Kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan institusi pendidikan kian menjadi perhatian publik. Bak bola salju yang bergelinding dan berkembang makin besar, satu persatu kasus mulai terungkap dan ternyata menjadi persoalan serius di dunia pendidikan tanah air.
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang tidak hanya terjadi di sekolah dan universitas melainkan juga institusi pendidikan keagamaan, memicu kekhawatiran lembaga pendidikan tak lagi menjadi tempat yang aman dari aksi kejahatan.
Mulai Terkuak
Perlindungan lembaga pendidikan terhadap para pelajar dari ancaman kekerasan seksual pun dipertanyakan. Deretan kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini mulai terkuak ke publik.
Yang paling menggegerkan, kasus pencabulan oleh guru sekaligus pimpinan pondok pesantren Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Kota Bandung.
Terdakwa pemerkosaan, Herry Wirawan (HW) alias Heri bin Dede itu kini telah diamankan dan mendekam di Rutan Kebonwaru Bandung. Pelaku mencabuli belasan santriwatinya. Setidaknya, sudah ada sembilan bayi yang dilahirkan korban. HW juga mengeksploitasi para korban, hingga memaksa mereka menjadi kuli bangunan.
Selain itu, dalam sepekan terakhir berita terkait pelecehan dan kekerasan seksual juga ramai menjadi headline pemberitaan sejumlah media nasional. Di Palembang, dua dosen Universitas Sriwijaya ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual.
Pelecehan secara verbal juga menjadi permasalahan di salah satu perguruan tinggi di ibukota Jakarta, Universitas Negeri Jakarta. Seorang dosen melakukan sexting, alias pelecehan melalui aplikasi percapakan pesan WhatssApp. 10 orang korban mengaku pernah menjadi korban dari dosen berinisial DA, dan sebagian besar merupakan alumni.
Mundur ke belakang, ada pula kasus mahasiswi Universitas Riau yang mengaku mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbingnya. Pelecehan seksual terjadi saat korban dan pelaku tengah menjalankan bimbingan skripsi di area kampus.
Fenomena Gunung Es
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi pun mengaku gerah dengan terungkapnya berbagai kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan saat ini, terutama yang menyeret banyak perempuan sebagai korbannya.
Ia mengatakan, sejak tahun 2014 Komnas Perempuan terus mengusulkan perlunya payung hukum yang tegas untuk menangani kasus kekerasan seksual agar tidak menjadi fenomena gunung es yang terungkap banyak kasusnya, seperti sekarang.
“Memang menurut kami, sudah teridentifikasi bahwa tidak ada lagi ruang yang aman bagi perempuan. Entah itu di lembaga pendidikan formal, maupun lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Semua jenjang pendidikan dari tingkat PAUD sampai universitas kekerasan seksual atau fisik itu banyak terjadi,” ujarnya kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Senin (13/12/2021).
Ia menuturkan, peristiwa kekerasan hingga pencabulan terjadi mulai dari yang dilakukan oleh relasi guru dan murid, dosen dan mahasiswa, ustad dan santri maupun santriwati, hingga antar kolega seperti sesama mahasiswa atau rekan kerja di institusi pendidikan tersebut memang terjadi sejak lama.
“Sudah banyak kejadiannya sejak dulu dan kami selalu sampaikan kalau kondisi kasus kekerasan seksual itu sudah darurat dan membuat gerah. Sudah menjadi kebutuhan kita untuk sama-sama dicegah, ditangani, dan membantu korban untuk pulih. Sekarang bermunculan secara berderetan, betul ini adalah puncak gunung esnya,” tuturnya.
Ia mengingatkan, negara tidak boleh abai dan menganggapnya tidak penting situasi darurat kekerasan seksual yang kian marak terjadi di tengah masyarakat saat ini. Kondisi tersebut, lanjut dia semestinya disadari pemerintah sebagai pukulan keras perlunya untuk segera merampungkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
“Sebenarnya secara tidak langsung masyarakat mempertanyakan mengapa RUU PPKS itu tidak segera dibahas? Perjalanannya ibaratnya dengan air mata, berbeda dengan RUU yang tidak ada kaitannya dengan perempuan yang malah cepat dibahas. RUU PKS dibutuhkan supaya segera disahkan. Ini kan, terkesan menutupi kepentingan korban kalau terus-terusan tidak dibahas,” imbuhnya.
Perketat Rekrutmen Tenaga Pengajar
Siti Aminah Tardi menekankan, setiap lembaga pendidikan memiliki kewajiban untuk melakukan pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban dalam menghadapi aksi kekerasan maupun pelecehan seksual. Menurutnya, selama ini tidak adanya mekanisme ketiga hal tadi membuat lembaga pendidikan jadi kebingungan dan terkesan melarikan diri dari tanggung jawabnya, saat terjadi kasus tersebut.
“Sekolah atau institusi pendidikan harus memiliki semacam mekanisme entah namanya panduan, standar operasional prosedur, SOP atau apapun itu untuk pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. Termasuk di dalamnya, siapa yang akan bertugas serta bagaimana memperbaiki cara pandang terkait kekerasan seksual,” tegasnya.
Langkah pencegahan, kata dia misalnya bisa dilakukan dalam konteks infrastruktur. Ia mencontohkan, penting bagi institusi pendidikan untuk memahami lokasi-lokasi di sekolah, kampus, atau pesantren yang berpotensi menjadi tempat terjadinya kekerasan, perundungan, hingga perbuatan cabul.
“Seperti kamar mandi, kondisinya baik harus dan dipastikan tidak menjadi tempat untuk saling mengintip. Kemudian kasus yang di universitas itu kan, terjadi saat bimbingan skripsi. Maka dalam pencegahan dari segi infrastruktur, perlu diperhatikan kalau ada mahasiswa atau mahasiswinya skripsi itu dilakukan di ruangan yang berkaca atau terbuka,” jelasnya.
Sementara itu, dalam konteks pencegahan menurutnya penting bagi pihak institusi pendidikan menggaungkan edukasi tentang kekerasan seksual. Hal ini bisa disampaikan saat mahasiswa melakukan orientasi kemahasiswaan atau santri saat diperkenalkan lingkungan pendidikannya.
Dengan demikian, ia meyakini secara tidak langsung siapa pun yang menjadi warga di lingkungan institusi pendidikan tersebut maka akan tertanam kalau mereka tidak boleh melakukan kekerasan.
Pencegahan, lanjut Aminah juga bisa dilakukan dengan rutin menggelar bimbingan konseling atau dibuat tim pengawasan. Selain itu, ia juga menilai penting adanya proses rekrutmen tenaga pengajar secara ketat, bukan hanya dari segi usia melainkan juga memperhatikan rekam jejak kehidupan sehari-harinya.
“Dalam proses rekrutmen guru dan dosen sedapat mungkin harus mengenali potensi orang itu melakukan kekerasan seksual atau tidak. Bisa di-tracking dari rekam jejaknya. Perlu juga penanganan serius, misalnya dengan tidak lagi menutupi, memberhentikan korban dari sekolah, atau sampai menikahkan korban dan pelakunya. Maka perlu ada panduan, dalam artian bila ada kasus maka pihak sekolah mesti berpihak kepada korban,” jelasnya.
Pentingnya Pendidikan Seks
Pengamat pendidikan sekaligus Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis, Indra Charismiadji menimpali perlunya membekali para peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menghadapi orang-orang yang berpotensi melakikan kejahatan terhadap mereka.
Ia juga menyoroti Peraturan Mendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang tidak bisa efektif jika pendekatannya lebih menekankan pada penegakkan aturan.
Menurutnya, pendidiakn seks yang mestinya juga dimasukkan ke dalam aturan ini, misalnya dengan mendidik peserta didik supaya tidak boleh sembarang orang menyentuhnya dan memegang anggota tubuh yang terlarang.
“Ini harus dibiasakan. Pendidikan seks juga penting diajarkan di berbagai jenis lembaga pendidikan, apapun bentuknya. Kasus yang di Bandung ini kan, sampai santrinya melahirkan dan selama ini diam saja. Ini memprihatinkan,” ucapnya saat dihubungi terpisah.
Indra menambahkan, penting juga merubah persepsi masyarakat yang selama ini menganggap guru seperti Tuhan dan tidak akan berbuat buruk kepada murid-muridnya.
“Guru itu tetap manusia, tugas mereka menjadi fasilitator bukan sumber informasi dan segala-galanya. Jadi mulai sekarang, kita tetap harus waspada dan berhati-hati karena guru bisa saja berbuat jahat,” ucapnya. (zal)
Baca Juga: