Hiburan

Viralnya “Suara Hati Istri: Zahra” dan Kualitas Sinetron Indonesia

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Instagram/@indosiar

Sinetron “Suara Hati Istri: Zahra” masih ramai menjadi perbincangan publik karena melibatkan aktris Lea Ciarachel yang masih di bawah umur untuk melakukan adegan mesra dengan lawan mainnya, aktor Panji Saputra yang usianya 24 tahun lebih tua. Persoalan ini akhirnya dikaitkan publik dengan stigma sinetron Indonesia yang tidak berkualitas. Benarkah demikian?

Pemeran Zahra Diganti

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan informasi terkini soal hasil diskusi dengan Indosiar yang menayangkan sinetron ‘Suara Hati Istri: Zahra’.

Komisioner Pusat KPI Bidang Kelembagaan Nuning Rodiyah mengatakan, Indosiar telah menerima semua masukan yang disampaikan KPI, seperti perlunya melakukan evaluasi pemeran dan juga muatan cerita.

Baca juga: Dinilai Tunjukkan Perilaku Pedofilia, Sinetron “Zahra” Diprotes | Asumsi

Indosiar juga menyampaikan keputusan mereka untuk mengganti pemeran Zahra yang dilakoni Lea dengan aktris lain yang sesuai dengan kebutuhan cerita sinetron tersebut.

“Indosiar menyatakan akan segera mengganti pemeran dalam 3 episode mendatang. Terkait usia pemeran, selanjutnya akan menjadi acuan Indosiar ke depan untuk selalu mengingatkan PH (production house) agar memakai pemeran-pemeran usia di atas 18 tahun untuk peran yang sudah menikah. Ini sebagai respon mereka terhadap permintaan kami untuk mengganti LC sebagai pemeran Zahra, untuk melindungi dia agar tidak terganggu secara psikologis dan tumbuh kembangnya karena perannya ini,” ujar Nuning saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon, Kamis (3/6/21).

Selain itu, ia mengatakan, Indosiar juga berkomitmen untuk memperhatikan muatan cerita dalam setiap produksi program siaran, terutama sinetron yang ditayangkan mereka.  “Apabila mengandung unsur kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka itu kemudian harus digambarkan tidak mengeksploitasinya dan tidak menjadikan kekerasan rumah tangga sebagai hal yang lumrah,” terangnya.

KPI, kata Nuning, sebenarnya memperbolehkan sinetron menayangkan adegan yang memperlihatkan perbuatan KDRT. Namun adegan tersebut harus mengandung unsur edukasi bahwa KDRT adalah perbuatan yang tidak layak dilakukan.

“Harus mengedepankan prinsip kalau KDRT adalah perbuatan yang tidak layak dan bahkan perbuatan yang melanggar hukum. Alur cerita sinetron yang paling penting harus mengedepankan perlindungan anak dan perempuan,” tuturnya.

Ia juga memastikan kualitas sinetron yang ditayangkan di layar kaca menjadi perhatian KPI. “Tentunya Indosiar, serta stasiun televisi lainnya yang menayangkan sinetron saat ini, menjadi fokus pantauan KPI. Termasuk juga MKF (Mega Kreasi Film) selaku PH yang memproduksi sinetron ini,” tandas Nuning. 

Sinetron Indonesia Dituntut Rating

Bicara soal kualitas sinetron Indonesia, produser film nasional Amanda Marahimin angkat bicara terkait hal ini. Menurutnya, kualitas karya audio visual berupa sinetron atau film tergantung pada sistem produksi yang dijalankannya. 

“Sayangnya, yang menjadi masalah dalam sinetron kita saat ini adalah ketergantungan terhadap rating yang keluar setiap harinya, sehingga sistem ini membuat munculnya kebutuhan dari rumah produksi untuk bisa terus mendapatkan feedback dari stasiun televisi, rating-nya turun atau naik,” jelas Amanda saat dihubungi terpisah.

Tuntutan rating inilah yang dinilainya menjadi penyebab sistem produksi sinetron di Indonesia menjadi tidak maksimal. “Bila rating sinetron turun, PH harus menyiapkan episode baru yang ceritanya harus diubah. Ini kan, membuat proses produksi jadi terburu-buru. Segala sesuatu yang terburu-buru kualitasnya pasti apa adanya,” tutur wanita yang akrab disapa Mandy ini.

Ia meyakini semua pihak yang bekerja di industri perfilman dan audio visual memiliki keinginan menciptakan karya yang baik. Maka, menurutnya, tak adil juga bila digeneralisasikan sinetron Indonesia yang tayang di televisi memiliki kualitas yang rendah. 

“Enggak ada yang mau bikin karya jelek. Menurut saya, sinetron kita juga enggak jelek semua kok. Selama diberikan waktu yang cukup untuk penulisan cerita, pengembangan karakter, pemilihan pemeran, dan syuting, hasilnya pasti bagus,” terang produser film “Cinta dari Wamena” ini.

Bukan cuma sinetron, Mandy menilai, tidak semua film di Indonesia juga memiliki kualitas yang baik, dari segi pengambilan gambar maupun cerita.

“Semuanya dikembalikan kepada sistem produksi yang diberikan kepada mereka, keleluasaannya seberapa besar, dan waktu yang cukup untuk tim kreatifnya memikirkan produksi, lalu mengeksekusinya dengan tetap mengedepankan moral,” tandasnya.

Sinetron Masa Kini Jadi Barang Dagangan

Aktor film sekaligus pemain sinetron, Indra Brasco, menyayangkan munculnya permasalahan aktris di bawah umur yang dilibatkan untuk memerankan tokoh yang tidak sesuai untuknya dalam sinetron bertema dewasa. 

Indra mempertanyakan alasan PH yang memilih aktris remaja untuk memerankan tokoh istri ketiga dari suami pelaku poligami. Di sisi lain, ia juga mengharapkan ke depannya KPI menjadikan masalah ini sebagai pelajaran, supaya tidak ada lagi sinetron yang melakukan hal serupa.

“Kalau ditanya siapa yang bertanggung jawab, menurut saya, semua pihak sih. Ini aktrisnya masih di bawah umur, masih harus didampingi orang tuanya, tapi sudah memerankan tokoh yang tidak sepantasnya dilakoni. Tanggung jawab dari PH, kemudian juga KPI, selaku lembaga pengawas penyiaran, seharusnya sudah bertindak terlebih dahulu sebelum ramai dibicarakan orang-orang,” katanya. 

Mengenai kualitas sinetron masa kini, ia membandingkannya dengan sinetron yang ditayangkan di era tahun 1990-an yang memang lebih matang dalam mengonsep sebuah sinetron. Terlebih, kala itu, sinetron tidak ditayangkan secara stripping alias setiap hari, melainkan mingguan. Hal ini membuat PH dan tim produksi sinetron lebih mantap dalam mengembangkan cerita dan memilih pemerannya.

Baca juga: Dikecam Keras! Usul Menikahkan Tersangka Pelaku Pemerkosaan AT dengan Korbannya | Asumsi

“Sebenarnya, mengenai kualitas sinetron ini, bicara soal kreativitas, skenario dan ceritanya seperti apa, kemudian pemainnya juga. Memang beda dengan yang dulu, dengan sinetron sekarang. Sinetron sekarang kan, dituntut buat stripping. Nah, saya, yang masih pengalaman main sinetron sampai sekarang, melihat kadang kala ceritanya untuk episode besok terpikirnya spontan, on the spot, oleh tim kreatifnya. Misalnya sekarang lagi ramai soal TikTok, ya sudah, bawa-bawa soal TikTok juga deh di sinetron itu,” ujar suami dari aktris Mona Ratuliu ini.

Dengan demikian, menurutnya, kebutuhan cerita sinetron saat ini mengikuti tren yang ada di masyarakat, bukan menciptakan tren baru laiknya topi “Tersayang” yang tiba-tiba jadi tren fesyen karena sinetron berjudul sama, yang saat itu diperankan Anjasmara dan Jihan Fahira. Sinetron saat ini, menurutnya, tak lebih dari sekadar komoditas dagangan yang bisa laku di masyarakat.

Ia juga mengamati tren sinetron Indonesia belakangan ini, yang tak sungkan memasukkan produk sponsor ke dalam salah satu adegan ceritanya, lalu mempromosikannya secara langsung dengan melibatkan pemerannya.

“Kayak, misalnya, di tengah hutan adegannya, tiba-tiba muncul megatron menayangkan iklan motor. Saya juga kaget, pernah ada salah satu sinetron saya, tokoh antagonis tiba-tiba dia ditegur sama tokoh lain yang suka dijahatin. Tiba-tiba masuk iklan make-up, si antagonis tiba-tiba jadi baik pas ditanya, “kamu pakai produk ini juga?” sama lawan main yang dijahatin sama dia terus. Lho, ternyata bisa gini sinetron sekarang? Ya, sinetron sekarang jadi kayak barang dagangan memang dan orang kita suka-suka saja dengan itu. Artinya, seperti apa kualitas sinetronnya, ya, tetap ada saja pasarnya,” jelas dia.

Share: Viralnya “Suara Hati Istri: Zahra” dan Kualitas Sinetron Indonesia