Isu Terkini

Pasca Bom Makassar: Apa Sih Pemicu Ekstremisme?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Amaury Gutierrez

Bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar pada Minggu
(28/3/2021) langsung ditindak oleh aparat dengan melakukan sejumlah penangkapan
terduga jaringan teroris di beberapa daerah. Info terkini menyebut kalau pelaku
bom bunuh diri adalah sepasang suami istri yang terafiliasi dengan kelompok
Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Gerakan ekstrem memang bukan kali ini tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Sejak 1980-an, gerakan ekstrem bermotif jihad
dilakukan oleh kelompok Komando Jihad (Komji) dengan membajak pesawat Garuda
Indonesia Penerbangan 206 pada 28 Maret 1981.

Pesawat Woyla yang sedianya punya rute
Jakarta-Palembang-Medan ini dibelokkan ke Penang, Malaysia, kemudian Bangkok,
Thailand. Para pembajak mengajukan beberapa tuntutan di antaranya membebaskan sejumlah
tahanan yang di antaranya terlibat pada penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki
pada 11 Maret 1981 dan aksi teror di Rajapolah pada 22 Agustus 1980.

Memasuki tahun 2000, gerakan ekstrem di Indonesia
bisa dibilang tumbuh subur. Di sini penggunaan bom sebagai alat teror mulai
mendominasi. Dimulai dengan Bom Kedubes Filipina yang terjadi di Kedutaan Besar
Filipina, Jakarta, pada 1 Agustus 2000, aksi teror bermotif jihad dengan
menggunakan bom seolah menjadi berita tahunan di negeri ini.

Namun, perlu ditelusuri, apa sih yang membuat
gerakan ekstrem ini punya tempat di Indonesia?

Fuadi Isnawan dalam “Program Deradikalisasi
Radikalisme dan Terorisme Melalui Nilai–Nilai Luhur Pancasila” yang dimuat
di Jurnal Fikri, Vol. 3, No. 1, Juni 2018 menyebut, banyak faktor yang membuat
ideologi-ideologi ekstrem menemukan tempatnya di Indonesia. Faktor ini mencakup
pada faktor sosial, politik, hingga ekonomi.

Faktor yang cukup memengaruhi tumbuh kembangnya
ideologi ekstrem di masyarakat adalah faktor pendidikan. Meski bukan faktor
utama, pendidikan, utamanya dalam hal agama yang keliru bisa menjadi pemicu.

“Ajaran agama yang mengajarkan toleransi,
kesantunan, keramahan, membenci perusakan, dan menganjurkan persatuan tidak
sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada umat lebih
sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada
merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi
umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang
lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang
salah,” tulis Fuadi.



Ada dua tren paham yang ada dalam masyarakat Islam
kekinian terkait kemajuan Islam yang saling bertentangan. Pemikiran pertama
yang berbasis sekulerisme beranggapan bahwa agama merupakan penyebab kemunduran
umat Islam sehingga jika umat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya
maka ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini.

Sedang pemikiran yang kedua adalah mereflesikan
penentangannya terhadap alam realitas yang dianggapnya sudah tidak dapat
ditolerir lagi. Dengan begitu, jalan menuju selamat adalah agama yang
direfleksikan pada cara-cara yang sempit, keras, kaku dan memusuhi segala hal
yang berbau modernitas. Pemikiran ini merupakan anak 
kandung dari pada paham fundamentalisme.

“Pemikiran inilah yang jika tumbuh subur
dimasyarakat akan melahirkan tindakan-tindakan radikal-destruktif yang
kontra-produktif bagi bangsa bahkan agama yang dianutnya,” kata Fuadi.

Faktor ekonomi juga memengaruhi. Problem
kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir
seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan dapat
melakukan apa saja, termasuk melakukan teror.

Liberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi yang
kaya saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada yang miskin. Jika pola
ekonomi seperti itu terus berlangsung pada tingkat global, maka yang terjadi adalah terorisme internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini
diterapkan pada tingkat Negara tertentu, maka akan memicu tindakan 
terorisme nasional.

Fator lain yang signifikan adalah faktor sosial
dan politik. Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih memilih
menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap pemerintah
karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah
terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa.

Mengutip cendekiawan Islam, Azyumardi Azra,
ekstremisme di kalangan Islam juga banyak disebabkan karena pemahaman kegamaan
yang literal, sepotong-sepotong, dan parsial terhadap ayat-ayat al-Qur’an
sebagai sumber hukum primer dalam Islam. Selain itu, bacaan yang salah terhadap
sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam
pada masa tertentu. 

Share: Pasca Bom Makassar: Apa Sih Pemicu Ekstremisme?