Isu Terkini

Nadiem Ajukan Revisi PP 57/2021, Pendidikan Pancasila Jadi Matkul Wajib di Perguruan Tinggi

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Humas Kemendikbud

Tak ada istilah nasi sudah menjadi bubur bagi pemerintah. Peraturan yang diterbitkan masih bisa direvisi jika memicu polemik. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengajukan permohonan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal ini menyusul munculnya desakan agar PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan direvisi oleh pemerintah. Pasalnya, isi beleid tersebut tidak memuat pendidikan Pancasila sebagai pelajaran wajib bagi siswa pendidikan dasar dan menengah, serta mata kuliah wajib untuk mahasiswa pendidikan tinggi.

Apa Isi PP yang Jadi Polemik?

Melalui PP 57/2021, Presiden menerbitkan aturan yang tak lagi mencantumkan Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam SNP. Dikutip dari CNBC, PP ini diketahui diteken Jokowi pada 30 Maret lalu. 

Dalam aturan ini, pemerintah memutuskan tak hanya menghilangkan pendidikan Pancasila, melainkan juga mata kuliah atau pelajaran Bahasa Indonesia dalam standar nasional pendidikan pada kurikulum pendidikan tinggi. Sementara, dalam Undang-Undang (UU) 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pancasila dan Bahasa Indonesia masuk dalam kurikulum tertinggi. 

Baca juga: Kemendikbud dan Kemenristek Mau Dilebur, Siapa Menterinya? | Asumsi

“Lewat PP Ini, kedua topik tersebut dihilangkan. Pasal 40 PP tersebut menyebutkan kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa,” tulis laporan berita tersebut.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menyayangkan saat terbitnya PP No. 57 Tahun 2021 ini. Menurutnya, lahirnya PP No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, secara esensial merevisi PP SNP sebelumnya, yakni PP No. 32 Tahun 2013 dan PP No. 19 Tahun 2005. 

“Hal yang sangat disayangkan adalah dalam Pasal 40 (angka 3) tidak lagi memuat Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib khususnya di Perguruan Tinggi,” kata Satriwan Salim kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Selasa (20/4/21).

Ia menambahkan, bila merujuk pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (PT), Pasal 35, secara eksplisit menuliskan:

Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah:

a) agama;

b) Pancasila;

c) kewarganegaraan; dan

d) bahasa Indonesia.

Baca juga: Nadiem Ingin Pembelajaran Tatap Muka Disegerakan, Tapi Kesiapannya Masih Dikeluhkan 

Namun, dalam PP SNP yang belum direvisi ini, kata dia, sangat jelas menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia. “Padahal dalam konsideran: “mengingat”, PP SNP jelas merujuk kepada Undang-undang PT. Namun, isi PP SNP justru bertentangan dengan Undang-undang PT,” ucapnya.

Lebih lanjut, Satriawan menduga hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam kurikulum Perguruan Tinggi ini murni keteledoran tim penyusun semata alias human error. “Bukan atas dasar kesengajaan yang tentunya bertentangan dengan Undang-Undang,” ucapnya.

Seperti Apa Revisinya?

Melalui pengajuan revisinya, Mendikbud meminta supaya pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia masuk dalam kurikulum pendidikan tinggi, sebagai mata kuliah wajib.

Dikutip dari CNN, revisi tersebut disampaikan Nadiem kepada Presiden melalui surat bernomor 25059/MPK.A/HK.01.01/2021 pada Jumat (16/4/21) lalu. Revisi diajukan tak lama selepas Nadiem menuai kritik karena menghapus aturan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di pendidikan tinggi.

Melalui suratnya, Nadiem mengubah beleid Pasal 40 dalam PP SNP. Perubahan pada kurikulum pendidikan tinggi diatur dalam ayat (5) yang berbunyi:

Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah:

a. agama

b. Pancasila

c. kewarganegaraan

d. bahasa Indonesia

Selanjutnya, pada Ayat (7) PP ini menyebut keempat mata kuliah itu berlaku untuk program sarjana dan diploma. Di samping itu, ayat (6) menyatakan muatan kurikulum dapat diterapkan melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.

Baca juga: Nadiem Pastikan Sekolah Tatap Muka, Vaksinasi Murid Gimana?

Tak hanya itu, Mendikbud juga mengajukan perubahan pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang semula 10 muatan wajib pada jenjang SD sampai SMA, kini direvisi menjadi 11, melalui Ayat (2) Pasal 40 pada surat pengajuan revisi yang berbunyi:

“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

a. pendidikan agama;

b. Pancasila;

c. pendidikan kewarganegaraan;

d. bahasa;

e. matematika;

f. ilmu pengetahuan alam;

g. ilmu pengetahuan sosial;

h. seni dan budaya;

i. pendidikan jasmani dan olahraga;

j. keterampilan/ kejuruan; dan

k. muatan lokal.”

P2G pun mengapresiasi sikap responsif Nadiem yang segera mengajukan permintaan revisi PP tersebut kepada Presiden. Menurut Satriawan, hal ini sebagai bukti bahwa Mendikbud benar-benar mendengar aspirasi publik, khususnya para praktisi pendidikan.

“Alhamdulillah Mas Menteri responsif, mengajukan revisi. Di revisi ini, Pancasila dan bahasa telah dimasukkan kembali ke PP SNP, meski belum keluar nomor PP-nya. Kami juga melihat di dalam pengajuan revisi PP ini, dimasukkan Pancasila sebagai muatan pembelajaran khusus yang terpisah dari pendidikan Kewarganegaraan,” ujarnya.

Ia menyebut, selama ini Pancasila tidak menjadi mata pelajaran khusus, utamanya di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pancasila, kata dia, selama ini diintergasikan ke dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), sejak kurikulum tahun 2013.

“Sebelum kurikulum 2013, pendidikan Pancasila justru hilang dari kurikulum. Kalau dalam usulan ini kami mengapresiasinya,” ungkapnya.

Kenapa Pendidikan Pancasila Perlu Jadi Mata Kuliah Wajib?

Satriawan menegaskan, secara filosofis Pancasila mesti diajarkan di tingkat perguruan tinggi melalui mata kuliah tersendiri. Hal ini mengingat proses ideologisasi merupakan tanggung jawab negara.

“Ini tanggung jawab negara menyebarkan ideologi bangsa melalui pendidikan. Kami harap, jangan sampai ketika PP yang sudah direvisi keluar, pendidikan Pancasila yang diterapkan seperti pendidikan Pancasila di era Orde Baru yang isinya sangat indoktrinatif dan anti dialog, serta sangat normatif,” tuturnya.

Ia mengharapkan, pendidikan Pancasila di perguruan tinggi menjadi mata kuliah yang kekinian. “Serta menjawab tantangan generasi Z, generasi alfa saat ini,” imbuhnya.

Baca juga: Nadiem Tekankan Perguruan Tinggi Tak Mempersulit Peminat Pertukaran Mahasiswa Merdeka

Oleh sebab itu, menurutnya, pemerintah melalui Kemendibud perlu melibatkan organisasi guru dan dosen yang mengajar Pancasila dan Kewarganegaraan untuk mendesain mata pelajaran Pancasila di tingkat sekolah dasar dan menengah.

“Mereka yang perlu dilibatkan antara lain  Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI) dan Asosiasi Guru PPKn Indonesia (AGPPKnI),” ucap pria yang juga Wakil Ketua Umum AGPPKnI ini.

Dirinya pun mengharapkan dengan adanya pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah wajib perguruan tinggi, mampu menekan ancaman radikalisme yang belakangan kian masif menyusup ke lingkungan pendidikan, seperti kampus-kampus. 

“Secara perspektif negara, ancaman berupa radikalisme dan intoleransi ini semakin menyeruak di dunia pendidikan. Kami harap melalui ideologisasi pendidikan Pancasila, menjadi salah satu strategi mencegah indikasi-indikasi ideologi radikal, maupun ekstremisme. Maka, penting diwajibkan dalam kurikulum,” ujarnya menandaskan.

Share: Nadiem Ajukan Revisi PP 57/2021, Pendidikan Pancasila Jadi Matkul Wajib di Perguruan Tinggi