Posisi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, makin terpojok setelah ia gagal membentuk pemerintahan baru. Oposisi semakin merongrong kepemimpinan Netanyahu di negara zionis itu. Salah satu yang terdepan, bahkan mengklaim telah membentuk kabinet baru, adalah Yair Lapid dari Partai Yesh Atid.
Mengutip The Times of Israel, klaim Lapid atas kabinet barunya disampaikan hanya tiga puluh lima menit sebelum batas waktu yang ditentukan Presiden Reuven Rivlin.
Dalam kabinet itu, Naftali Bennet dari Partai Yamina akan menjadi Perdana Menteri hingga September 2023, kemudian digantikan oleh Lapid hingga akhir masa jabatan Knesset pada November 2025.
Baca juga: Gagal Bentuk Pemerintahan, Netanyahu Bisa Terdepak | Asumsi
Jika ini terjadi, maka koalisi yang dibentuk Lapid bisa mendongkel dominasi Netanyahu yang menjabat sebagai Perdana Menteri selama 12 tahun.
Siapakah Lapid dan Bennet?
Dilansir dari Al Jazeera, Lapid sebelumnya dikenal sebagai seorang pembawa acara TV terkenal. Ia berubah haluan menjadi politisi dan punya arah politik yang lebih moderat.
Partai Yesh Atid baru ia dirikan pada 2012. Meski demikian, partai yang semula disangsikan ini mampu menunjukkan taringnya lewat Pemilu terakhir dengan meraih 19 kursi dari total 120 kursi yang ada di parlemen Israel. Yesh Atid adalah partai terbesar kedua di parlemen setelah Likud yang merupakan partainya Netanyahu.
Mengenai konflik Israel-Palestina, Lapid dilaporkan mendukung solusi dua negara, tetapi menentang setiap pembagian Yerusalem yang dilihat oleh Palestina sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Partai tersebut bergabung dengan oposisi pada tahun 2015 setelah menolak menjalin aliansi dengan Netanyahu dan mengalami kemunduran yang signifikan dalam pemilihan tahun itu.
Sementara Bennet, justru dikenal sebagai seorang ultranasionalis. Alih-alih punya gagasan dua negara, Bennet malah pernah menyebut bahwa tidak ada negara yang bernama Palestina.
Mengutip Tempo, Bennett mengatakan bahwa pembentukan negara Palestina akan menjadi bunuh diri bagi Israel, dengan alasan keamanan.
Baca juga: Geliat Perubahan Politik di Israel, Partai Arab Raih Lima Kursi | Asumsi
Bennet sendiri adalah hasil didikan Netanyahu. Bahkan ia pernah bekerja dengan Netanyahu antara tahun 2006 dan 2008. Bennett masuk ke politik nasional pada tahun 2013, membenahi partai pro-pemukim dan menjabat sebagai menteri pertahanan serta pendidikan dan ekonomi di berbagai pemerintahan Netanyahu.
Namun, hubungan keduanya dikenal cukup rumit. Hingga saat Netanyahu terdesak karena tak kunjung bisa membentuk pemerintahan, Yamina, yang dipimpin Bennet, menyebut akan dengan senang hati berkoalisi bersama partai yang punya haluan ideologi lain. Berbeda dengan koalisi terdahulunya bersama Likud yang diisi oleh partai dengan rumpun kanan, zionis religius, hingga ultra-nasionalis cenderung fasis.
Sementara di koalisi ini, Yamina yang kanan bergabung dengan Yesh Atid yang tengah. Bersamanya pula ada partai kiri hingga partai Arab, Raam, yang dipimpin oleh Mansour Abbas. Ini juga menjadi sejarah karena untuk pertama kalinya, partai Arab yang Islamis masuk ke koalisi yang berkuasa di Israel.
Tak heran kalau kemudian koalisi ini banyak rasa. Mengutip Tempo, Bennet menyebut, baik kanan dan kiri harus berkompromi pada masalah ideologis seperti itu.
Adakah Harapan Untuk Palestina?
Beragamnya koalisi yang akan berdiri di Israel menggantikan Netanyahu tetap dipandang pesimistis oleh orang Palestina. Mengutip The New York Times, CEO Bursa Saham Palestina, Ahmad Aweidah, misalnya, menilai kalau siapa pun yang memimpin Israel tak akan memberi perubahan besar.
Baca juga: Eskalasi Tekanan Israel Terhadap Palestina, Ini yang Perlu Kamu Tahu | Asumsi
“Mungkin ada perbedaan kecil, tapi semua partai besar Israel, kecuali dari kubu sayap kiri ekstrem, punya ideologi yang sama,” tutur Aweidah.
Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Fadi Quran, Direktur Kampanye Avaaz – sebuah lembaga nonprofit yang mempromosikan kekuatan rakyat sebagai perubahan – yang berbasis di Tepi Barat. Menurutnya, selama ini, orang Palestina sudah lelah berharap dan memilih percaya kepada kekuatan sendiri.
“Sekarang, anak muda terus berkata, ‘Kita bisa. Kita bisa jika bersama-sama,'” kata Quran.