan seluruh dunia yang secara sukarela merapat ke sana. Itu berarti termasuk perempuan dan anak-anak.

Namun, ketika ISIS terdesak dan pemerintah Suriah mengamankan para simpatisannya, banyak dari mereka yang berakhir di tahanan dan pengungsian. Untuk pengungsian, problemnya menjadi lebih dilematis karena kepulangan mereka jadi polemik di tanah air. Lantas apa yang harus dilakukan?

Jangan Distigma

Dalam diskusi dan peluncuran panduan teknis “Penanganan dan Pendampingan Deportan dan Returni Perempuan dan Anak terpapar Paham Radikal Terorisme” yang digelar oleh INFID secara daring, Rabu (21/4/2021), Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Irfan Idris menyebut kalau selama ini mereka bisa diterima setelah melalui proses penanganan, pendampingan, dan pemberdayaan.

Baca juga: Apa Iya Pemuda Tidak Kritis Bisa Jadi Teroris? 

BNPT melakukan pendekatan mulai dari personal sebelum kemudian mencoba mengubah pemahaman mereka akan negara. Namun, diakuinya, menangani deportan dan returni ini berbeda dengan tahanan terorisme di Lapas. Selama ini mereka dibina di Cipayung selama satu bulan sebelum dikembalikan ke keluarganya. Namun pendampingan ini diakuinya belum maksimal.

Oleh karena itu semua pihak diminta untuk berperan aktif melakukan penanganan dan pendampingan. Untuk proses reintegrasi sosial deportan dan returni perempuan dan anak terpapar radikal terorisme sendiri, BNPT menanamkan empat nilai yang harus dilakukan oleh masyarakat yakni kebermaknaan, kepercayaan, penerimaan, dan keteladanan.

“Bagaimana empat cara ini membuat mereka bisa kembali ke masyarakat agar tidak ada stigma. Ini bukan penyakit turunan kok, cuma memang terkadang ada yang mengemasnya dengan bahasa Agama sehingga menarik. Jangan diasingkan, karena mereka bingung,” ucap Irfan.

Menurutnya, perjumpaan seseorang dengan ide-ide radikalisme seringkali didukung oleh keputusasaan. Ini ditambah dengan alasan-alasan ekonomi, politis, bahkan teologis yang dikemas oleh para propagandisnya.

Kondisi ini jelas memprihatinkan karena mereka ada di posisi yang gamang. Dalam posisi kosong ini seringkali mereka dijebak lagi sehingga dengan sukarela menyetor uang ke ISIS, diikat oleh pernikahan, dan bahkan melakukan aksi teror.

“Ini perlunya kita memenangakan hati dan pikiran mereka. Jangan disalahkan, karena mereka berada dalam posisi yang memprihatinkan,” ucap dia.

Perempuan Sebagai Agen Palsu

Tenaga Ahli Utama Kantor Staff Kepresidenan, Siti Ruhaini Dzuhayatin menilai kalau agama hanya menjadi salah satu sentimen yang sering digunakan oleh propagandis ide radikalisme. Karena secara lebih luas, banyak aspek identitas lain yang digunakan sebagai sentimen.

Baca juga: Pengarusutamaan Gender Untuk Halau Aksi Teror dan Ekstremisme: Kenapa Itu Penting? 


“Bisa dari etnis, ras, gender, jadi agama hanya salah satu sentimennya. Sehingga tidak tepat kalau dikatakan agama adalah sumber radikalisme,” kata Ruhaini.

Adapun untuk pelibatan perempuan pada gerakan teror, sering terjadi karena adanya kesalahpahaman bahwa ikut dalam gerakan teror adalah bentuk emansipasi dan kesetaraan. Padahal, sejumlah penelitian menunjukkan kalau selama ini, dalam gerakan teror berbasis agama, seringkali terjadi relasi kuasa asimetris yang membuat perempuan hanya menjadi pseudo-agency.

“Kerentanan perempuan dan anak dalam asymetric power relations harus jadi perhatian saat melakukan pendampingan,” kata dia.

Tak heran kalau kemudian dalam aksi yang mereka namakan jihad, keterlibatan perempuan mulanya sangat minor. Doktrin soal aksi teror berkedok jihad ini pun lebih berorientasi pada fetisisme laki-laki, baik dari segi pahala atau ganjaran bidadari surga. Ini menegaskan kalau perempuan hanya agen palsu.

“Tapi yang pseudo-agency ini lebih militan karena mereka ingin membuktikan. Sementara anak mendapat pola relasi yang jauh lebih kompleks,” ucap dia.

Pemerintah sendiri, kata dia, sudah memiliki Perpres No 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme tahun 2020-2024. Dalam Perpres ini, sudah ada kausul penting yang punya prinsip pengarusutamaan gender dan hak anak dalam penanggulangan ekrstemisme.

“KSP juga terus terbuka untuk membangun sinergi, termasuk perlunya peraturan yang lebih mengikat terkait pendampinag pada korban yang dapat dijalankan lebih efektif dan lebih baik hasilnya di dalam reintegrasi korban paparan terorisme radikalisme di dalam masyarakat,” ucap dia.

Ketua Pimpinan Wilayah Fatayat NU Jawa Timur, Dewi Winarti menilai kalau perlu pemahaman yang utuh atas istilah-istilah seperti radikalisme, terorisme, ekstremisme dan semacamnya. Hal yang sama juga penting dalam membaca gerakan ekstrem baik dalam motif politisnya, kedok agama, atau aspek lain seperti kesataraan gender. “Pembacaan gerakan ini perlu dipahamkan pada dampingan masyarakat kita terkait gerakan radikal terorisme,” kata Dewi.

Baca juga: Pasca Bom Makassar: Apa Sih Pemicu Ekstremisme?

Dia juga melihat kalau regulasi soal pendampingan ini belum selesai. Oleh karena itu perlu kolaborasi antar-mitra untuk mengisi kekosongan dan kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing pihak.

“Pemulangan deportan sudah 76 persen dan untuk returni 60 persen, fakta ini tidak bisa dihilangkan, sehingga hadirnya pedoman penting untuk mempertegas komitmen kita untuk melakukan hal-hal positif terkait pendampingan dan proses kolaborasi yang bisa menjawab persoalan di masyarakat,” ucap dia.

A. D. Eridani, menilai perempuan dan anak yang ada di Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS adalah korban dari propaganda radikal global yang digaungkan oleh kelompok tersebut. Berdasarkan data BNPT, jumlah perempuan di Irak dan Suriah ada sekitar 301 orang. Sementara anak-anak ada sekitar 546.

“Itu yang sudah teridentifikasi, yang belum sekitar 158 orang. Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan sejak Juni sampai September 2020, kami temukan hingga saat ini belum ada peraturan khusus yang mengatur soal pendampingan deportan dan returni korban terpapar paham radikal terorisme, baik di pusat dan di daerah,” kata Dani.

Di pusat memang sudah ada program rehabilitasi. Tapi ketika turun ke daerah, masih banyak ditemukan kekurangan. Selain itu, yang masih sangat minim dari pendampingan ini, adalah proses reintegrasi korban yang baru saja pulang dari Irak atau Suriah.

Oleh karena itu, bersama sejumlah pihak, seperti Fatayat NU dan Harmoni, pihaknya menyusun pedoman teknis penanganan dan pendampingan deportan dan returni perempuan dan anak terpapar paham radikal terorisme. Pedoman ini disusun setelah menjalani sejumlah pelatihan dan forum diskusi antara INFID dengan sejumlah pemangku kepentingan di Kota Bandung dan Surabaya.

“Harapan kami pedoman ini akan digunakan oleh pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil dan keagamaan tentang bagaimana penanganan deportan dan returni perempuan dan anak korban radikalisme di daerah,” ucap dia.

Share: Jangan Stigmatisasi Perempuan dan Anak Yang Terpapar Ide Ekstrem!