Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN siap diselenggarakan di Jakarta dalam hitungan jam. Dari berbagai hal yang akan dibahas dalam KTT tersebut, krisis Myanmar menjadi salah satu isu yang kerap muncul dan jadi perbincangan publik.
Sorotan pada isu pengentasan krisis Myanmar di KTT makin riuh seiring kabar kedatangan pemimpin Junta Militer Min Aun Hlaing ke Jakarta. Kabar kehadirannya memang ditanggapi beragam. Namun, ada juga sedikit asa bahwa KTT ini bisa membuka jalan untuk mengintervensi kebengisan militer yang dalam tiga bulan terakhir sudah memakan banyak korban jiwa di negeri yang semula bernama Burma.
Setuju atau tidak dengan kedatangan Aung Hlaing, ASEAN sebagai organisasi kawasan diminta bisa mengambil celah untuk menjadi mediator antara kelompok pro-demokrasi dengan militer Myanmar yang disebut Tatmadaw.
Akan Seefektif Apa Peran ASEAN?
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana menyebut yang pasti lewat KTT ini, negara-negara ASEAN harus bisa menunjuk utusan khusus yang bisa menjadi mediator dalam pengentasan krisis Myanmar. Menurut Hikmahanto, ini penting karena saat ini nyaris tak ada dialog antara massa pro-demorasi dengan junta. Mediator ini bisa siapa saja asal mau mendengar usulan dari kedua belah pihak dan mempertimbangkan solusi apa yang bisa diambil.
“Sekarang ini enggak ada dialog antara junta militer di sana dengan rakyat Myanmar. Untuk menjembatani ini harus ada peran mediator,” kata Hikmahanto kepada Asumsi, Jumat (23/4/2021).
Solusi yang ditawarkan di antaranya bisa dengan membentuk pemerintahan bersama yang terdiri dari kedua belah pihak. Tujuannya untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum, memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin di negara tersebut. “Pemilu ini bukan hanya dari militer tapi untuk kedua belah pihak juga. Nanti diawasi oleh negara-negara ASEAN melalui sukarelawan. Nanti siapa yang menang, merekalah yang berhak memimpin di Myanmar,” ucap dia.
Selain menunjuk mediator, negara-negara anggota ASEAN juga perlu melakukan pendekatan dengan China. Menurut Hikmahanto ini penting karena sejarah ketergantungan rezim militer Myanmar pada China. Berdasarkan pengalaman selama ini, jejak pengaruh China di Myanmar lebih kuat ketimbang jejak negara blok Barat. Sehingga gerak dari negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa melalui embargo ekonomi misalnya, tidak akan terlalu bekerja dalam menggoyahkan militer Myanmar.
Problemnya, selama ini China bersikap diam pada junta militer Myanmar. China, lanjut Hikmahanto, selalu bilang kalau ini adalah urusan domestik Myanmar di mana China tak bisa ikut campur. “Kalau negara ASEAN bisa dekati China, mungkin Myanmar akan nurut. Kalau cuma ide dari negara ASEAN saja, junta militer enggak merasa punya kewajiban untuk mengikuti itu,” ujar dia.
Langkah terakhir, kalau junta militer Myanmar tetap bebal dan korban sipil terus berjatuhan, maka negara-negara ASEAN bisa menggunakan right to protect. Ini adalah langkah intervensi yang tidak dianggap melanggar kedaulatan suatu negara tapi justru kewajiban saat di negara lain terjadi pelanggaran seperti pelanggaran HAM berat.
Namun, ini juga harus dilakukan dengan lobi antara anggota ASEAN lainnya. Mengingat beberapa negara seperti Thailand dan Vietnam cenderung diam menanggapi krisis Myanmar. “Yang pasti harus ada konsensus. Ini harus ada di lobi, ASEAN sebagai organisasi kawasan enggak bisa berpangku tangan, karena selain warga sipil terus jadi korban, situasi ini bisa membuat instabilitas di kawasan,” ujar Hikmahanto.
Senior Analis Australian Strategic Policy Institute, Huong Le Thu dikutip dari The Strategist menilai, meskipun pendekatan ‘keterlibatan konstruktif’ telah berhasil untuk ASEAN di masa lalu, pendekatan ini tidak boleh digunakan untuk junta Myanmar yang memimpin dengan cara tidak sah. Mengundang Aung Hlaing ke pertemuan para pemimpin akan memberinya legitimasi palsu yang berpotensi memengaruhi kebijakan dalam negerinya untuk melanjutkan kampanye kekerasan di sana.
Sementara anggota pemerintah sipil yang digulingkan dan penentang junta lainnya baru-baru ini membentuk National Unity Government (NUG) dengan Aung San Suy Kyi sebagai kepala nominalnya. Jika laporan bahwa pemerintah paralel ini tidak diundang adalah benar, maka KTT mungkin lebih merugikan daripada menguntungkan.
“Jika ASEAN mengharapkan resolusi damai untuk krisis ini, tapi hanya mengundang perwakilan Tatmadaw, maka secara efektif meniadakan kemungkinan resolusi yang diharapkan. Tatmadaw secara terang-terangan mengabaikan pemerintah sipil Myanmar dan menyangkal hasil pemilihan November 2020, menyerukan agar pemungutan suara baru dilakukan. Memberi Min Aung Hlaing kursi di meja tampaknya hadiah dengan pengakuan internasional sebuah junta yang menggulingkan pemerintah yang sah dan terus terlibat dalam pembunuhan massal,” tulis Huong.
Situasi Myanmar yang dengan cepat mengarah ke ketidakstabilan juga berpotensi tidak hanya pada masa depan Myanmar tetapi juga bagi seluruh kawasan. Sayangnya, manuver pra-KTT engan jelas menunjukkan bahwa anggota ASEAN terpecah sikap terkait Myanmar.
Thailand misalnya, yang dianggap paling penting di antara negara tetangga lainnya memilih untuk tidak ikut campur. Bahkan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha tidak akan hadir dalam KTT karena menilai permasalahan Myanmar merupakan isu domestik yang tak perlu dicampuri negara lain.
Vietnam, yang merupakan ketua Dewan Keamanan PBB dan satu-satunya perwakilan tidak tetap Asia Tenggara di dewan untuk tahun 2020–2021 juga telah menahan diri terkait isu Myanmar.
“Absennya pemimpin dari pemangku kepentingan yang begitu penting dalam krisis Myanmar akan secara signifikan mengurangi pentingnya KTT tersebut,” tulis Huong.
Negara ASEAN yang paling menonjol dalam upaya menangani krisis adalah Indonesia dan Singapura. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar di kawasan yang secara tradisional dianggap sebagai pemimpin informal ASEAN, telah mengirim menteri luar negeri Retno Marsudi ke Bangkok untuk melakukan pembicaraan dalam upaya melakukan “diplomasi antar-jemput”. Indonesia juga mengambil inisiatif yang membuat Brunei sebagai Ketua ASEAN dengan cepat mengatur pernyataan bersama pada hari kudeta. Hal ini pula yang jadi alasan mengapa KTT digelar di Jakarta.
Sementara Singapura, investor asing langsung terbesar Myanmar, memiliki kepentingan komersial dan politik untuk mengembalikan stabilitas. PM Lee Hsien Loong secara eksplisit juga mengkritik penggunaan kekuatan mematikan oleh junta terhadap warga sipil yang tidak bersenjata.
Anggota ASEAN yang tidak terlibat langsung dalam krisis juga memiliki kepentingan sendiri untuk mencegah Myanmar menjadi negara gagal. Kawasan yang stabil dan damai merupakan tujuan investasi menarik untuk kepentingan semua orang. Selaras dengan tujuan jangka panjang ASEAN untuk mendorong integrasi kawasan dan mempersempit kesenjangan pembangunan.
“Jika ASEAN benar-benar ingin memainkan peran perantara yang jujur, itu harus memberikan ruang aman bagi National Unity Government (NUG) dan Tatmadaw untuk bernegosiasi. Menyatukan para pihak untuk pertemuan semacam itu akan sulit dicapai, tetapi itu akan memberikan contoh sentralitas ASEAN yang sangat dibutuhkan,” tulis Huong.