Politik

Jokowi, Soekarno, dan Pidato “Benci” Mereka

Tengku — Asumsi.co

featured image
Foto: Biro Pers Setpres

Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat kerja nasional Kementerian Perdagangan tahun 2021 tentang “benci produk asing” mendapat sorotan publik. Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan, “Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia, harus terus digaungkan. Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri.” 

Sebagai kepala negara, Jokowi sedang meminta publik untuk mendukung perekonomian Indonesia lewat pemberdayaan produk nasional. Namun, Jokowi juga harus ingat bahwa ia adalah seorang tokoh publik dengan pengaruh besar atas segala ucapan maupun perilakunya. 

Bagaimana kita bisa mengartikan perasaan benci? 

Sigmund Freud berbicara tentang “cinta” dan “benci” sebagai dua sifat yang berlawanan. Cinta adalah eros, alias sifat konstruktif. Sedangkan benci adalah thanatos, yang berarti sifat destruktif. Yayat Supriatna dalam tulisannya di Jurnal Universitas Indonesia, “Sosiologi Emosi dalam Lovers dan Haters” menyebut, Freud mengkategorikan cinta sebagai perasaan kolektif yang menyatukan, sementara benci adalah perasaan yang disintegratif atau berkecenderungan memisahkan diri.  Pandangan tentang “benci” juga datang dari Stewart (1985) saat ia berbicara mengenai emosi dasar manusia. Menurutnya, benci, seperti halnya rasa tidak sabar, marah, cemas, dan cemburu, adalah bentuk emosi negatif. 

Lantas apakah pernyataan Jokowi termasuk dalam klasifikasi sesuatu yang disintegratif seperti disebutkan oleh Freud? Bisa jadi iya, bisa juga tidak. Sebab, selain kritik yang bertubi-tubi dari berbagai pihak, belum ada dampak secara langsung yang terjadi*.

Pernyataan “benci” terhadap elemen asing yang kontroversial juga pernah dilontarkan Presiden pertama RI, Soekarno, dalam pidatonya di tahun 1965. Saat itu, ia mengucapkan, “Go to hell with your aid,” kepada IMF, meski Indonesia saat itu tengah mengalami keterpurukan ekonomi dan inflasi yang tembus di angka 600 persen. Kalimat itu dilontarkan Soekarno sebagai reaksi terhadap tekanan dari Amerika Serikat yang menuntut Indonesia untuk mengakhiri ketegangannya dengan Malaysia jika ingin pinjaman IMF cair.  

Bicara soal Malaysia, tentu kita semua ingat seruan Soekarno untuk “Ganyang Malaysia” dalam pidatonya di tahun 1963 di Yogyakarta. Seruan tersebut disambut oleh histeria massa. Setelah pidato tersebut diluncurkan, muncul gelombang besar demonstrasi penolakan pendirian federasi Malaysia yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Massa pun membakar gedung kedutaan besar Inggris (sebagai negara yang mengakui kemerdekaan negeri jiran) dan dua puluh satu perumahannya. Soekarno, sebagai kepala negara dengan kharisma yang kuat, jelas memiliki kekuatan untuk dapat menggerakkan massa bahkan jika hanya melalui kata-kata. 

Bagaimana dengan Jokowi? 

Sebagai kepala negara, ia juga memiliki kekuatan dan kharisma tersebut. Hanya saja, keduanya memiliki jiwa zaman (zeitgeist) yang berbeda. Jika Soekarno dengan lantang menyerukan Ganyang Malaysia dan menolak bantuan IMF, Jokowi melakukannya dalam konteks perang terhadap narkotika. 

Dalam pidatonya di Hari Anti Peredaran Gelap dan Penyalahgunaan Narkotika Sedunia tahun 2016, Jokowi mengatakan “… semua itu harus dihentikan, harus dilawan dan tidak bisa dibiarkan lagi. Kita tegaskan perang melawan narkoba di Indonesia. Saya ingin ingatkan kepada kita semua, di Kementerian, di lembaga di aparat-aparat hukum kita, terutama di Polri. Saya tegaskan sekali lagi kepada seluruh Kapolda, jajaran Polda, kepada jajaran Polres, Polsek, semuanya kejar mereka, tangkap mereka, hajar mereka, hantam mereka, kalau UU memperbolehkan dor mereka…”. 

Pernyataan “perang” Jokowi terhadap narkotika ini secara tidak langsung merupakan sebuah ekspresi benci yang dilontarkan oleh Jokowi. 

Apakah pernyataan kuat ini memberi dampak nyata? Tentu saja. Jokowi sendiri menjalankan eksekusi mati sebanyak tiga gelombang sepanjang tahun 2015-2016, saat angka kriminalitas narkotika mengalami kenaikan. Angka narapidana dan tahanan narkotika yang tercatat dalam data irektorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum & HAM di tahun 2018, yang merupakan tahun kedua “perang” Jokowi terhadap narkotika, adalah sebanyak 41 ribu orang. Di tahun 2020, Ditjen PAS mencatat angka narapidana narkotika di Indonesia telah mencapai 156.814 orang.

Tidak hanya itu saja, data Ditjen PAS di tahun 2020 juga menunjukkan bahwa populasi penghuni penjara di Indonesia telah melebihi kapasitas sebesar 84 persen. Pernyataan Jokowi tentang “dor mereka” pun berdampak pada maraknya praktik-praktik extra judicial killing yang tidak mengindahkan asas praduga tidak bersalah. Di tahun 2018, LBH Masyarakat mencatat, terjadi 159 kasus tembak di tempat dengan dengan 199 korban luka dan tewas. 

Jika kita kembali kepada kesimpulan yang diberikan oleh Freud, benci itu bersifat menghancurkan. Sejarah menunjukkan bahwa seorang pemimpin selalu bisa menggerakkan massa dan membawa dampak nyata yang mengikuti perkataan dan perbuatan mereka. Kita harus belajar dari sejarah dan bukan sekadar belajar, tapi juga memahami. Tenaga ahli Kantor Staf Presiden memang telah menjelaskan bahwa pernyataan tersebut memiliki konteks untuk mengulik kebangkitan dalam negeri, tidak dalam konteks membenci negara atau produk luar. Namun, pernyataan seorang pemimpin jelas dianggap lebih berbobot, tak hanya oleh rakyatnya, tapi juga perwakilan negara-negara asing yang bertugas menjalin kerjasama dengan Indonesia. 

Alangkah baiknya jika seorang tokoh publik menunjukkan sifat arif dan penuh kasing sayang, dibandingkan sifat benci itu sendiri. 


*hingga tulisan ini diturunkan

___________________________

Tengku Raka adalah sarjana lulusan Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran yang percaya bahwa sejarah memiliki hubungan erat dengan kehidupan saat ini. Saat ini, ia aktif bekerja sebagai communication specialist di LBH Masyarakat.

Share: Jokowi, Soekarno, dan Pidato “Benci” Mereka