Setelah
hampir 12 tahun menjabat sebagai Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu
kini diyakini berada di posisi paling terjepit. Kegagalannya membentuk
pemerintahan koalisi baru hingga tenggat waktu yang ditetapkan, yakni Selasa
(4/5/2021) tengah malam tadi, mungkin akan menggeser dia dan partainya, Likud,
dari jajaran pemerintahan.
Melansir Axios, mandat membentuk pemerintahan untuk Netanyahu
ini adalah ketiga kalinya dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, Netanyahu juga
pernah melakukan kegagalan yang sama. Namun kali ini, para pesaingnya mungkin
bisa membentuk pemerintahan tanpa dia.
Kini, Presiden Reuven Rivlin sebagai pemberi
mandat memiliki waktu tiga hari untuk berkonsultasi dengan berbagai pihak
sebelum memutuskan siapa yang akan menerima mandat selanjutnya.
Baca juga: Geliat Perubahan
Politik di Israel, Partai Arab Raih Lima Kursi | Asumsi
Terkini, Netanyahu dikabarkan telah
mengembalikan mandat kepada Presiden Reuven Rivlin usai gagal membentuk
pemerintah koalisi hingga tenggat yang ditentukan.
Gagal Merangkul Mayoritas
Mengutip AFP, kegagalan Netanyahu membentuk koalisi
pemerintahan karena dirinya tidak bisa merangkul mayoritas mutlak. Meski partai
sayap kanannya, Likud, meraih kursi paling banyak, namun itu tak memenuhi
setidaknya 120 kursi di parlemen Israel Knesset.
Mayoritas pemilih pun menyoroti kasus korupsi
yang menjerat Netanyahu. Dokumen dakwaan menuduh dia menerima hadiah dari teman-teman
kayanya dan meminta bantuan taipan media dengan imbalan laporan media untuk
pencitraan politiknya.
Dalam beberapa pekan terakhir, Netanyahu juga
terlihat makin frustasi menghadapi tekanan yang ada. Ini ditambah dengan
kematian 45 warga Israel dalam sebuah festival Yahudi dan gagalnya Likud
mendorong proposal yang menyerukan pemilihan langsung perdana menteri. Para
penentang mengkritik tindakan itu sebagai upaya putus asa Netanyahu untuk
menemukan cara baru mempertahankan kekuasaan.
Pecahnya Koalisi Netanyahu
Likud juga menghadapi perpecahan di koalisinya
sendiri yang memiliki rumpun pada partai kanan, zionis religius, hingga
ultra-nasionalis cenderung fasis.
Baca juga: Itzik Saidian Bakar
Diri: Gimana Stres Pascatrauma Bayangi Tentara Israel Saat Ini? | Asumsi
Kepala Partai Yamina, yang berhaluan
ultranasionalis, Naftali Bennett, misalnya. Meski bergabung dengan Netanyahu,
dia juga terbuka pada kemitraan lain dengan partai kiri-tengah dengan dalih
menghindari pemilu kelima. Untuk diketahui, dalam kurun dua tahun terakhir,
Israel sudah menggelar empat kali Pemilu.
Koalisi Likud juga semula akan diisi oleh
Partai Raam. Sebuah partai Islamis di Israel. Pemimpin Partai Raam, Mansour
Abbas mengaku mengambil opsi ini untuk meningkatkan standar hidup 20 persen
minoritas Arab Israel. Namun, pemimpin Zionisme Religius Bezalel Smotrich, yang
berulang kali menyebut Raam sebagai “pendukung teror”, enggan
mengajak mereka bekerja sama. Padahal, posisi Raam cukup menentukan untuk Likud
bisa merangkul minoritas.
Dalam situasi berbeda, menanggapi kegagalan
Netanyahu, para pembantu Presiden Rivlin telah merekomendasikan mandat agar
diemban oleh Yair Lapid, politisi dari partai tengah, Yesh Atid. Yesh Atid
memiliki 45 anggota di parlemen dari 120 kursi yang ada. Selain Lapid, nama
Bennett juga dijagokan sebagai penerima mandat tersebut.
Tadinya, mengutip Axios,
Netanyahu berusaha membuat celah dengan menyabotase pengalihan mandat ke Lapid.
Dengan begitu, Netanyahu berharap Bennet bisa tampil dan bisa ditekan untuk
bernegosiasi hanya dengan rekan-rekan kanannya saja. Tapi rencana itu juga
gagal setelah Bennett menolak mengesampingkan negosiasi dengan Lapid.
Soalnya, meskipun partai Bennett hanya
memenangkan tujuh kursi di Knesset, Lapid akan mengizinkannya untuk menjabat
sebagai perdana menteri selama dua tahun sebelum dia merotasi jabatannya di dua
tahun selanjutnya. Koalisi partai kiri-tengah, yang memenangkan lebih banyak
kursi, juga diyakini akan mengendalikan sebagian besar kementerian pemerintah.
Mengutip Reuters, sebagian pihak menilai kalau kebuntuan
pembentukan koalisi ini sendiri sebagian besar berasal dari masalah hukum
Netanyahu tadi. Beberapa calon sekutu berkomitmen untuk tidak mengabdi kepada
perdana menteri yang sedang diproses hukum.
Jika saja calon baru yang dipilih oleh Rivlin
gagal membentuk koalisi dalam 28 hari, presiden dapat meminta parlemen untuk
menyetujui calon dalam waktu tiga pekan. Jika tidak bisa, Israel akan menggelar
pemilu lagi untuk kelima kalinya.
Alasan Gagal Terus
Mengutip pemberitaan di Times of Israel,
Desember 2020 lalu, ada sejumlah alasan yang membuat ketidakstabilan politik
terus terjadi di Israel dalam dua tahun terakhir.
Baca juga: Warisan Hosni Mubarak
adalah Api dan Kematian | Asumsi
Kasus hukum yang menjerat Netanyahu jadi salah
satu alasannya. Apalagi setelah dia muncul di pengadilan atas tuduhan
penyuapan, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan.
Meski pendukung Partai Likud tetap setia pada
Netanyahu, namun serangkaian protes kadung menunjuk hidung Netanyahu dan
meminta pengadilan membuka kasus ini secara terang. Netanyahu bahkan disebut
sebagai “Crime
Minister“.
Netanyahu memang mendapat pujian atas
penanganan awal pandemi virus corona pada musim semi dan telah mengamankan
vaksin untuk Israel. Namun kemarahan publik berkobar lagi di tengah serangkaian lockdown nasional
dan kesulitan ekonomi bagi pemilik bisnis.
Kritikus menuduh Netanyahu lebih mementingkan
masalah yang tidak terlalu mendesak, seperti manuver hukum, dan bagaimana
menyenangkan basis sayap kanannya dengan menjanjikan untuk mencaplok Tepi Barat
milik Palestina yang diduduki Israel.
Alasan lain adalah gagalnya kabinet persatuan
Benjamin Netanyahu-Benny Gantz mengeluarkan anggaran yang berdampak pada
bubarnya Knesset ke-23 tahun lalu. Padahal kabinet ini baru tujuh bulan
dibentuk.
Kegagalan kabinet ini juga membuat Israel
menggelar pemilu keempat Maret kemarin.
Padahal anggaran adalah kunci untuk
melaksanakan kesepakatan di mana Netanyahu akan menyerahkan kekuasaannya kepada
Benny Gantz, seorang politikus poros tengah dari partai Biru Putih, rival
panjang Netanyahu yang kemudian memilih berkoalisi di kabinet tahun lalu,
sebagai “perdana menteri pengganti”.
Di sisi lain, ada juga kekecewaan publik pada
bergabungnya Gantz ke koalisi Netanyahu. Meski Gantz berpendapat kesepakatan
pembagian kekuasaan adalah untuk kepentingan nasional setelah tiga pemilihan
umum yang tidak meyakinkan telah membuat negara itu lumpuh, pengikut Gantz
sangat marah karena itu berpotensi memberi keuntungan pada Partai Likud.
Sebaliknya, partai Netanyahu sendiri mengalami
pembelotan. Gideon Saar, orang yang memiliki pandangan sayap kanan yang sama
seperti Netanyahu mengatakan, Likud telah menjadi “kultus
kepribadian” pada Netanyahu.