Isu Terkini

Sampai Jadi Abu: Kisah Para Pembakar Jenazah

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Foto: Faisal Irfani/Asumsi.co

Bongkahan arang dimasukkan ke pemanggang. Api dinyalakan, dan ketika arang mulai merah menyala, puluhan tusuk sate ayam berbumbu dibariskan pada kisi-kisi tepat di atasnya.

Tangan mengipas tak henti-henti, menjaga panas bara. Aroma sedap pelan-pelan menguar ke udara. Mulut mulai terasa penuh, dan kau lekas-lekas menelan liur. Kerongkonganmu bergerak naik turun.

Semua orang mungkin pernah memanggang, atau setidaknya membeli, sate ayam dan menunggunya matang. Namun, bagaimana rasanya menunggui pembakaran jenazah?

“Awalnya ngeri pasti, ya. Dan mungkin kalau nggak kuat ngurus [pembakaran jenazah], bisa stres dan kepikiran terus,” kata Amsarudin.

Saya berjumpa Amsarudin di Krematorium Cilincing, Jakarta Utara. Siang itu terik, tapi tak kelewat bikin gerah karena angin berembus dengan kencang. Amsarudin tengah ngaso di halaman belakang krematorium tatkala saya memperkenalkan diri.

“Kebetulan beberapa hari terakhir lagi sepi. Kalau sepi, ya, paling jaga-jaga sambil santai gini aja,” katanya, ramah.

Hampir empat dekade lamanya Amsarudin bekerja sebagai petugas pembakar jenazah, atau yang populer dengan sebutan kremasi. Usianya hampir enam puluh. Meski begitu, otot-ototnya tampak liat, posturnya tegap, dan rambutnya hitam mengkilat. Sepintas dia mirip aktor kawakan Burt Reynolds.

Pria lulusan SMA ini mengaku diajak seorang kawannya untuk mencari nafkah di krematorium. Mulanya, dia cukup ragu lantaran berurusan dengan jenazah adalah hal yang tak lazim, apalagi sampai menjadikannya profesi.

“Pertentangan itu sempat ada. Tapi, setelah dipikir-pikir, toh, yang penting [kerjaan] halal,” paparnya. “Ya sudah, dari situ, saya coba jalani aja dulu.”

Prinsip “yang penting halal” membikin Amsarudin bertahan menjadi petugas kremasi sekalipun dia dikepung anggapan miring dan pendapatan yang tak seberapa. Baginya, selama kebutuhan keluarga bisa tercukupi, masalah beres.

“Dan hitung-hitung ini nabung kebaikan, membantu orang lain menjalankan ritualnya,” katanya.

***

Area Krematorium Cilincing kurang lebih lima hektar. Dari luar, bangunan krematorium mirip pabrik senjata api, atau mungkin markas triad, yang tertutup beton tinggi serta dijaga ketat oleh petugas keamanan dan anjing-anjing terlatih. Saya harus melewati screening singkat terlebih dahulu, menjelaskan maksud kedatangan, sebelum akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam.

Tampak jelas pula bahwa krematorium ini sudah dimakan waktu.

“Memang sudah tua, ya, krematorium ini. Berdirinya sejak 1975,” kata Cecep, petugas administrasi senior, yang saat saya temui sedang sibuk dengan mesik ketik tuanya.

Krematorium Cilincing, Cecep bilang, didirikan karena masa itu fasilitas kremasi jenazah, yang dibutuhkan para pemeluk Hindu dan sebagian warga beretnis Tionghoa, nyaris tidak ada.

Oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI waktu itu, proposal pendirian krematorium pun disetujui. Cilincing, yang dekat dengan Tanjung Priok, dipilih sebagai lokasinya.

Krematorium Cilincing merupakan krematorium pertama yang dibangun di Jakarta, menjadikannya sebagai yang tertua sekaligus yang mampu eksis hingga saat ini. Dia bersanding dengan beberapa nama lain di luar ibu kota, yang  jumlahnya tak kelewat banyak.

Ada empat titik operasional utama Krematorium Cilincing. Di dekat kantor Cecep bekerja, berdiri hall penyimpanan abu jenazah yang mampu diisi ribuan kotak. Tak jauh dari hall, ada tempat pembakaran jenazah yang menggunakan mesin. Bergeser ke sebelah utara, giliran tempat pembakaran tradisional. Dan terakhir ialah area pelarungan abu, yang hanya bisa diakses menggunakan kapal, sebab berada di seberang laut.

Fungsi krematorium, secara umum, adalah fasilitas bagi para keluarga duka yang hendak melaksanakan ritual pembakaran jenazah. Dia hanya jadi tempat akhir dari semua proses pemakaman. Untuk itulah, menurut keterangan Cecep, segala ketentuan administrasi harus dipenuhi dulu sebelum datang ke krematorium.

“Kami tinggal terima jadi. Kalau sudah jadi, beres izin dan semacamnya, baru bisa dikremasi,” ujar lelaki yang sudah bekerja di krematorium sejak 1980 ini.

Surat yang mesti dipegang oleh keluarga duka, sebagai syarat kremasi, antara lain, pertama, keterangan dari dokter atau rumah sakit yang menyebut jenazah meninggal karena faktor usia atau sakit. Kemudian, ada surat dari kepolisian yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan tidak punya rekam jejak kriminalitas.

Dua surat itu harus dibawa ke pihak pengurus RT atau RW tempat di mana jenazah tinggal untuk dibikinkan pengantar menuju persetujuan akhir: kelurahan.

Prosesnya cukup panjang dan, Cecep bilang, wajib hukumnya dituntaskan. Bila terdapat satu syarat saja yang belum dipenuhi, walaupun pihak keluarga duka sudah tiba di krematorium, Cecep akan menolaknya.

“Ketentuannya seperti itu. Kami, di sini, harus patuh dan nggak ingin ada kejadian yang enggak-enggak,” tuturnya. “Penting untuk memastikan bahwa semua syarat dipenuhi.”

Tak ketinggalan, dan ini menjadi syarat mutlak, krematorium hanya melayani jenazah orang beragama Konghucu, Hindu, serta Kristen atau Katolik. Pembuktiannya dapat menggunakan KTP, Kartu Keluarga (KK), atau keterangan dari RT/RW bila yang bersangkutan, selama masa hidupnya, pernah beralih kepercayaan, misal dari Islam ke Kristen.

“Jadi, [orang] Muslim tidak diperbolehkan melakukan kremasi, Pak?” saya bertanya.

“Tidak boleh. Muslim, kan, di pemakaman biasa,” jawab Cecep.

“Sama sekali tidak boleh meskipun itu jadi wasiat yang ditinggalkan almarhum?” tanya saya sekali lagi.

“Tidak, Mas,” kata Cecep. “Lagi pula, kremasi sendiri bagi Muslim tidak dianjurkan karena bertentangan dengan [ketentuan] agama.”

Proses kremasi dimulai dari pemilihan jadwal, yang biasanya diwakili oleh rekanan rumah duka. Pihak pengurus akan memberi tahu secepatnya apakah jadwal yang dihendaki sesuai dengan layanan yang ada atau sebaliknya.

“Setelah cocok, keluarga dapat meminta proses kremasi yang seperti apa: tradisional atau [pakai] mesin,” ungkap Cecep.

Tepat di sinilah proses kremasi masuk ke bagian intinya, dan peran petugas di dalamnya begitu krusial.

***

Ada dua metode yang biasa jadi tumpuan proses kremasi: tradisional dan mesin. Proses pertama, tradisional, memanfaatkan tumpukan kayu yang banyak, seperti api unggun.

“Peti yang berisi jenazah ditumpuki kayu di atasnya. Kemudian dikasih api,” terang Amsarudin.

Proses pembakaran dilakukan di sebuah ruangan yang sudah disediakan pihak krematorium. Ukurannya cukup luas, kira-kira empat kali enam petak. Kremasi tradisional perlu waktu yang lama, maksimal tiga jam, sampai akhirnya jenazah menyisakan abu dan tulang-belulang.

“Kuncinya adalah menjaga api tetap konsisten menyala. Jangan terlalu besar, tapi juga jangan kecil banget. Di tengah-tengah. Sama kayak kalau kita bakar sate. Sederhananya gitu,” kata Amsarudin, panjang lebar.

Pendekatan kremasi tradisional, umumnya, dipilih mereka yang berasal dari penganut Hindu dan Konghucu. Alasannya: menjalankan tradisi.

“Karena setelah kremasi masih ada semacam upacara lagi,” imbuh Amsarudin.

Sementara itu, pendekatan modern jauh lebih praktis ketimbang versi tradisional. Yanto, petugas yang mengurusi mesin kremasi modern, mengajak saya melihat tempat pembakaran.

Ukuran tempat kremasi modern ini mungkin setara dengan dua lapangan badminton. Mesin kremasi diletakkan di bagian atas dan menghadap arah pintu masuk. Sedangkan di bawahnya disediakan deretan kursi bagi keluarga beserta koleganya.

Hanya ada satu mesin pemroses kremasi jenazah yang tersedia di Krematorium Cilincing. Kata Yanto, mesin ini didatangkan langsung dari Jerman, dan belum pernah mengalami kerusakan signifikan sampai sekarang.

“Paling cuma rusak di bagian kecil-kecil aja. Belum pernah yang sampai mogok dan rusak parah,” kata Yanto. “Awet banget ini [mesin].”

Proses kremasi menggunakan mesin—para petugas menyebutnya sebagai “oven”—begitu sederhana. Jenazah masuk oven. Api dari mesin lantas dihidupkan, dengan suhu yang disetel di angka 1.500 derajat celcius. Satu setengah jam setelahnya, jenazah didinginkan, dan tak lama kemudian abu beserta tulang-belulang dapat diambil.

Dalam proses kremasi, baik tradisional maupun modern, keluarga duka memegang kekuasaan tertinggi sehubungan keberadaan jenazah. Pihak pengurus membebaskan pilihan kepada keluarga duka mau seperti apa proses kremasi dilakukan, termasuk ihwal yang meletakkan api pertama (tradisional) ke keranda jenazah, menghidupkan mesin pembakaran (modern), hingga apakah nantinya abu jenazah dilarung ke laut atau disimpan di krematorium.

“Kami hanya mengikuti arahan dari keluarga,” kata Yanto.

Menjalankan tugas kremasi, bagi para pekerja krematorium seperi Yanto dan Amsarudin, mesti hati-hati. Tak boleh sembarang bertindak, mengingat yang dihadapinya adalah jenazah manusia.

Saya seketika penasaran. Sebab sudah mengurus banyak jenazah, apakah kedua petugas ini pernah mengalami hal-hal mistis?

“Sama sekali nggak,” jawab Amsarudin. “Dulu, memang sempat takut. Tapi, makin ke sini, kayaknya, udah makin biasa aja,” tambahnya, disertai gelak tawa.

***

Seorang kawan dekat pernah mengutarakan kepada saya bahwa kelak, jika meninggal, dia ingin dikremasi, alih-alih dikubur sebagaimana mestinya.

“Biar nggak ribet,” katanya. “Dan bukankah kalau kita mati, ya, tinggal mati aja?”

Waktu itu, saya tak terlalu menanggapi ocehannya secara serius. Mungkin dia hanya ingin membicarakan kematian.

Akan tetapi, setelah mengetahui tata cara kremasi, saya berpikir bahwa di luar urusan keyakinan, kremasi sebetulnya bisa jadi alternatif atas krisis lahan pemakaman, khususnya di Jakarta.

Saat ini terdapat 84 TPU yang tersebar di seluruh wilayah ibu kota, termasuk Kepulauan Seribu. 19 di antaranya dinyatakan telah penuh.

Berdasarkan proyeksi Pemprov DKI, sampai 2022, ada kurang lebih lahan siap pakai seluas 39,76 hektare yang bisa menampung 72.288 petak makam. Sedangkan untuk proyeksi 2022 sampai 2037, pemprov mencanangkan mampu menampung 355.848 petak makam di atas lahan belum siap pakai seluas 195,76 hektare.

Hitung-hitungan di atas bisa jadi tak sesuai dengan kenyataan. Menurut data, setiap harinya, terdapat sekitar 100 jenazah yang dimakamkan di Jakarta. Untuk satu petak makam, kira-kira butuh lahan 5,5 meter persegi.

Dengan begitu, dalam satu tahun perlu sekitar 20 hektare agar pemakaman dapat beroperasi maksimal. Bila disandingkan dengan ketersediaan lahan sebesar 30-an hektare, tak sampai 2022 Jakarta sudah lebih dulu diterpa krisis makam.

Salah satu faktor yang menyebabkan potensi terjadinya krisis makam di Jakarta, selain pembangunan, ialah kebanyakan warga hanya berminat menguburkan kerabatnya di TPU yang berdekatan dengan pusat kota, macam Pondok Kelapa, Menteng Pulo, atau Utan Kayu. Padahal, TPU-TPU tersebut sudah sesak. Keluarga ahli waris seringkali tak bersedia mencari TPU di pinggiran kota dengan alasan jaraknya terlalu jauh.

Korelasi antara ketersediaan lahan pemakaman yang makin menipis ini mendorong munculnya praktik-praktik culas, seperti adanya bisnis makam fiktif yang terbongkar di era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.

Kala itu, makam-makam fiktif tersebar di banyak TPU Jakarta. Tanpa isi, berada di spot favorit, serta transaksinya dilakukan dengan modal ‘harga teman.’

Karena mengubah jenazah utuh menjadi debu dan tulang-belulang, kremasi praktis tak butuh banyak tempat. Opsinya bisa disimpan di krematorium, atau mungkin dilarung ke lautan—berkebalikan dengan pemakaman pada umumnya yang berada di ambang ancaman kekurangan lahan.

Ini hanya bayangan, dan tak mungkin dilakukan sebab bakal mendapati pertentangan yang cukup keras dari ketentuan agama, terutama dari kelompok mayoritas di Indonesia: Islam.

Selain itu, praktik kremasi bukannya tanpa masalah. Di AS, negara yang 50 persen penduduknya dipanggang setelah meninggal, kremasi dinilai berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan karena jumlah karbon dioksida yang dihasilkan dalam kremasi, setiap tahunnya, bisa sama dengan yang dikeluarkan sekira 70 ribu mobil.

Alternatifnya: para pengurus pemakaman mulai mencari pendekatan yang lebih ramah lingkungan, yakni dengan memanfaatkan air, disebut sebagai kremasi air atau “alkaline hydrolysis.” Proses ini dipandang cocok dengan kampanye penyelamatan bumi sebab tak memerlukan pembakaran, menggantinya lewat kombinasi air dan kalium hidroksida, untuk menguraikan jasad.

Urusan mati, kadang, jauh lebih kompleks dari yang kita bayangkan.

***

Guratan wajah Yanto dan Amsarudin, bagi saya pribadi, memancarkan rasa lelah, dan mereka tak menampik. Berpuluh-puluh tahun bekerja sebagai petugas kremasi tentu bikin fisik dan psikis letih.

“Sebetulnya udah memikirkan dan pengin pensiun karena udah tua juga,” kata Yanto, pelan. “Tapi, enggak ada gantinya yang mengurus kremasi di sini. Yang muda-muda enggak terlalu tertarik ngurus jenazah.”

Amsarudin berharap pemerintah provinsi, dalam hal ini Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta, selaku institusi resmi yang mengurus nasib orang-orang usai meninggal lewat pemakaman, lebih bisa memperhatikan keberadaan para petugas kremasi seperti dirinya dan Yanto. Selama ini, hidup para petugas kremasi hanya berharap pada yayasan, yang sayangnya juga pas-pasan.

“Akan lebih baik lagi kalau ada campur tangan [pemerintah]. Sangat membantu bagi kami di sini,” harapnya. “Tapi, kalau memang tidak bisa, ya, apa boleh buat.”

Pendapatan para petugas kremasi jauh dari ideal. Meski begitu, baik bagi Yanto dan Amsarudin, hal tersebut tak perlu disesali terus menerus. Ada perkara yang menurut mereka lebih penting untuk dijaga: hidup.

“Kami jadi lebih bisa melihat hidup secara hati-hati,” terangnya. “Sehari-hari kami dekat dengan kematian.”

Share: Sampai Jadi Abu: Kisah Para Pembakar Jenazah