COVID-19 terus menyebar cepat dari hari ke hari. Di Indonesia, hingga Rabu (18/03/20) sore WIB, jumlahnya mencapai 227 kasus positif, 19 orang meninggal dunia, dan 11 orang sembuh. Lonjakan kasus itu menuntut pemerintah bergegas mengambil kebijakan strategis yang lebih serius dan berdampak luas.
Setumpuk masalah justru datang bergantian seiring penyebaran penyakit yang disebabkan virus ini. Mulai dari ketidaksiapan rumah sakit, kesimpangsiuran informasi karena kurangnya keterbukaan, sampai kesulitan mengakses layanan kesehatan yang memadai.
Di saat negara-negara lain sigap memutus mata rantai penyebaran COVID-19, Indonesia tampak seperti hewan besar yang kekenyangan. Social distancing dengan meminta masyarakat sekolah, bekerja, dan beraktifitas di rumah? Tak sepenuhnya berjalan. Lockdown? Presiden Joko Widodo saja jelas-jelas enggan.
Tengok Cina, negara asal penyebaran, yang ajek mengumumkan kabar baik terkait jumlah pasien yang sembuh ketimbang menambah kasus baru. Pola karantina diterapkan lewat kebijakan lockdown. Beda lagi dengan Korea Selatan yang menempuh langkah tes massal COVID-19, dengan 15.000 orang menjalani tes per hari.
Baca Juga: Gejala COVID-19 Bisa Mirip DBD, Awas Salah Diagnosis
Negara serumpun Malaysia juga baru saja memberlakukan lockdown per Rabu (18/03). Langkah-langkah besar itu diambil dalam rangka memudahkan negara-negara tersebut untuk mengidentifikasi pasien terjangkit sejak dini dan memangkas laju penyebaran. Baru hari ini, Kamis (19/03), Presiden Joko Widodo mengimbau agar kita menjalankan rapid test massal alih-alih lockdown.
Rumitnya pilihan-pilihan yang dihadirkan pemerintah, dan mirisnya kondisi penanganan saat ini, tentu membuat masyarakat pun jadi bingung. Imbasnya, tak sedikit pula masyarakat yang tak memeriksakan diri ke rumah sakit meski misalnya ada gejala COVID-19 dan tetap beraktivitas seperti biasa.
Boleh jadi, seperti yang dipaparkan pada artikel “Siasat Orang Miskin Menghadapi COVID-19”, sebagian besarnya merupakan masyarakat berkemampuan ekonomi menengah ke bawah. Kebijakan work from home (WFH) tentu jadi tak relevan.
Bagi yang mengandalkan pendapatan harian, tak ada pilihan selain bekerja. Jangankan berinisiatif untuk periksa atau tes COVID-19 ke rumah sakit—yang butuh biaya—hasil kerja barangkali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari.
Tak hanya pekerja dengan pendapatan harian yang tertekan, para pekerja yang diminta untuk WFH oleh pemerintah pun berpeluang mengalami nasib sama. Dalam surat edaran Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Selasa (17/03), poin II.4, perusahaan disebut boleh melakukan penyesuaian upah kepada pekerja yang WFH atas dasar kesepakatan bersama.
Baca Juga: Jangan Tunggu Vaksin COVID-19, Kita Mungkin Takkan Kebagian
Lalu, di saat orang-orang kaya, yang punya privilege dan jabatan penting, begitu cepat diperiksa, orang-orang kelas bawah malah telantar. Jika untuk sekadar periksa saja sulit, bagaimana mau ketahuan positif atau tidak? Bias kelas di Indonesia makin mencolok dalam wabah COVID-19.
Tak sedikit orang yang akhirnya pasrah sembari berharap COVID-19 bisa sembuh dan hilang sendiri dengan bertumpu pada imunitas.
Memang, pemerintah sudah berkali-kali mengingatkan kepada masyarakatnya untuk menjaga daya tahan tubuh dengan sering mengonsumsi sayuran, buah-buahan, hingga vitamin. Tak lupa pula ajakan untuk menjaga pola hidup sehat dengan sering-sering mencuci tangan dan menjaga jarak sosial. Semua itu bertujuan agar masyarakat terhindar dari COVID-19.
Tapi, apakah betul COVID-19 bisa hilang dengan sendirinya, bermodalkan sistem imunitas tubuh? Ahmad Rusjdan Utomo, Principal Investigator Stem Cell and Cancer Research Institute (SCI) Jakarta, mengingatkan bahwa masyarakat yang memiliki daya tahan tubuh yang baik tetap harus waspada.
“Jadi kalau misalnya ada 100 orang positif COVID-19, 80 dari 100, dalam tanda kutip, akan sembuh sendiri, memang. Tapi yang jadi masalah itu yang 20 dari 100 itu, mereka gejalanya memang berat, napas mungkin agak serius, perlu tambahan oksigen, dan mungkin perlu ventilator juga. Kondisi inilah yang kami khawatirkan,” kata Ahmad saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (18/03).
Ahmad memperkirakan dari 20 orang itu, yang kemungkinan meninggal sekitar dua atau tiga orang. Akan tetapi, ketika 20 orang itu betul-betul dirawat di rumah sakit, malah mungkin masuk ICU atau IGD, dua atau tiga orang tadi itu baru kemungkinan saja.
Baca Juga: Jika Rumah Sakit Lamban, Warga Bisa Apa?
Namun, kalau ternyata 20 orang tersebut sama sekali ditinggalkan di rumah saja seperti halnya di Italia yang kelabakan, jumlah yang meninggal bisa jadi jauh lebih banyak.
“Tapi saya nggak berani jawab lebih jauh soal itu karena di sini memang ada masalah komunikasi sains di publik. Kita terlalu meremehkan mengenai angka tadi, karena terlalu fokus ke angka kematian, yang dua sampai tiga persen, kita lupa bahwa 20 persen tadi itu gejalanya serius,” ujar Ahmad.
Fakta bahwa jumlah orang yang sembuh jauh lebih besar ketimbang jumlah yang meninggal di seluruh dunia kembali menegaskan kalau COVID-19 memang bisa disembuhkan. Berdasarkan data real time WHO, Rabu (18/03) sore WIB, ada total 184.975 kasus positif terkonfirmasi, dengan jumlah kematian mencapai 7.529 orang.
Sementara itu, data Worldometers pada Rabu (18/03) menunjukkan: dari jumlah 272 kasus terbaru Indonesia (19 orang meninggal dan 11 orang sembuh), diketahui angka kematiannya atau fatality rate berada di angka paling tinggi yakni mencapai 8,2 persen. Secara keseluruhan angka kematian akibat COVID-19 di seluruh dunia mencapai 3,7 persen.
Saat dikonfirmasi Asumsi.co, Rabu (18/03), Nurul Luntungan, Public Health Consultant sekaligus Peneliti di Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) mengingatkan pemerintah untuk memudahkan akses masyarakat dalam melakukan screening COVID-19.
Baca Juga: Mungkinkah Seseorang Terjangkit COVID-19 Dua Kali?
Selain juga meminta pemerintah mempertegas kebijakan-kebijakan isolasi diri, hingga perusahaan dan pengusaha harus memastikan bahwa tidak ada PHK untuk orang-orang yang melakukan isolasi diri dan melakukan pemeriksaan diri.
“Memang penyakit ini sifatnya self limited disease atau penyakit yang akan sembuh sendiri, tapi sangat cepat dan mudah penularannya. Jadi harus dipikirkan untuk orang-orang yang tidak memeriksakan diri, tidak mengisolasikan diri, atau tidak melakukan pembatasan dirinya. Sebab, mereka malah menjadi bagian menyebarkan virus ke orang lain dan meningkatkan risiko kematian orang-orang yang mungkin daya tahan tubuhnya tidak kuat.”
Merujuk jurnal Pediatric Critical Care Medicine, istilah self limited disease menggambarkan sebuah kondisi akan berjalan dengan sendirinya meski tanpa perawatan medis atau gejala bisa sembuh sendiri. Namun, meski secara pengertian seperti tanpa intervensi medis, sehingga berpotensi bisa sembuh sendiri, self limited disease bukan berarti bahwa campur tangan atau perawatan medis diabaikan untuk kesembuhan pasien yang lebih cepat.
Berry Juliandi, Sekjen Akademi Ilmuwan Muda sekaligus pengajar di Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan bahwa virus yang sudah menyerang manusia akan menyebabkan symptom alias gejala. Gejala-gejala itu seperti panas, hidung mengeluarkan ingus atau lendir seperti pada flu, lalu pada kasus COVID-19 juga paru-paru yang mengeluarkan lendir.
Namun, kata Berry kepada Asumsi.co, “Virus bukan makhluk hidup sehingga ketika dia menyerang manusia, maka dia tidak bisa “dibunuh” karena dia bukan mahkluk hidup. Tapi dia bisa dihancurkan atau didegradasi. Oleh siapa? Oleh sel imunitas kita, jika kita sehat. Kebanyakan, jika kita terkena virus, kita tidak akan kenapa-kenapa karena sudah dihancurkan oleh sistem imunitas.”
Berry menyebut gejala-gejala yang ditimbulkan dari virus tersebut membuat dokter dan ahli-ahli kesehatan berupaya mengembangkan obat untuk mengurangi gejalanya. Misalnya kalau panas, pasien diberi obat paracetamol. Kalau sulit bernapas, dikasih decongestan, lalu kalau ada rasa-rasa nyeri, diberi analgesik.
Baca Juga: Penanganan COVID-19: Tarik Tambang Pemerintah Pusat dan Daerah
Pada virus-virus yang menyebabkan gejala-gejala tersebut, kalau saja penderita bisa melalui masa inkubasi atau masa dirinya terkena virus, dengan meminum obat untuk mengurangi gejala, tetap berusaha sehat, bisa bernapas baik melalui hidung, masih bisa makan normal, kemungkinan si penderita bisa survive, sampai virus kalah oleh sistem imunitas tubuh.
Perihal masa inkubasi alias waktu antara ketika pasien terjangkit virus corona dan mulai menunjukkan gejala mengalami penyakit COVID-19, sejumlah hasil riset tampak sejalan dengan WHO selama ini. Dalam kasus ini, WHO memperkirakan masa inkubasi virus corona adalah selama 1-14 hari, atau paling umum hanya lima hari saja.
Sementara berdasarkan hasil penelitian jurnal Annals of Internal Medicine yang dikerjakan oleh peneliti dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Stephen A. Lauer dan rekan-rekannya, Selasa (10/03), bahwa masa inkubasi virus corona rata-rata bisa sekitar lima hari saja. Durasi itu serupa dengan rata-rata masa inkubasi penderita SARS, yang juga lima hari.
Selain itu, penelitian tersebut juga menilai rekomendasi pengawasan selama 14 hari terhadap pasien suspect COVID-19 juga sudah didasari bukti yang memadai. Sementara berdasarkan hitung-hitungan konservatif, mayoritas dari 181 kasus yang diteliti dalam penelitian ini justru menampilkan masa inkubasi dengan durasi 11,5 hari.
Di sisi lain, catatan yang disematkan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa pada sejumlah kasus ekstrem, masa inkubasi virus corona juga berpotensi membutuhkan waktu yang justru lebih lama lagi.
Namun, menurut Berry, bagi orang-orang yang tidak mampu melewati masa-masa tersebut—misalnya karena sudah memiliki penyakit bawaan atau karena sudah memiliki penyakit lain atau tidak mampu menangani gejala-gejala itu—maka kemungkinan orang-orang itu berpotensi meninggal.
“Jadi pernyataan bahwa jika terkena COVID-19 bisa sembuh sendiri, itu tidak salah juga sebetulnya. Tapi ada syaratnya, asalkan tubuh kita mampu menghadapi symptom yang diakibatkan oleh virus tersebut,” kata Berry.
Kondisi-kondisi di atas membuat masyarakat akhirnya bergantung kepada peluang. Oleh sebab itu, Berry menyarankan agar sebaiknya masyarakat mesti berjaga-jaga, termasuk menjaga peluang tersebut agar bisa melewati masa-masa sulit. Caranya dengan menjaga kesehatan, dan mencegah agar tidak terkena COVID-19.
Lalu, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah jika masyarakat akhirnya tidak periksa ke rumah sakit—meski tahu daya tahan tubuhnya kuat sehingga menilai dirinya mampu menghadapi symptom dan akhirnya survive—situasi itu tentu saja bisa lebih buruk karena berpotensi menularkan virusnya ke orang lain.