General

Urgensi Pemprov Jabar Bentuk Dewan Pengawas Pesantren

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi/ANTARA

Pemerintah Provinsi Jawa Barat bakal membentuk Dewan Pengawas Pesantren untuk mengawasi aktivitas di lembaga pendidikan keagamaan tersebut, menyusul terungkapnya kasus pencabulan oleh guru sekaligus pimpinan pondok pesantren Tahfiz Al-Ikhlas, Kota Bandung. 

Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum mengatakan akan membentuk Dewan Pengawas Pesantren dengan keanggotaan melibatkan banyak pihak meliputi Kementerian Agama, kiai, hingga ormas Islam.

“Dewan Pengawas Pesantren akan dibentuk menggunakan anggaran APBD Provinsi sebagai wujud komitmen Pemda Provinsi Jabar. kami akan membuat DPP yang tergabung dalam Majelis Masyayikh,” ucap Uu, dikutip Antara.

Bentuk Tim Layak Santri

Uu menyebutkan, kehadiran dewan pengawas ini demi kebaikan bersama. Selain itu, juga bakal menghadirkan Tim Layak Santri guna memastikan sarana dan prasarana pesantren yang layak dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.

“Karena tidak menutup kemungkinan, kalau sarana dan prasarana tidak layak, maka takut ada hal-hal negatif dari kejadian-kejadian yang sudah-sudah,” imbuh kepala daerah yang juga menjabat sebagai Panglima Santri Jabar ini.

Ia menuturkan, rencana strategis ini akan dibahas dan diputuskan bersama perwakilan dari setiap kabupaten/kota di Jawa Barat. Adapun rapat pembahasan dan keputusan rencana strategis ini akan dijadwalkan pada Rabu (15/12/2021) besok di Gedung Sate, Kota Bandung.

“Kami akan mengundang utusan dari 27 kota/kabupaten di Jabar ke Gedung Sate untuk membicarakan masalah ini, sehingga kami tidak membuat keputusan sendiri. Ini hasil kebersamaan dan kesepakatan dengan para kiai, termasuk di dalamnya kolaborasi dengan Kementerian Agama dan MUI Provinsi Jabar,” jelasnya.

Lebih lanjut, Uu meminta para orang tua yang anaknya menjadi santri di berbagai pondok pesantren tidak terbawa stigma negatif akibat kasus pemerkosaan santriwati di Kota Bandung.

Rekomendasi Pimpinan Ponpes

Uu memastikan, keberlangsungan aktivitas santriwan dan santriwati di ponpes di Jabar dilakukan secara terpisah dan terbatas, sehingga moral dan etika para santri tetap terjaga.

“Insya Allah ponpes di Jabar yang berjumlah 1.500 dan jumlah santri sekitar 4,8 juta aman, terkendali. Orang tua jangan takut memasukkan anaknya ke ponpes. Yang (anaknya) sudah (masuk ponpes) pun, jangan merasa gerah,” tandasnya.

Pemprov Jawa Barat, kata dia juga akan terus mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah terjadinya kasus asusila di lingkungan keagamaan di masa mendatang, dengan melakukan pengawasan ekstra ketat.

Ia juga menegaskan, siapa pun pihak yang akan mendirikan pesantren ataupun ingin menjadi pimpinannya mesti mendapatkan rekomendasi dari MUI, ormas Islam dan kiai setempat yang dianggap ahli agama.

“Nanti akan dites, dilihat, apakah seseorang ini benar atau tidak memahami ilmu agama, bisa atau tidak hukum-hukum agama dan membaca kitab kuning,” tandasnya.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan pihaknya siap untuk terlibat di dalam dewan pengawas yang digagas Pemprov Jabar.

“Tentu nanti ulama dari MUI bersedia dilibatkan itu nanti melalui Bidang Pendidikan dan Kaderisasi yang ada di struktur,” ucap Anwar melalui pesan singkat kepada Asumsi.co, Selasa (14/12/2021).

Dinilai Reaktif

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Padjajaran (Unpad), Yogi Suprayogi Sugandi mempertanyakan urgensi langkah Pemprov Jabar untuk membentuk Dewan Pengawas Pesantren.

Menurutnya, keputusan ini merupakan sikap yang terlalu reaktif. Alih-alih sampai membuat dewan pengawas, ia menyarankan sebaiknya lebih menekankan pada pengetatan perizinan berdirinya pesantren sebagai institusi pendidikan.

“Menurut saya, ini terlalu reaksioner. Sebaiknya proses akreditasi pesantrennya saja yang diperketat. Kayak di perguruan tinggi kan, kalau  kampusnya abal-abal bisa dibubarin sama Ditjen Dikti. Nah, ini juga mestinya dilakukan untuk pesantren,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Oleh sebab itu, menurutnya Kementerian Agama penting untuk lebih selektif memberikan izin kepada pesantren baru. Dengan demikian, ia mengharapkan tidak ada lagi kemunculan pesantren bodong di negeri ini.

“Jadi, dilakukan identifikasi norma-norma pesantrennya seperti apa. Kalau memang kelihatan pesantrennya ini ngaku-ngaku doang, bisa tidak diberikan izin beroperasi sebagai pesantren statusnya oleh Ditjen Pendidikan Islam,” imbuhnya.

Di samping itu, Yogi juga mengharapkan agar setiap pesantren mulai menjadikan pendidikan seks dan anti kekerasan sebagai bagian dari kurikulum pengajarannya. Materi pendidikannya, kata dia tentu bisa dilebur dengan kajian-kajian agama.

“Saya setuju perlu ada pencegahan kekerasan seksual lebih maksimal dengan mengajarkannya ke peserta didik atau santri, tapi pertanyaannya ada enggak itu di kurikulum pesantren? Jadi harus ada dulu di kurikulumnya supaya bisa diajarkan dalam bentuk materi pelajaran,” tandasnya. (zal)


Baca Juga:

Share: Urgensi Pemprov Jabar Bentuk Dewan Pengawas Pesantren