General

Mengurai Masalah Premanisme Berkedok Organisasi Masyarakat

Irfan — Asumsi.co

featured image
ANTARA/HO

Aksi premanisme yang dilakukan secara berkelompok saat ini masih terus terjadi. Bahkan kelompok ini seringkali berkedok organisasi masyarakat. Seringkali premanisme ini pun menimbulkan konflik antar-kelompok.

Situasi ini sebetulnya bukan barangbaru. Kelompok preman melintang zaman sejak era kolonial Belanda hingga reformasi. Mereka ada bukan tanpa sebab.

Diburu dan Dimanfaatkan

Dalam sejarahnya, kelompok preman berdiri di banyak sisi. Selama perang kemerdekaan misalnya, ada di antara mereka yang memihak kolonial, namun ada pula yang berjuang bersama republik. Pada tahun 1946, sejumlah preman yang ditahan dibebaskan untuk ikut berjuang bersama gerakan republik.

Pada masa Orde Baru, predikat preman identik dengan cap negatif. Mereka sering diasosiasikan sebagai dalang dari aksi kejahatan. Sorotan utamanya adalah aksi premanisme di Medan pada 1980-an yang meresahkan masyarakat. Pemerintah Orde Baru bahkan sempat melakukan tindakan represif dengan operasi yang sering dikenal sebagai Penembakan Misterius (petrus).

Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pada 2012 merilis laporan atas insiden petrus yang dilakukan institusi keamanan terhadap orang yang dikategorikan sebagai preman. Dalam data tersebut, jumlah korban meninggal akibat penembakan yang berlangsung pada rentang waktu 1982-1985 adalah 167 orang.

Namun, di tengah konotasi negatif, preman juga sering menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam konteks sosial dan politik. Salah satunya menjaga tertib sosial di tengah-tengah masyarakat.

Harian Kompas menyebut pada tahun 1984, misalnya, preman di Kota Medan, Sumatera Utara, bertugas untuk mengawal masyarakat agar patuh terhadap kebijakan parkir dari pemerintah. Para preman ini bekerja dengan memungut uang parkir untuk disetorkan kepada para pemborong. Uang setoran kemudian kembali disalurkan pemerintah setempat.

Hingga saat ini aksi premanisme masih saja tejadi. Terkadang mereka masuk dalam ujud organisasi masyarakat atau ormas.

Faktor Ekonomi

Sosiolog Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis kepada Asumsi.co mengatakan bahwa akar masalah dari masih maraknya premanisme adalah karena praktik kekerasan memang tidak pernah diatur dengan benar dalam norma hukum yang ada.

Menurut Rissalwan, benar bahwa norma hukumnya ada, tapi penegakan hukumnya terkendala pada interpretasi hukum.

“Apalagi seringkali hukum berpihak pada kelompok penguasa. Akibatnya kelompok yang ‘merasa berkuasa’ tetap merasa bahwa mereka bisa ‘mengatasi’ hukum yang berlaku,” kata Rissalwan.

Menurut dia, dari sisi fakta di lapangan, tidak dapat dimungkiri bahwa “gerombolan” yang kemudian diberi simbol-simbol ormas ini sebenarnya adalah “needy persons” atau orang yang memang memiliki kekurangan secara ekonomi. Dengan begitu, aksi yang mereka lakukan tak lepas dari adanya faktor ekonomi.

“Dengan bayaran sejumlah uang tertentu, mereka digerakkan untuk memenuhi keinginan ormas yang merasa berkuasa,” ucap dia.

Ia tidak memungkiri ada “double barrier problem” dalam pengentasan masalah ini. Di level atas, penegakan hukum sulit bisa mengendalikan ormas-ormas yang merasa berkuasa atau memang dilindungi oleh sebagian penguasa. Sementara di level bawah, selalu ada masyarakat yang bersedia menjadi martir.

“Karena bagaimana lagi, mereka butuh uang untuk menyambung hidup. Sementara pekerjaan yang ada adalah dari pekerjaan seperti ini,” ucap dia.

Untuk itu, Rissalwan menilai perlunya perbaikan instrumen hukum yang diikuti dengan penegakan hukum yang tegas. Menurut dia, supremasi hukum tidak boleh kalah oleh “permainan” politik yang memboncengi hukum dengan kepentingan kelompok berkuasa. Di sisi lain, populasi needy persons ini harus dikurangi.

“Lapangan kerja harus terbuka seluas-luasnya, sehingga tidak ada lagi pengangguran yang bisa dikerahkan atas nama ormas tertentu,” ucap dia.

Kesamaan Atribut Kultur

Sementara itu, Kriminolog UI, Bhakti Eko Nugroho dalam penelitian yang diterbitkan di The Conversation menyatakan motivasi seseorang terlibat dalam kelompok preman biasanya didasarkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Namun, mereka tak hanya bisa berada di posisi yang sama. Untuk maju, mereka harus menunjukan loyalitas.

Banyak ragam yang menentukan seseorang akan berada di kelompok preman mana. Ini kerap bersinggungan dengan atribut kultural seperti etnis, bahasa, dan kebiasaan. Secara teknis, kesamaan atribut-atribut kultur akan memudahkan dan mempercepat proses sosialisasi nilai-nilai di dalam kelompok.

“Di Indonesia, hubungan kultural antar-individu dalam kelompok kriminal membuat persoalan premanisme menjadi kian kompleks,” tulis Bhakti.

Menurut Bhakti, menyikapi persoalan preman tak bisa setengah-setengah. Kekeliruan dalam melihat akar persoalan premanisme akan menimbulkan bencana yang lebih besar dibanding premanisme itu sendiri. Selain itu, negara juga tidak boleh merespons premanisme dengan cara-cara preman.

Menurutnya, pemerintah perlu menanggulangi premanisme secara komprehensif dengan melihat masalah ini sebagai masalah kesejahteraan. Pemerintah harus memulai dari penyelenggaraan pendidikan yang merata dengan kualitas maksimal dan akses seluas-luasnya.

“Dengan demikian, anak-anak muda di seluruh Indonesia dapat menjangkau dan terlibat dalam proses pendidikan yang mengembangkan diri dan potensinya secara optimal,” tutur Bhakti.

Pemerintah juga perlu serius dalam menciptakan lapangan kerja yang terdistribusi secara merata. Hal seperti ini penting untuk menekan kemungkinan berkembangnya kelompok preman menjadi organisasi kriminal yang mapan.

“Mengabaikan persoalan laten ini artinya menciptakan iklim yang kondusif bagi kelompok-kelompok preman untuk tumbuh menjadi kelompok organized crime yang mapan,” pungkas Bhakti.

Baca Juga:

Share: Mengurai Masalah Premanisme Berkedok Organisasi Masyarakat