General

Riset: Edukasi Soal Hukuman Mati di Indonesia Masih Rendah

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash/Mex Keinen

Indonesia merupakan salah satu negara dengan hukum narkotika
paling keras di dunia karena menerapkan hukuman mati dengan metode eksekusi
utama oleh regu tembak. Namun, ternyata riset terbaru yang dirilis Lembaga
Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) bersama The Death Penalty Project menunjukkan
kalau sejauh ini penerapan hukuman mati di Indonesia cenderung dangkal. Riset itu
juga menyebut hukuman mati di Indonesia tidak membantu membangun pemahaman yang
baik terhadap persoalan hukumnya.

Hukuman Mati di RI Bukan Cuma Kasus Narkoba

Hukuman mati terhadap terpidana kasus narkotika mulai gencar
dilakukan di Indonesia pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)
bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). 

Sepanjang tahun 2015, ada 14 terpidana mati yang dieksekusi
Jokowi karena tersangkut kasus narkoba tanpa negosiasi, meski mereka telah
mengajukan grasi kepada Presiden. Kepala Negra bersikeras menolak permohonan
grasi dan tetap mengeksekusi mati mereka sebagai sikap perlawanan terhadap
narkotika.

Melansir Detik.com, berikut
daftar 14 terpidana kasus narkotika yang tercatat dieksekusi mati Jokowi di era
awal Kabinet Kerja hingga Oktober 2015.

1. WN Brazil, Marco Archer Cardoso Moreira, kasus
penyelundupan 13 kg kokain,

2. WN Malawi, Namaona Denis, kasus penyelundupan 1 kg
heroin,

3. WN Nigeria, Daniel Enemuo, kasus penyelundupan heroin
lebih dari 1 kg,

4. WN Belanda, Ang Kiem Soei, kasus pabrik narkoba terbesar
se-Asia,

5. WN Vietnam, Tran Thi Bich Hanh, kasus penyelundupan 1,5
kg sabu,

6. WNI Rani Andriani, kasus penyelundupan 3,5 kg heroin,

7. WN Australia, Myuran Sukumaran, kasus penyelundupan 8,2
kg heroin,

8. WN Ghana, Martin Anderson, kasus perdagangan 50 gram
heroin,

9. WN Spanyol, Raheem Agbaje Salami, kasus penyelundupan 5,8
kg heroin,

10. WN Brasil, Rodrigo Gularte, kasus penyelundupan 6 kg
heroin,

11. WN Australia, Andrew Chan, kasus penyelundupan 8,2 kg
heroin,

12. WN Nigeria, Sylvester Obiekwe Nwolise, kasus
penyelundupan 1,2 kg heroin,

13. WN Nigeria, Okwudili Oyatanze, kasus perdagangan 1,5 kg
heroin,

14. WNI, Zainal Abidin, kasus 58 kg ganja.

Koordinator Program dan Riset LBHM Albert Wirya mengatakan, seperti
banyak negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia hingga saat ini masih menerapkan
hukuman mati dengan asumsi memberikan efek gentar yang efektif terhadap
kejahatan hingga perdagangan gelap narkotika.

Baca juga: Amnesty International: Peningkatan Vonis Hukuman Mati Pertanda Krisis HAM di Indonesia | Asumsi

Namun, bukan cuma kasus narkoba yang bisa dikenakan hukuman
mati. Penelitian yang dijalankan oleh Toleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit
Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford ini menyebutkan ada sejumlah
kasus lain yang bisa dijerat hukuman mati. 

“Ada beberapa kejahatan yang dapat dihukum mati,
termasuk pembunuhan, perampokan, terorisme, dan tindak pidana narkoba. Lebih
dari 60% hukuman mati yang dijatuhkan di negara ini dan setengah dari semua
eksekusi yang dilakukan dalam 20 tahun terakhir adalah untuk tindak pidana
terkait narkoba,” kata Albert kepada Asumsi.co melalui
sambungan telepon, Rabu (30/6/21).

Laporan tersebut, kata dia, juga menunjukkan dukungan untuk
hukuman mati dalam skenario realistis lebih rendah daripada secara abstrak.
Serta ditunjukkan kemungkinan bahwa orang yang tidak bersalah dapat dieksekusi,
dukungan publik untuk abolisi meningkat dari 18% menjadi 48%. 

“Riset dilakukan untuk menyelidiki kepercayaan yang
diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati.
Hal ini konon didukung oleh mayoritas publik. Ternyata, lewat studi ini
menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai
penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya,” tuturnya.

Kurangnya Edukasi Soal Hukuman Mati

Albert menambahkan, hasil riset menunjukkan bahwa masyarakat
Indonesia memang tidak menentang penghapusan hukuman mati, namun mereka masih
tampak kurang edukasi soal duduk perkara hukumnya sehingga orang bisa dikenakan
hukuman mati.

Ia menjelaskan, hasil riset yang melibatkan 1.515 respondens
survei dan 40 orang dengan teknik wawancara, menampilkan 67% pembentuk opini
mendukung penghapusan hukuman mati di Indonesia. 

Baca juga: Menghukum Mati Koruptor Itu Gampang, yang Sulit Adalah Menyingkirkan Korupsi dari Sistem | Asumsi

“69% publik pada awalnya mendukung hukuman mati
dipertahankan, tetapi hanya 35% yang sangat mendukungnya,” katanya.

Sejauh ini, berdasarkan hasil riset cuma 2 persen publik
yang merasa sangat mengetahui tentang hukuman mati dibandingkan dengan
pembentuk opini yang pada umumnya lebih luas pengetahuannya tentang hukuman
mati dan sistem peradilan pidana yang lebih luas.

“Hanya 4% publik yang merasa sangat prihatin dengan
persoalan ini. Seperti banyak negara tetangganya di Asia Tenggara, Indonesia
mempertahankan hukuman mati dengan asumsi bahwa hukuman ini berfungsi sebagai
pencegah yang efektif terhadap kejahatan, khususnya perdagangan narkoba. Tetapi
sampai sekarang belum ada penelitian akademis yang mendukung keyakinan tersebut,”
ujarnya.

Negara Mana Saja yang Masih Menerapkan Hukuman Mati?

Ia mengatakan, sejauh ini metode hukuman mati yang
dijalankan di Indonesia melalui eksekusi regu tembak. Di negara-negara lain,
hukuman mati juga dilakukan dengan teknik berbeda.

“Seperti hukuman gantung di Tiongkok dan Arab Saudi.
Kemudian di Amerika Serikat juga masih ada hukuman mati dengan metode suntik
mati,” jelas dia.

Baca juga: Selain Terorisme, Ini 7 Hal yang Bisa Bikin Kamu Dihukum Mati di Indonesia | Asumsi

Hukuman suntik mati di AS pernah dikenakan kepada Daniel
Lewis Lee, pria berusia 47 tahun, dan komplotannya. Mereka dihukum karena
membunuh tiga anggota keluarga yang sama pada 1996. BBC melaporkan,
eksekusi mati baru dilakukan pada Juli 2020.

Ko-Direktur Eksekutif dari The Death Penalty Project,
Parvais Jabbar menambahkan, selama ini dukungan publik terus disebut-sebut oleh
pemerintah Indonesia sebagai alasan untuk mempertahankan hukuman mati.

“Tetapi temuan penelitian kami menunjukkan bahwa publik
sebenarnya terbuka untuk perubahan kebijakan tentang persoalan penting ini.
Kami berharap data dan analisis yang dikumpulkan dalam kedua laporan ini dapat
digunakan untuk memfasilitasi dialog konstruktif tentang masa depan hukuman
mati di Indonesia,” terangnya melalui keteranagn tertulis.

Sementara itu, Muhammad Afif, Direktur LBH Masyarakat
menambahkan, dua laporan ini menunjukkan bahwa mewujudkan penghapusan hukuman
mati bukanlah hal yang mustahil di Indonesia. 

“Pendapat publik dan elit memberikan harapan kepada
terpidana mati bahwa suatu hari kita bisa mengakhiri adanya regu tembak. Maka
pada tahun 2019, kami menjalankan penelitian ini untuk membuka diskusi bahwa
hukuman mati belum tentu jadi solusi bagi masalah hukum,” tandansya.

Share: Riset: Edukasi Soal Hukuman Mati di Indonesia Masih Rendah