Draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang muncul belakangan mengingatkan kita pada berita-berita hangat yang sempat muncul pada 2019 lalu. Kayak de javu, pasal yang dibahas dan memantik kontroversi itu, kok bisa sama dengan pasal yang September dua tahun lalu banyak ditolak? DPR-Pemerintah kayak enggak kapok aja gitu.
Padahal, penolakan publik pada RKUHP di 2019 cukup keras. Demonstrasi yang dimotori oleh kekuatan sipil, buruh, mahasiswa, bahkan pelajar terjadi beberapa hari. Di antaranya bahkan berakhir rusuh, yang membuat ruas jalan di seputaran Gedung DPR-MPR tak bisa diakses sejak sore hingga jelang pergantian hari. Akses keluar gedung DPR dikunci sampai tengah malam. Sehingga membuat mereka yang masih di dalam tak bisa pulang. Pagar depan Gedung DPR-MPR roboh. Fahri Hamzah, yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI, bahkan diamankan dari rumah dinasnya karena massa yang berkumpul di sekitar rumah itu.
Aksi demonstrasi juga meluas tidak hanya di Jakarta. Yogyakarta bahkan menarik pelatuk lebih dulu lewat aksi Gejayan Memanggil. Aksi serupa juga kemudian menjalar di Bandung, Medan, Makassar, dan banyak daerah lainnya.
Intinya, publik marah betul. Setidaknya tak mau dipukul dua kali dari belakang oleh negara. Mengingat di saat yang sama, DPR-Pemerintah juga baru saja mengesahkan UU KPK baru yang ditentang.
Baca juga: Draf RKUHP: Hina Kepala Negara Diancam Hukuman Pidana | Asumsi
Gelombang aksi ini ditanggapi represif. Di Jakarta, misalnya, massa aksi 30 September 2019 yang terkonsentrasi di Semanggi dipukul mundur oleh aparat setelah jam 18.30 WIB. Mereka yang sedang duduk-duduk, tak lama setelah azan magrib berkumandang, dibuat kocar-kacir dengan tembakan gas air mata. Kejarannya sampai di Plaza Semanggi, bahkan Kampus Atmajaya.
Karena situasi yang tak kondusif, pemerintah dan DPR pun melunak. Presiden Joko Widodo meminta pengesahan RKUHP ditunda untuk didalami lebih lanjut. Ia pun meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, menampung masukan dari berbagai kalangan terkait revisi UU tersebut sebelum disahkan oleh DPR.
Tak Berubah
Namun selang dua tahun ditunda, rasanya tak ada yang berubah dari draf RKUHP 2019. Pasal penghinaan Presiden dan DPR yang sempat ditentang habis-habisan hari ini, toh masih menclok juga. Isinya sama. Plek-plekan persis dengan yang ditolak publik dua tahun lalu.
Begitu pun dengan pasal-pasal yang menyangkut tentang aktivitas privat. Alih-alih mengesahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang lama mandeg, DPR dan Pemerintah lebih suka mengurusi norma dengan ancaman pidana.
Kepada Asumsi.co, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut, kondisi ini kontras dengan pernyataan Presiden tentang RKUHP 2019 lalu. Website Ditjen PP pada pertengahan 2020 lalu juga pernah melaporkan bahwa pemerintah sedang gencar membahas RKUHP sekalipun di tengah situasi pandemi.
“Jika tidak ada sedikitpun perubahan, lantas apa yang dibahas oleh pemerintah? sebagai catatan juga, pembahasan RKUHP di pemerintah setelah September 2019 belum pernah dilaporkan kepada publik,” kata Asfi.
Pihaknya bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga menaruh catatan pada pelaksanaan sosialisasi RKUHP oleh pemerintah. Soalnya, dalam sosialisasi, tidak ada satupun elemen masyarakat sipil, pihak-pihak kritis maupun pihak-pihak yang akan terdampak pemberlakuan RKUHP seperti kelompok masyarakat adat, kelompok rentan, pihak yang mewakili lintas sektor lain di luar hukum pidana dilibatkan sebagai pembicara dalam sosialisasi tersebut. Pascasosialisasi di tiap kota pun tidak pernah diinformasikan inventarisasi hasil masukan masyarakat dari setiap kegiatan dan tindak lanjutnya.
Baca juga: Urus Hak Privat Warga, RKUHP Bisa Bikin Penuh Penjara Hanya Karena Norma | Asumsi
“Sosialisasi ini lebih seperti hanya searah, bukan untuk menjaring dan menindaklanjuti masukan masyarakat,” ucap dia.
Oleh karena itu, Aliansi mendesak Pemerintah untuk membuka pembahasan RKUHP secara transparan, perluasan pembahas dan para ahli yang kritis untuk perbaikan RKUHP. “Apa yang dibahas oleh Pemerintah selama ini, dan mengapa tidak ada perubahan rumusan RKUHP sama sekali? Hal ini perlu dilakukan sebagai jaminan bahwa RKUHP adalah proposal kebijakan yang demokratis,” ucap dia.
Kementerian Hukum dan HAM sendiri telah menyelenggarakan 11 kegiatan sosialisasi RKUHP, terdiri dari: Medan (23 Februari 2021), Semarang (4 Maret 2021), Bali (12 Maret 2021), Yogyakarta (18 Maret 2021), Ambon (26 Maret 2021), Makassar (7 April 2021), Padang (12 April 2021), Banjarmasin (20 April 2021), Surabaya (3 Mei 2021), Lombok (27 Mei 2021), dan Manado (3 Juni 2021). Dari 11 kota tersebut, pemerintah hanya intensif menyebarkan lima materi yang sama dibawakan oleh Tim Perumus di setiap kota.
Namun berdasarkan laporan aliansi, objek utama dari sosialisasi tersebut, yakni draf RKUHP, baru diberikan aksesnya hanya pada para peserta sosialisasi di Manado. Akses dokumen RKUHP tersebut sangat eksklusif, hanya dibagikan khusus pada para peserta yang hadir secara luring di Hotel Four Point Manado maupun yang hadir secara daring melalui kanal zoom, dan bukannya melalui ketersediaan di lembaga Kemenkumham ataupun BPHN baik berupa luring maupun daring (website) yang bisa mudah diakses masyarakat, sesuai dengan Pasal 96 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Baca juga: Sederet Pasal di RKUHP Ini Bisa Bikin Wartawan di Penjara | Asumsi
Yang diberikan kepada peserta sosialisasi di Manado pun adalah draf RKUHP yang sama dengan draf yang ditolak oleh masyarakat pada September 2019 lalu. “Dengan demikian 24 poin permasalahan RKUHP yang telah Aliansi petakan masih ada, tidak diperbaiki,” Asfi menambahkan.
Sesuai Arahan Jokowi
Mengutip Kompas.com, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan menyebut draf RKUHP yang disosialisasikan Kemenkumham sudah sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Dengan begitu langkah Kemenkumham dinilai sudah tepat. “Semua yang disampaikan itu sudah dirumuskan dengan baik, semua sudah mengikuti apa yang disampaikan presiden arahannya,” kata Irfan kepada Kompas.com, Selasa (8/6/2021).
Kepada Medcom, Kepala Bagian (Kabag) Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman menyebut draf yang beredar hasil rancangan yang disepakati DPR dan pemerintah. Draf revisi KUHP tersebut disepakati pada September 2019. Hingga saat ini, belum ada perubahan draf yang dibahas antara Komisi III dan Kemenkumham. Hingga saat ini pula, legislatif dan eksekutif terus menyempurnakan draf revisi KUHP. Namun, meski terus disempurnakan, draf ini sudah disosialisasikan agar setidaknya, masyarakat bisa memiliki gambaran terkait revisi KUHP yang dilakukan. “Karena itu, draf 2019 menjadi pedoman untuk sosialisasi RKUHP,” ujar dia.