Isu Terkini

Nasib Pahlawan Devisa: Pulang ke Indonesia, Berhadapan dengan Mafia Karantina

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/M N Kanwa/foc

Belum lama ini viral video yang menampilkan situasi antrian panjang para penumpang di Bandara Soekarno Hatta. Diketahui, mereka mengantri untuk mendapatkan tempat karantina kesehatan setelah berpulang dari luar negeri.

Video tersebut direkam oleh seorang perempuan. Dalam rekamannya, perempuan itu mengungkapkan bahwa sebagian penumpang yang antri adalah pekerja migran.

Selain itu, banyak calo yang berupaya menawarkan karantina kesehatan di hotel. Namun, calo tersebut mematok harga karantina untuk satu penumpang pesawat hingga mencapai Rp19 juta.

Sontak, perempuan itu terkejut dengan tarif harga yang sangat mahal. Dugaan adanya mafia karantina yang menyasar para Pekerja Migran Indonesia (PMI) pun muncul pasca kejadian tersebut.

Migrant Care menerima laporan dari sejumlah PMI mengenai hal tersebut beberapa waktu lalu. Menurut Migrant Care, aksi mafia karantina terhadap pahlawan devisa ini bukan hal yang baru terjadi.

Fenomena Gunung Es

Berdasarkan informasi dari Migrant Care, seorang PMI yang beberapa waktu lalu pulang ke Indonesia dari Hong Kong, dimintai uang sebanyak Rp4 juta agar tidak dikarantina. Bahkan, orang tersebut sempat dibawa ke Wisma Atlet, tetapi tidak melakukan karantina di sana.

Lebih parahnya, paspor PMI ditahan oleh petugas. Hingga pada akhirnya Migrant Care datang untuk meminta kembali paspor tersebut.

Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, sebenarnya ini kasus yang kerap terjadi di lingkup kebijakan karantina. Terutama, ia menyoroti kasus mafia karantina yang terjadi pada selebgram Rachel Vennya beberapa waktu lalu.

“Jadi, kita menduga sudah cukup lama karena kasusnya selebgram (Rachel Vennya) hanya fenomena gunung es. Nah, kita mendapat laporan dari para pekerja migran yang pulang dari bandara bahkan mereka telah didata dan sempat ke wisma atlet. Namun, mereka kembali ditawarkan pilihan untuk tidak karantina, tetapi bayar dengan sejumlah uang,” kata Anis kepada Asumsi.co, Kamis (23/12/21).

Selain ditawarkan tidak dikarantina, Anis juga mengungkap PMI diberikan kemudahan transportasi langsung menuju daerah asalnya masing-masing. Anis mengklaim sebenarnya banyak sekali dari mereka yang tenggelam dalam rayuan mafia karantina.

Korban Takut Dikriminalisasi 

Namun, beberapa dari mereka tidak mau melapor atau buka suara karena takut korbannya dikriminalisasi seperti Rachel. Oleh karena itu, mereka yang melapor hanya mengungkap masalah yang dialami. 

Menurutnya, aksi pungutan liar ini sudah masuk dalam kategori praktik koruptif. Bahkan, ia tidak peduli jumlah nominal yang ‘dipalak’ bakal tetap dilabeli sebagai tindakan korupsi. 

“Pungli itu bukan soal nominalnya, mau Rp100 ribu, Rp5 juta, dan lain-lain tetap prinsip praktik koruptifnya harus dievaluasi oleh satuan tugas (Satgas) atau kementerian terkait. Jika, tidak ditindak tegas praktik tersebut akan menjadi tradisi. Apalagi, bila sudah merambat ke lembaga yang tidak formal akan berbahaya sekali,” tegasnya.

Anis menilai kebiasaan buruk tersebut akan terulang kalau selalu ditoleransi berdasarkan besar atau kecilnya jumlah nominal aksi pungli tersebut. Anis menambahkan mereka tidak peduli nominalnya dan segera meminta pihak berwenang untuk mengambil tindakan hukum. 

“Video yang viral soal teman-teman pekerja migran yang bertumpuk di bandara beberapa waktu lalu, sebenarnya bisa dijadikan momentum oleh satgas untuk segera mengevaluasi aksi mafia karantina ini,” pungkas Anis.

Mengenali Pekerja Migran

Menurut Anis, para aparat keamanan melakukan aksi pungli karena mengenal jenis para pekerja migran yang baru pulang. Apalagi, menurutnya, tidak hanya pekerja migran, tetapi di luar kelompok itu aparat keamanan juga melakukan aksinya.

Selain dievaluasi, Anis menyarankan untuk menginvestigasi kasus tersebut. Ia menyayangkan nasib para PMI yang mengalami pungli. Menurutnya, mereka akan rugi secara sosial dan finansial.

Dari kasus ini, Anis mengungkap pihaknya tengah mengambil tindakan melalui pertemuan secara stakeholder untuk mengevaluasi tata kelola penanganan COVID-19.

Ia mengatakan tidak hanya di kategori karantina, tetapi dampak sosial pekerja migran dan penanganan pasca karantina karena dulu sempat ada yang diminta uang transport dengan tambahan biaya.

Menurutnya, faktor yang menyebabkan kasus ini terjadi akibat watak koruptif pelaku, birokrasinya memungkinkan, dan bentuk diskriminasi terhadap layanan bagi pekerja migran.

Anis menyarankan para pekerja migran untuk menghindari aksi ini terjadi lagi dengan mengetahui potensi pungli, mengenal titik lokasi yang rawan pungli, dan bila tidak mendapat layanan yang tidak manusiawi segera melapor.

Harus Dipecat

Secara terpisah, Pengamat Hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fikar Hadjar menilai aksi ini terjadi karena penyalahgunaan kewenangan oleh aparat keamanan di bandara tersebut. 

“Kalau mereka masuk kategori pegawai negeri sudah dianggap korupsi, sehingga oknum pelaku pemerasan ini harus segera dipecat,” tegas Abdul kepada Asumsi.co, Kamis (23/12/21).

Abdul menyarankan pihak Migrant Care segera melapor ke pihak berwajib, karena kejadiannya juga semakin marak terjadi di lingkup lembaga tersebut.

Menurutnya, ada dua hal yang menyebabkan aksi terjadi. Pertama, sistemik yang memberikan kesempatan pada orang untuk mengawasi dan menekan orang lain.

“Sistemik dalam organisasi dan mekanisme komunikasi, yang mereka manfaatkan untuk memeras atau memaksa orang lain untuk memberi biaya tambahan,” pungkasnya.

Kedua, pelaku memang cenderung memiliki sikap yang seringkali melakukan pungli. Oleh karena itu, Abdul menilai poin kedua ini telah menjadi bukti kuat untuk tidak menempatkan pelaku di berbagai jabatan. 

Baca Juga

Perpanjangan Masa Karantina Tunjang Industri Pariwisata

Viral Paket Karantina Rp19 Juta, Satgas: Yang Protes Seharusnya Malu

Sepanjang 2017-2020, Ada 816 Kasus Perdagangan Manusia

Share: Nasib Pahlawan Devisa: Pulang ke Indonesia, Berhadapan dengan Mafia Karantina