Kesehatan

Mengenal Fenomena Duck Syndrome, Bahaya Atau Tidak?

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
Teaching Commons Stanford

Melihat orang yang begitu dengan mudahnya meraih kesuksesan adalah hal yang menakjubkan. Misalnya, sukses dalam pekerjaan dan pendidikan. Sementara, kita ingin sekali meraih hal itu dengan mudah, namun sulit, layaknya melewati jalanan yang penuh kerikil.

Faktanya, di balik kesuksesan tersebut terdapat sisi gelap yang mereka tutupi. Misalnya, kita tidak tahu sejauh mana mereka tertekan untuk meraih kesuksesan tersebut.

Perlu ditelisik lebih lanjut, siapa sangka kalau mereka mengalami fase duck syndrome. Istilah itu muncul karena berasal dari kisah seekor bebek yang dapat terlihat tenang dan santun saat meluncur di permukaan air, namun mengayuh dengan panik tepat di bawah permukaan untuk tetap mengapung.

Beberapa orang mengalami perasaan ini. Mereka mungkin tampak tenang melalui hidup dan dengan mudah memenuhi tuntutan mereka, tetapi pada kenyataannya, mereka dengan panik berusaha untuk tetap mengikuti alur tersebut dan bertahan.

Melansir Medicine Net, duck syndrome bukan masalah kesehatan mental secara formal. Duck syndrome sering disebut juga dengan Stanford Duck Syndrome. Istilah tersebut diduga muncul di Stanford University.

Duck syndrome digunakan untuk menggambarkan mahasiswa di universitas. Mereka meluncur dengan mudah, namun panik dan berusaha memenuhi tuntutan hidup. Kerap kali mereka mungkin memberi tekanan pada diri sendiri untuk berhasil atau merasa bahwa mereka harus memenuhi harapan yang tinggi.

Duck syndrome merupakan istilah yang mengacu pada sebuah perilaku di mana seseorang sebenarnya sedang dirundung banyak masalah, tapi tetap tampak baik-baik saja dari luar.

Gejala Duck Syndrome

Meskipun duck syndrome bukanlah istilah secara formal, namun ada gejala yang mungkin dirasakan orang ketika mereka mengalami stres yang luar biasa, tetapi coba untuk memasang “wajah pemberani”. Terutama mereka ingin terlihat seperti menganggap segalanya sempurna dan mudah dijalani.

Gejala duck syndrome, yakni sering kewalahan atau sesuatu yang berputar di luar kendali, sulit menenangkan pikiran, merasa buruk tentang diri sendiri, kesepian, membandingkan diri sendiri dengan orang lain, gugup, sulit tidur, tegang pada otot, mual, mulut kering, mudah khawatir, pelupa, selalu ingin berkompetisi, sulit fokus, nafsu makan kurang, selalu menunda-nunda, dan gelisah.

Penyebab Duck Syndrome

Kondisi mental seperti ini punya indikator penyebabnya, tapi sulit melihat dari sisi kehidupan sehari-hari. Namun, terdapat faktor indikator lainnya, seperti terhadap mahasiswa.

Penyebabnya beragam, yakni transisi dari kehidupan sehari-hari ke kehidupan kampus sangat sulit. Hal ini disebabkan mereka perlu belajar untuk hidup jauh dari keluarganya, serta untuk pertama kalinya mereka mengalami tuntutan yang meningkat secara signifikan dari perubahan akademik, ekstrakurikuler, dan sosial.

Media sosial juga dapat berperan jika mereka melihat konten yang mengarah pada kesuksesan orang lain dan muncul perasaan kalau kehidupan orang lain lebih sempurna dan mudah. Selain itu, lingkungan keluarga yang menuntut untuk mereka memiliki prestasi sempurna dan menempatkan tuntutan yang tidak masuk akal pada mereka. Lebih lanjut, lingkungan yang kompetitif dapat memicu perasaan stres atau kewalahan.

Selain faktor depresi dan kecemasan yang dijelaskan sebelumnya, kontributor potensial lainnya untuk kondisi ini termasuk kemiskinan, paparan kekerasan masyarakat, isolasi sosial, konflik orang tua, perceraian, dan penyebab lain dari gangguan keluarga.

Anak-anak yang memiliki aktivitas fisik terbatas, prestasi sekolah yang buruk, atau kehilangan hubungan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi, kecemasan, dan juga mengembangkan gejala duck syndrome.

Tak Dapat Didiagnosis, Tapi Bisa Ditangani

Faktanya, tidak ada kriteria resmi untuk mendiagnosis yang dianggap sebagai duck syndrome. Namun, terdapat penanganan secara efektif untuk kondisi kesehatan mental. Misalnya, kecemasan dan depresi.

Secara biologis, depresi, kecemasan, dan sejenisnya mungkin disebut duck syndrome. Gejala ini dapat dikaitkan dengan tingkat neurotransmiter yang tidak normal di otak, ukuran beberapa area otak yang lebih kecil, dan peningkatan aktivitas di bagian otak lainnya.

Melansir Mayo Clinic, pengidap duck syndrome perlu mengunjungi dokter apabila memiliki gejala cemas, depresi, atau masalah kesehatan mental lainnya. Tanda-tanda kalau mengidap anxiety atau cemas, yakni mereka sangat khawatir dan mengganggu hubungan, sekolah, pekerjaan, atau bidang kehidupan lainnya.

Sementara itu, tanda-tanda depresi termasuk saat sedih atau putus asa, kehilangan minat dalam kegiatan yang menyenangkan, gangguan tidur, kesulitan berpikir atau berkonsentrasi, perasaan tidak berharga, bersalah, gagal, perubahan nafsu makan atau berat badan yang signifikan, atau pemikiran bunuh diri.

Selain itu, duck syndrome memang tidak memiliki perawatan khusus. Namun, ada perawatan dan strategi yang sangat efektif untuk mengatasi stres, manajemen waktu, tanggung jawab, kecemasan, dan depresi.

Langkah pertama, dengan mendekati masalah daripada menghindarinya. Jadi, alih-alih terus “mendayung mati-matian di bawah permukaan,” mengakui masalah, dan mencari dukungan.

Namun, mereka dapat melakukan konseling dengan konselor kesehatan mental berlisensi, dokter anak, penyedia layanan prime, spesialis yang merawat pasien untuk masalah medis, dokter gawat darurat, psikiater, psikolog, perawat psikiatri, praktisi perawat, asisten dokter, dan pekerja sosial. 

Melansir Alodokter, orang mengalami duck syndrome beresiko tinggi mengalami masalah psikologis. Tidak hanya orang-orang secara general, namun juga mahasiswa. Sehingga, apabila mengalami hal itu segera cari pertolongan.

Mereka perlu melakukan konseling dengan pembimbing akademik atau konselor di sekolah atau kampus, telisik kembali kapasitas diri sendiri supaya dapat bekerja sesuai kemampuan, belajar mencintai diri sendiri, jalani gaya hidup sehat, segera meluangkan waktu untuk diri sendiri dengan relaksasi, ubah pola pikir mengarah ke yang lebih positif, berhenti membanding-bandingkan diri sendiri ke orang lain, dan jauhi media sosial dalam beberapa waktu ke depan.

Baca Juga

Share: Mengenal Fenomena Duck Syndrome, Bahaya Atau Tidak?