Covid-19

Nadiem Pastikan Sekolah Tatap Muka, Vaksinasi Murid Gimana?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Pemerintah mengumumkan pembelajaran tatap muka secara terbatas di sekolah bisa dimulai pada Juli 2021 mendatang. Langkah itu bisa dimulai setelah guru dan tenaga pendidikan disuntik vaksin COVID-19. Apakah langkah itu tepat di tengah kasus COVID-19 yang masih tinggi?

Informasi itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dalam Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19 yang disiarkan YouTube Kemendikud RI, Selasa (30/3/21).

Menurutnya, efektivitas pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak sama dengan belajar tatap muka. “Vaksinasi terhadap pendidik dan tenaga kependidikan ditargetkan selesai paling lambat Juni 2021. Ini sesuai komitmen dari Pak Menkes. Sehingga pada tahun ajaran baru Juli 2021, diharapkan seluruh satuan pendidikan dapat menyediakan layanan pembelajaran tatap muka secara terbatas,” kata Muhadjir.

Sementara itu, Mendikbud Nadiem Makarim juga menyampaikan bahwa belajar tatap muka bisa dimulai usai vaksinasi guru dan tenaga kependidikan selesai. Ia mengatakan pembelajaran tatap muka bakal dimulai dari PAUD dan SD lalu bertahap hingga Pendidikan Tinggi.

“Paling muda paling sulit PJJ. Mereka juga punya potensi ketinggalan paling besar,” kata Nadiem.

Mendikbud: Indonesia Terlambat Buka Sekolah Tatap Muka

Nadiem menyebut Indonesia terlambat melakukan sekolah tatap muka. “Kita ketinggalan dari negara lain. Sebanyak 85 persen negara di Asia Timur dan Asia lainnya sudah melakukan sekolah tatap muka,” ucapnya.

Nadiem menyebut WHO hingga UNICEF sepakat penutupan sekolah bisa berdampak kepada satu generasi. Tidak hanya ke sisi pendidikan, melainkan juga kesehatan, termasuk kesehatan mental.

“Dan orang tua yang tidak mendapatkan kesempatan ekonomi karena tidak bisa kerja di luar. Yang terjadi di Indonesia ada tren anak putus sekolah, penurunan capaian pembelajaran apalagi ketika akses tidak tercapai di daerah.”

“Kita melihat banyak anak yang tidak melihat sekolah dalam PJJ. Banyak anak yang ditarik keluar sekolah dan banyak isu kekerasan domestik yang tidak terdeteksi. Risiko bukan hanya pembelajaran, tapi psikososial, dan kesehatan mental sangat rentan. Kita harus mengambil tindakan tegas agar satu generasi tidak tertahan di belakang.”

Menurut Nadiem, riset membuktikan pendidik dan tenaga pendidik memiliki kerentanan tinggi terhadap COVID-19, bukan murid-murid.”Kita tahu bahwa rate infection pada anak secara umum bergejala ringan. Itupun anak memiliki kerentanan lebih rendah, anak semakin kecil kerentanan menularkannya juga lebih kecil.”

Menkes: COVID-19 pada Anak Bisa Sembuh Sendiri

Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa anak usia 2-18 tahun cenderung lebih mudah sembuh jika terinfeksi COVID-19, sehingga pembukaan sekolah bisa dilakukan meski pelajar belum divaksin.

Menurutnya, tingkat kematian anak-anak usia sekolah juga cenderung rendah dan kebanyakan tanpa gejala yang bisa sembuh dengan sendirinya.”Kemungkinan tertular dan fatalitasnya untuk virus COVID-19 di usia muda itu sangat kecil atau hampir tidak ada, kalau toh pun terkena mereka akan sembuh dengan sendirinya,” kata Budi.

“Sampai sekarang memang belum ada uji klinis yang dilakukan oleh seluruh vaksin yang ada terkait anak, baru diawali saja kajiannya, jadi sekarang vaksinasi diberikan umumnya di atas usia 16 atau 18 tahun.”

Oleh sebab itu, Budi mendorong pemerintah daerah untuk segera membuka sekolah agar tidak terjadi kehilangan pembelajaran bagi anak muda, tentunya dengan protokol kesehatan yang sudah diatur dalam SKB 4 Menteri.

Sekolah Sumbang 14 Persen Kasus COVID-19

Pada kesempatan yang sama, Satgas Penanganan COVID-19 mencatat kasus infeksi virus SARS-CoV-2 pada anak di usia sekolah sejauh ini menyumbang 14 persen dari keseluruhan total kasus COVID-19 di Indonesia.

Kasus terbanyak ada di kelompok usia sekolah dasar (SD) dengan 49.962 kasus.”Totalnya sekitar 14 persen dari seluruh kasus di Indonesia. Jadi perlu menjadi perhatian kita semua, kita harus tetap menjaga mereka tetap sehat dan bisa produktif untuk belajar,” kata Jubir Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito.

Adapun rincian dari sebaran data kasus anak itu yakni 23.934 kasus dari anak berusia 0-2 tahun atau PAUD, kemudian 25.219 anak berusia 3-6 tahun atau setara anak pendidikan TK.

Lalu, kasus paling banyak ditemukan pada anak usia 7-12 tahun atau murid SD dengan 49.962 kasus. Selanjutnya 36.634 kasus COVID-19 ditemui pada anak berusia 13-15 tahun atau murid SMP, dan 45.888 kasus COVID-19 pada anak berusia 16-18 tahun atau setara murid SMA.

Sementara, dari temuan kasus COVID-19 pada anak itu, ditemukan juga case fatality rate (CFR) atau kasus kematian, meski menurut Wiku tidak banyak. Temuan itu menunjukkan bahwa anak usia sekolah memiliki imunitas yang baik dalam melawan virus, serta belum memiliki penyakit penyerta alias komorbid.

Adapun kelompok anak usia PAUD menjadi kelompok dengan jumlah kematian anak usia sekolah terbanyak selama pandemi COVID-19 di Indonesia, yakni 204 kematian, lalu 53 kematian dari anak setara TK. 

Kemudian 82 kasus kematian terjadi pada murid SD, 46 kasus kematian ditemukan dari murid SMP, dan 82 kasus kematian akibat COVID-19 dari murid SMA.

Sekolah Itu Unik di Tengah Kondisi Pandemi

Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health, Griffith University Australia, dr Dicky Budiman mengatakan bahwa kedudukan sekolah itu unik dalam strategi pengendalian pandemi.

“Disebut unik karena sebagaimana fakta pandemi, sejarah pandemi, lalu literatur, banyak menunjukkan bahwa bila terjadi satu pandemi, yang terakhir ditutup itu adalah sekolah, yang lain ditutup duluan, mau aktivitas apapun sosial, ekonomi, politik, semua,” kata Dicky saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon, Rabu (31/3).

“Itu kesepakatan universal ya di kalangan ahli, sebagaimana ini berlaku juga kalau divaksinasi bahwa wanita hamil tuh belakangan, sama itu kesepakatan universal.”

Dicky melanjutkan bahwa kemudian ketika pandemi berangsur membaik atau mulai terjadi pelonggaran, yang pertama harus dibuka itu sekolah. Menurutnya, itu merupakan kesepakatan universal.

“Jadi yang terakhir ditutup ketika awal pandemi berkecamuk, kemudian jadi yang pertama dibuka ketika adanya pelanggaran. Itu kesepakatan yang sampai saat ini tidak berubah dan sudah dilakukan di banyak negara saat ini.”

Dicky menilai di Indonesia sendiri, faktanya justru berbeda. Justru terjadi paradoks ketika sektor lain sudah lebih dulu dibuka, tapi sekolah malah masih ditutup sampai hari ini. Malah, lanjutnya, sekolah jadi tempat pertama yang ditutup di awal pandemi.

“Jadi ini ada paradoks dan itu tidak ada yang bisa menjadikan alasan bahwa kita berbeda dengan negara lain, tidak begitu. Yang salah adalah penutupan-penutupan lain itu yang harus disesuaikan dengan sekolah dan fakta kedua bahwa penutupan sekolah itu tidak akan efektif menurunkan pengendalian pandemi. Kalau yang lain juga tidak ditutup dulu atau dikendalikan.”

Menurut Dicky, faktanya sejauh ini, belum ada yang bisa valid membuktikan bahwa sekolah menjadi sumber transmisi.

“Nah ini bukan berarti bahwa saya meniadakan bahwa sekolah itu rentan. Sekolah itu dipengaruhi oleh kondisi di komunitas, bahwa pada anak-anak itu terjadi COVID-19. Jadi ya memang tidak ada dalam kondisi pandemi saat ini yang tidak rawan, tidak ada.”

Tapi, Dicky mengatakan, bicara sekolah, itu berarti bicara banyak hal, bukan masalah aspek kesehatan saja. Ada banyak aspek yang perlu jadi pertimbangan sebelum membuka sekolah tatap muka.

“Jadi saya, saat ini posisinya, ya tidak ada pilihannya. Saya mendukung sekolah tatap muka ya karena sektor lain sudah dibuka, kecuali yang lain ditutup. Karena kalau sekolah saja yang ditutup, nggak ada signifikan manfaatnya. Yang terjadi malah perburukan untuk siswa itu sendiri.”

Meski begitu, Dicky menegaskan bahwa yang harus dilakukan dan diperhatikan adalah penguatan-penguatan yang ada di dalam mitigasi risiko. Menurutnya, harus ada jaring-jaring pengaman dan protokol kesehatan yang ketat.

“Dampaknya akan jauh lebih besar kalau sekolah itu akhirnya terus ditutup ketika yang lain dibuka dan itu luar biasa ya. Itulah yang menyebabkan kenapa sekolah itu posisinya sangat unik.”

Positivity Rate Harus di Bawah 5 Persen

Sementara itu, Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono juga menilai ada sejumlah pertimbangan dalam keputusan pemerintah untuk mulai membuka sekolah tatap muka. Yang terpenting, menurutnya, positivity rate-nya masih dalam level aman.

“Jadi sekolah tatap muka itu harus dilihat positivity rate-nya, dengan syarat itu kalau tesnya standar, kemudian kontak tracing-nya juga standar. Jadi yang dianjurkan oleh WHO terpenuhi, kalau tidak ya positivity rate-nya tidak dijamin, begitu,” kata Tri saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (31/3).

“Oleh karena itu, yang menjamin sekolah itu aman adalah positivity rate-nya kurang dari 5 persen atau minimal 5 persen, kira-kira begitu. Kalau positivity rate-nya di bawah 5 persen, aman.”

Kalau ada kasus COVID-19 pada anak sekolah, Tri menyarankan langsung ditutup lagi sekolahnya. Yang terpenting menurutnya adalah penerapan protokol kesehatan yang ketat.

“Harus diketatin di sekolah, di jalanan, di rumah. Kalau semuanya pesimis, ya semua pesimis lah. Kalau semua optimis, ya harusnya bisa. Asal catatannya positivity rate-nya di daerah, di kabupaten kota itu, kurang dari 5 persen dengan tes standar, dengan kontak tracing-nya standar, itu saja.”

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) dr. Riris Andono Ahmad menilai masalah harus atau tidak dibukanya sekolah tatap muka adalah soal keputusan kebijakan. Yang perlu menjadi pertanyaan adalah apakah dasar dari kebijakan tersebut?

“Bukti, apa yang dijadikan bukti bahwa kebijakan itu sensible? Saya tidak mengetahui basis bukti yang digunakan. Tetapi kalau bercermin dari kebijakan di negara lain di Eropa, Australia, memang sudah ada pembukaan sekolah, ketika transmisi sedang tidak tinggi (tidak melakukan lockdown),” kata Riris kepada Asumsi.co, Rabu (31/3).

“Basisnya karena kejadian transmisi pada anak sekolah relatif lebih kecil dibandingkan kejadian pada orang dewasa. Dan keparahan COVID-19 pada anak juga relatif lebih kecil dibandingkan dengan dampak terhadap tumbuh kembang anak,” ujarnya.

Share: Nadiem Pastikan Sekolah Tatap Muka, Vaksinasi Murid Gimana?