General

Wisata Terbang Tanpa Tujuan Jadi Tren, Kayak Apa Sih, Serunya?

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash

Penerbangan tanpa tujuan saat ini sedang jadi tren di Korea Selatan. Hal ini dianggap jadi alternatif wisata dengan pesawat terbang di tengah kejenuhan situasi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga kini. Apa sih, serunya?

Penerbangan Dilayani 7 Maskapai

Melansir Simple Flying, hingga saat ini sudah sekitar 15.983 penumpang yang ikut serta dalam penerbangan tanpa tujuan. Hal berdasarkan data yang dihimpun dari Korea Customs Service. 

152 penerbangan dari 7 maskapai Korea Selatan melayani paket penerbangan ini antara lain Jeju Air, Jin Air, T’way Air, Air Seoul, Asiana, Korean Air, dan Air Busan.

Dari tujuh maskapai itu, maskapai bujet Asiana Airlines yang paling laris dengan total 35 penerbangan. Para penumpangnya pun diketahui menghamburkan uang selama penerbangan ini.

Sumber yang sama melaporkan, belasan ribu penumpangnya menghabiskan uang sekitar USD 20 juta untuk belanja di duty-free atau setara dengan Rp 284 miliar. 

Bahkan, separuh dari mereka menghabiskan uangnya lebih dari USD 600 hanya untuk membeli miras di duty-free. “Saya melihat banyak yang seperti saya, menjinjing tas belanja berisi barang-barang dagangan duty free,” kata salah satu penumpang yang berbelanja.

Adapun alasan para penumpang tertarik melakukan penerbangan yang kebanyakan mengitari angkasa selama 2 jam ini, sekadar untuk mengusir kejenuhan karena pandemi yang membuat mereka lama tidak terbang menumpangi pesawat. 

“Penerbangan tidak kemana-mana adalah konsep yang menyergarkan. Sejujurnya saya enggak tertarik ikutan kalau enggak ada layanan duty-free ini,” ungkap penumpang lainnya.

Meski demikian, banyak dari mereka yang mengaku tak tahu pasti alasan secara personal sampai rela menghabiskan banyak uang.

Baca juga: Bikin Nangis! Tiga Perusahaan Ini Tawarkan Wisata Luar Angkasa, Harga Tiketnya Miliaran Rupiah | Asumsi

Didukung Pemerintah Korsel

Pemerintah Korea Selatan pun mendukung program perjalanan tanpa tujuan yang digagas sejumlah maskapai itu. Pasalnya, program ini dinilai mampu kembali menggerakan dunia penerbangan yang lumpuh terpukul pandemi virus corona.

Penutupan kunjungan wisatawan asing yang dilakukan hampir seluruh negara di dunia sontak membuat bisnis maskapai penerbangan lumpuh.

Selain membantu membangkitkan industri penerbangan, program ini dianggap juga membantu menggerakkan kembali bisnis duty-free. Hal ini terbutkti para penumpang menyerbu duty-free selama perjalanan berlangsung. 

“Pemerintah Korea Selatan tentu mengizinkan adanya penerbangan ini untuk mendukung maskapai penerbangan bisa tetap beroperasi dan menggerakan industri duty-free. Ini sangat mendukung mereka di tengah situasi penurunan bisnisnya,” demikian pernyataan pers pemerintah setempat. 

Pengalaman terbang tanpa tujuan, alias flight to nowhere ini sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru. Tren ini sudah berlangsung sejak tahun lalu.

Melansir DW, pada September 2020, maskapai asal Australia Qantas Airways menawarkan tiket penerbangan dengan program yang sama untuk Oktober 2020. 

Rute penerbangannya dari lepas landas dari Sydney dan akan mengitari Uluru, Great Barrier Reef, dan Sydney Harbour sebelum mendarat kembali di Sydney dengan mengudara selama tujuh jam di atas langit Australia.

Qantas menggunakan pesawat Boeing Co 787, armada yang biasa digunakan untuk penerbangan internasional jarak jauh. Harga tiket yang ditawarkan bervariasi antara A$ 787 hingga A$ 3.787 atau setara dengan Rp 8,5 juta hingga Rp 41,2 juta, tergantung kelas yang dipilih. 

Tetap Diminati Meski Picu Kontroversi

Berbeda dengan Korsel, saat itu rencana penerbangan tanpa tujuan yang dilakukan maskapai Australia ini banyak dikritik, terutama dari para aktivis lingkungan. 

“SG Climate Rally menilai penerbangan tersebut akan menyumbang lebih banyak emisi karbon untuk alasan yang tidak esensial,” demikian disampaikan salah satu organisasi lingkungan hidup.

Menyikapi hal ini, Qantas memastikan bakal membayar sejumlah biaya ganti rugi atas emisi karbon dari penerbangan wisata Sydney. Meski demikian, tetap dikritik karena hal tersebut dianggap tak menyelesaikan masalah.

Makapai Singapura, Singapore Airlines juga sebelumnya berencana menggagas program penerbangan serupa. Namun, penolakan dan kritik juga menyerang mereka.

CNBC melaporkan, organisasi lingkungan hidup mendesak agar program ini dibatalkan demi mengurangi emisi karbon yang disebabkan oleh pesawat. Pihak maskapai akhirnya menuruti desakan tersebut dan membatalkan rencana program penerbangan ini. 

Pengamat Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono Wibowo mengatakan pengalaman terbang tanpa tujuan ini menawarkan wisata belanja sekaligus pengalaman unik buat pasarnya tersendiri.

Adapun pasar yang menjadi sasarannya, kata dia, adalah masyarakat menengah kalangan atas alias orang kaya yang memang gemar wisata dengan nuansa mewah.

“Ini kan pengalamannya seperti jalan-jalan dengan kapal pesiar. Bedanya kalau kapal pesiar berkeliling di kawasan laut lepas, sedangkan pesawat ini keliling di langit. Tentu pasarnya buat orang kaya,” kata Sony kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Kamis (17/6/21).

Meski memicu kontroversi karena bersinggungan dengan isu lingkungan, namun wisata ini diyakininya tetap bakal diminati orang kaya. Secara peluang bisnis, maskapai penerbangan juga diuntungkan dan bisa mendukung pergerakan ekonomi negara. Menurutnya, hal ini dapat dikembalikan pada sikap bijak masing-masing negara bila ingin menjalankannya.

“Buat kelas orang kaya, ini memang bagus sebagai alternatif wisata karena menawarkan jalan-jalan yang unik seperti ini. Meski banyak yang menentang tetap saja akan laku buat negara yang ada pasarnya. Fenomena ini juga sebenarnya jadi peluang bisnis buat maskapai dan gerai duty-free,” imbuhnya.

Baca juga: Mau Buka Pariwisata? Selesaikan Dulu Pandeminya! | Asumsi

Bakal Bertahan Lama Enggak Sih, Trennya?

Sony menilai, maskapai di Indonesia tidak akan ikut terbawa tren wisata terbang tanpa tujuan ini. Sebab, pasar orang kaya yang perilakunya senang menghamburkan uang untuk wisata unik dan belanjar sangat sedikit di negeri ini. 

“Kalau di Indonesia kayaknya kurang masuk dengan karakter masyarakat kita. Kayak Garuda atau Lion menawarkan ini market-nya belum ada,” ucapnya.

Meski demikian, menurutnya tren wisata semacam ini kemungkinan besar akan bertahan lama dan diikuti negara-negara dengan banyak penduduk.

“Menurut saya ini trennya akan bertahan lama, selama pandemi ini masih berlangsung dan orang-orang kaya butuh wisata untuk menghilangkan kejenuhanya.  Buat orang kaya ini pegalaman yang menarik saat terbang berlama-lama karena mereka bisa fokus melihat kondisi langit, apalagi kalau malam bisa melihat bintang dan bulan lebih jelas,” tandasnya.

Marketing Expert dari Inventure Consulting, Yuswohady sependapat bila pasar dari program wisata ini adalah ditujukan bagi orang kaya yang memang berperilaku unik.

Namun, menurutnya tren ini tidak akan berlangsung lama. Kemungkinan pada akhir tahun ini trennya bakal menurun karena bisnis pariwisata global mulai kembali bergerak. Selain itu, banyak negara kembali membuka akses wisatawan untuk plesiran.

“Kelihatannya tren ini juga sebentar lagi hilang. Banyak negara kan juga sudah mulai membuka diri untuk menerima wisatawan dengan syarat sudah divaksinasi. Kalau urusan belanja duty-free lambat laun orang juga akan merasa lebih baik belanja langsung ke otletnya yang ada di mal. Ini hanya pelampiasan saja sebenarnya untuk mencari alternatif wisata sesaat,” tutur Yuswohady.

Share: Wisata Terbang Tanpa Tujuan Jadi Tren, Kayak Apa Sih, Serunya?