General

Potret Penukar Uang Jalanan, Penghasilan Bisa Beli Mobil Sampai Rumah

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Asumsi.co

Sudah jadi pemandangan biasa, setiap bulan Ramadan, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri, banyak orang berjejer di pinggir jalan sambil menjinjing uang bergepok-gepok. 

Mereka bukan mau bagi-bagi uang. Justru mereka menawarkan jasa penukaran uang. Jasa itu biasanya dimanfaatkan banyak orang supaya punya uang receh buat diberikan ke sanak saudara. 

Mey (45) dan Ocha (51), dua pelaku jasa penukaran uang di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, sempat berbagi cerita kepada Asumsi.co soal suka dan duka melakoni pekerjaan ini. Bagi mereka, tetap turun ke jalan menawarkan jasa penukaran uang di awal masa pandemi Covid-19 pada tahun 2020 merupakan momen paling berkesan.

Baca juga: Jago Tanah Abang: Jawara yang Mencoba Bertahan di Kampung Sendiri | Asumsi

Diajak Keluarga

Mey membuka obrolannya dengan mengungkapkan, dirinya sudah menekuni pekerjaan ini selama 20 tahun. Awalnya, ia diajak ibunya untuk ikut serta, hingga akhirnya ketagihan.

“Keenakan, dapat untung, dapat uang terus. Enaknya menjanjikan, pokoknya setahun sekali kita enak. Setahun sekali pasti dapat untung,” katanya. 

Ia mengaku tidak pernah tertarik menjadi pegawai kantoran. Bekerja seperti sekarang ini, kata dia, lebih disukai, sebab bisa menyuruh orang lain untuk ikut membantunya

“Kalau kita di kantoran, jamnya disuruh-suruh. Kalau di sini semau kita. Kita suruh orang. Waktunya juga fleksibel, mau jam berapa saja oke,” terangnya. 

Soal modal, ia mengatakan, semua uangnya bersumber dari kocek pribadinya. Nominal uang yang dibutuhkan sebagai modalnya tentu tidak sedikit.

“(Penukar uang) yang lain ada yang dimodalin, ada bosnya. Kalau saya modal sendiri. Hari biasa Rp50 juta cukup. Rp500 juta modal yang saya keluarin pas Lebaran ya,” kata Mey.

Begitu pula Ocha yang ditawarkan ikut serta menjadi penukar uang jalanan karena ajakan keluarga, yakni tantenya. Saat pertama kali ikut serta, ia mengaku langsung merasa nyaman. 

Baca juga: Sampai Jadi Abu: Kisah Para Pembakar Jenazah | Asumsi

“Pertamanya tak mau diajak, diajak sama tante saya. Kayaknya enak ya untungnya gitu. Sudah lama (jadi penukar uang), sudah hampir 20 tahun,” ujarnya. 

Sama seperti Mey, ia merasa tidak tertarik bekerja di kantor karena, menurutnya, penghasilan yang diperoleh dari menawarkan jasa penukaran uang lebih banyak. 

“Pada zaman kita kurang enak gaji kantoran. Lebih enak yang di sini. Merasa untung yang oke-oke. Ya enaknya kan, tidak bersusah payah dapat rezeki yang halal,” kata wanita berkaca mata ini.

Tidak Memaksa Orang untuk Menukar Uang

Penukar uang biasanya menawarkan tambahan biaya setiap jumlah uang yang akan ditukarkan. Seperti Mey yang menetapkan biaya jasa penukaran sebesar 10% per jumlah uang yang terdiri dari pecahan sebesar Rp100.000.

“Kalau mau nukar Rp1 juta, dia harus membayar Rp1,1 juta. Kalau Rp5 juta jadi Rp5,5 juta. Kalau Rp10 juta jadi Rp11 juta. Pokoknya 10%.” ucapnya. 

Sementara Ocha menambahkan, dirinya tak pernah memaksa orang supaya menukar uang melalui jasanya. Namun, ia menjamin uang yang disediakannya asli.

Selain itu, ia juga bakal memastikan jumlah uang yang ditukarkan sudah sesuai dengan menghitung ulang. Hal ini dilakukannya agar tidak ada yang dirugikan.

“Misalnya menukar, lihat saja uangnya, hati-hati, hitung. Uangnya kelihatan asli, asli lho! Bukan kaleng-kaleng. Terus kelihatan mau sama mau. Kamu mau ok, kalau tidak mau ya sudah jalan,” ujarnya.

Keduanya lalu mengungkapkan kesan yang sama saat memutuskan tetap menjajakan jasa penukaran uang pada awal masa pandemi Covid-19.

Mey mengatakan, tahun lalu betapa sulitnya mendapatkan orang yang mau menggunakan jasa penukaran uangnya. Sebelum pandemi, kata dia, banyak orang yang menukarkan uaangnya dengan nominal jutaan rupiah.

“Kalau dulu sih Rp5 juta, Rp3 juta. Sekarang  Rp100 ribu, Rp200 ribu saja susah. Yang tukar Rp500 ribu saja jarang. H-7 (biasanya sudah ramai orang menukar uang). Sebenarnya sih H-14 sudah mulai ya, tapi tahun lalu H-7 saja susah sekali. Perbedaannya 90 %,” katanya.

Baca juga: Menjahit Nasib di Kolong Jalan Layang | Asumsi

Pandemi, diakuinya, benar-benar mempengaruhi penghasilan yang diperolehnya. Situasi ini pun membuatnya lebih cepat menguakhiri jam kerjanya di jalanan.

“Kita biasanya standby di sini jam 8 pagi sampai jam 5 sore, tapi karena sepi seperti ini, bisa jam 4 sore. Kita pada bubar karena jalanannya sepi. Kita juga ketakutan. Takut perampokan, takut penjambretan,” lanjut Mey.

Ocha juga merasakan kerugian yang sama seperti yang dialami Mey. Kerugian yang dirasakannya bahkan diibaratkannya seperti sampai tidak cukup buat membeli martabak.

Adapun pengguna jasanya, kata dia, selama ini tak melulu orang kaya. Banyak juga orang yang berasal dari kelas menengah menjadi pengguna jasa rutinnya setiap menjelang Lebaran. 

“Kalau Idul Fitri itu, masyarakat menengah ke bawah juga menukar. Menukar uang-uang kecil begitu.  Ya rata-rata mereka per orang bisa menukar Rp2 jutaan,” ucapnya.

Bisa Beli Rumah

20 tahun menjadi penyedia jasa penukaran uang di jalanan, kata Mey, benar-benar membantunya secara finansial. Ia bahkan mengaku bisa membeli rumah dari penghasilannya sebagai penukar uang. 

“Dari pekerjaan kayak gini bisa beli mobil, rumah bisa, motor bisa, kita semua investasi. Menjanjikan banget,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Mey mengatakan, dirinya mau melakoni pekerjaan sebagai penukaran hingga akhir hayatnya. Bahkan kalau bisa, ia akan menurunkan pekerjaan ini ke anaknya.

“Saya sampai mati maunya, soalnya menggiurkan. Tidak bohong. Nanti anak saya, saya suruh begini. Tidak apa-apa karena menggiurkan,” ucapnya sungguh-sungguh.

Sedangkan Ocha mengatakan, dirinya selalu percaya rejeki akan selalu mengalir kepadanya selama menekuni pekerjaan halal. 

“Kalau kita sih percaya saja sama Tuhan. Kalau melangkah dimanapun, kapanpun kalau kita memang apes, apes saja. Iya, kan? Kalau sekarang tidak ada target, yang penting kita doa saja supaya rezeki lancar,” pungkasnya.

Share: Potret Penukar Uang Jalanan, Penghasilan Bisa Beli Mobil Sampai Rumah