Internasional

​Brutalnya Junta Bikin Perang Saudara di Myanmar Makin Mengemuka

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: AFP

Hanya perlu waktu dua bulan untuk junta militer Myanmar menewaskan sekitar 570 orang sejak publik Myanmar turun ke jalan menolak kudeta militer pada Aung San Su Kyi, 1 Februari 2021 lalu seperti dikutip dari The Washington Post. Kebrutalan militer makin menjadi seiring makin derasnya gerakan pro-demokrasi di negara yang semula bernama Burma itu. Makin ditindas, publik pun makin berani. Perang saudara ada di depan mata.

Kekerasan dan penangkapan juga mewarnai Myanmar sepanjang dua bulan terakhir. Militer Myanmar atau yang sering disebut Tatmadaw telah menangkap setidaknya 2.720 politisi, aktivis, dan tokoh masyarakat sipil. Jumlah ini termasuk 25 jurnalis yang ditahan disusul surat perintah penangkapan terhadap sedikitnya 60 seniman, penulis, artis, dan selebritas lainnya yang dituduh menyebarkan informasi berbahaya bagi stabilitas nasional.

Junta juga membatasi akses internet di negara tersebut. Tapi jaringan perlawanan rakyat tak habis akal. Mereka beralih ke bentuk komunikasi tradisional dengan menggunakan stasiun radio pemancar gelap hingga penggunaan selebaran untuk memobilisasi aksi.

Namun, ketahanan dan tekad para pengunjuk rasa bukanlah kabar baik. Thitinan Pongsudhirak, pengamat politik dari Universitas Chulalongkorn Bangkok menyebut Junta militer juga tidak akan menyerah dan siap mengeluarkan berapa pun biaya untuk menghalau arus demonstrasi massa pro-demokrasi. Dengan kondisi ini, Myanmar juga beresiko menghadapi ancaman keruntuhan ekonomi, kehancuran negara, dan perselisihan internal, bahkan mungkin perang saudara yang parah.

Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, memperingatkan pada 31 Maret 2021 bahwa pertumpahan darah akan segera terjadi. Dalam presentasi online yang dikutip oleh Associated Press, dia mengatakan perang saudara dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya sangat mungkin terjadi saat ini.

Siap Angkat Senjata

Analisis Thitinan dan Christine mungkin ada betulnya. Diberitakan oleh Times pada 7 Maret 2021, beberapa pengunjuk rasa mulai berpikir untuk mempersiapkan diri pada sebuah revolusi bersenjata.

Kepada Times, Zarni Win (27), perempuan yang sebelumnya bekerja untuk komite pemantau gencatan senjata antara junta militer Myanmar dan kelompok etnis bersenjata, mengatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk melawan militer Myanmar. Dia sendiri sudah bersiap mendaftar kepada salah satu kelompok bersenjata. “Saya siap untuk bergabung dengan revolusi bersenjata,” kata Zarni Win.

Seorang aktivis di Yangon, kota terbesar di Myanmar, kepada CNN juga mengaku baru-baru ini telah menerima pelatihan militer di sebuah kamp di salah satu hutan Myanmar. “Saat ini kami harus melawan senjata dengan senjata, bukan non-kekerasan dan kemudian melawan senjata. Itu tidak menjadi pilihan bagi kami,” kata aktivis yang tak disebutkan namanya itu.

Dalam dua bulan terakhir, pengujuk rasa pro-demokrasi memang bertahan dengan cara-cara damai. Jutaan orang turun ke jalan, dan ratusan ribu pegawai pemerintah melakukan pemogokan. Sebagian pengunjuk rasa bahkan menggunakan kreativitas, humor, dan seni untuk menginspirasi solidaritas dan mengejek junta militer.

Namun, di tengah situasi yang memburuk dan junta militer Myanmar yang semakin represif, mereka merasa harus angkat senjata melawan kebrutalan ini. Kepada Times, seorang anggota staf nasional di sebuah badan PBB yang enggan disebut namanya mengatakan saat ini orang-orang mulai menyadari bahwa massa pro-demokrasi Myanmar tidak bisa menunggu siapa pun dan harus terus bergerak sendiri.

“Kami tidak bisa terus mengirim pemuda kami ke jalan dan menyambut kematian mereka tanpa mekanisme pertahanan diri yang tepat,” katanya.

Solidaritas Etnis Minoritas

Myanmar memang bukan kali ini direda konflik internal. Sejak merdeka pada 1948, perang saudara di negara ini tak bisa dikatakan berhenti sepenuhnya. Sejumlah tentara pembebasan berbasis etnis seperti Karen, Arakan, dan lainnya telah lebih lama berhadapan dengan diktator militer yang menguasai negara ini sejak 1962 sampai 2010. 

Kepemimpinan Myanmar selama ini dipegang oleh Bamar, etnis mayoritas di sana. Aung San Su Kyi, adalah juga seorang Bamar. Dominasi Bamar dalam kepemimpinan Myanmar sejak 1948 inilah yang menjadi alasan perlawanan etnis-etnis minoritas yang merasa terdiskriminasi.

Namun, arus gerakan pro-demokrasi dalam merespons kudeta militer atas kepemimpinan Aung San Su Kyi mendapat simpati dari etnis minoritas. Penggunaan kekerasan oleh junta militer pun memicu banyak permintaan maaf di media sosial dari etnis Bamar yang selama ini cenderung pasif dalam memperjuangkan hak-hak etnis minoritas Myanmar. Singkatnya, kebrutalan militer mempersatukan masyakat Myanmar dari berbagai etnis. 

Kepada Times, Seng Zin, seorang pemuda dari etnis Kachin menilai kalau sekarang memang waktu yang tepat untuk melangsungkan pemberontakan bersenjata. Mayoritas masyarakat Bamar telah merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh etnis minoritas dan itu mempersatukan semua etnis. 

“Sebelumnya, mereka tidak peduli pada kami. Terkadang bahkan mendukung apa yang dilakukan Tatmadaw –junta militer Myanmar–. Tapi sekarang, mereka telah belajar,” kata Seng Zin.

Namun, tidak semua orang mendukung revolusi bersenjata yang mulai populer. Khun Thomas, seorang aktivis etnis Karenni mengaku khawatir kalau ide mengangkat senjata hanya akan memperburuk situasi. Dia menyerukan agar perlawanan tanpa kekerasan tetap dilanjutkan. Tetapi pandangan seperti ini semakin terpinggirkan terutama sejak 27 Maret 2021, ketika junta menewaskan sedikitnya 117 orang dalam satu hari.

Selain persatuan etnis, sekat agama juga meluruh dalam semangat melawan junta. Di Myanmar, etnis Bamar yang mayoritas pun kadang tersekat lagi dengan perbedaan agama seperti yang Muslim dengan yang Budha.

Mengutip BBC, Khin seorang Bamar Muslim mengatakan selama ini antara Bamar Muslim dengan Buddha membenci satu sama lain. Hampir semua masalah yang timbul dikaitkan dengan agama. “Namun kini kami semua bersaudara, semuanya satu keluarga,” kata Khin.

Penuturan Khin dikukuhkan oleh June Khine. Perempuan penganut Buddha itu mengakui meskipun kudeta membawa banyak kemunduran, peristiwa tersebut juga telah menyatukan berbagai etnis dan agama serta memberi ruang untuk saling memahami.

“Sebelumnya etnis-etnis minoritas kesulitan bertahan hidup ketika militer menyasar mereka, ketika terjadi perang saudara terus menerus di daerah mereka. Sekarang kami mulai memahami bagaimana rasanya hidup setiap hari di bawah penumpasan dengan kekerasan dan pembunuhan. Kami mulai bersimpati dan menyampaikan permintaan maaf yang sudah lama terlambat kepada mereka. Dan mereka menerima kami,” kata June.

Optmistis

Sementara itu, etnografer Khin Sandar Nyuntt optimistis pergolakan nasional dapat menjadi sebab rekonsiliasi etnis dan perubahan politik yang langgeng. “Suatu hari, kami akan benar-benar mengalahkan junta militer. Ini akan menjadi masa depan politik yang benar-benar baru,” kata dia.

Seorang pekerja PBB di Myanmar juga melihat hari-hari yang lebih cerah untuk Myanmar di masa depan. “Sesekali, saya mendapati diri saya tersenyum karena setelah ini selesai, kita sebenarnya bisa membangun kembali bangsa yang lebih sadar sosial,” katanya.

Dia menambahkan: “Saat kita memenangkan revolusi, kita akan memiliki bangsa yang benar-benar demokratis secara federal.”

Share: ​Brutalnya Junta Bikin Perang Saudara di Myanmar Makin Mengemuka