Pernyataan Wakapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono soal rencana pelibatan preman pasar untuk membantu pengawasan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 menuai kritik luas. Melibatkan preman dalam situasi krisis seperti hari-hari ini dinilai salah langkah dan berpotensi menimbulkan masalah.
“Kita juga berharap penegak disiplin internal di klaster pasar, di situ kan ada jeger-jeger-nya (preman) di pasar, kita jadikan penegak disiplin,” kata Gatot di Mako Polda Metro Jaya, Kamis (10/9). Gatot menilai, pelibatan ini akan efektif untuk mendisiplinkan masyarakat. “Contohnya, jika masyarakat tidak menggunakan masker nanti diajak, ‘Ayo pakai masker.’ Yang tidak jaga jarak, diperingatkan agar menjaga jarak,” katanya.
Menurut Gatot, polisi, Satpol PP, dan TNI tidak selalu bisa berjaga di pasar. Beda kondisinya dari para preman atau jeger yang setiap saat berada di pasar tradisional. “Jadi sifatnya tidak patroli tiap hari, mereka (preman) di sana ada 24 jam, nanti ada pimpinannya mengingatkan akhirnya timbul kesadaran kolektif saling mengingatkan,” kata Wakil Ketua Pelaksana II Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional itu.
Nantinya, lanjut Gatot, TNI dan Polri akan tetap memantau dan mengarahkan para preman tersebut agar tidak menyalahi aturan dan tetap mengedepankan cara-cara humanis.
Namun, rencana melibatkan preman pasar dalam pengawasan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 itu belakangan diklarifikasi Gatot. Menurutnya, yang benar adalah polisi ingin melibatkan pimpinan informal di suatu komunitas pasar tradisional untuk mengingatkan pentingnya menjalankan protokol kesehatan.
Gatot menjelaskan bahwa dalam setiap komunitas, termasuk di pasar, ada tokoh-tokoh yang dihormati. Mereka inilah, lanjut Gatot, yang bakal diajak polisi untuk membangun kesadaran kolektif tentang penerapan protokol kesehatan.
“Realitasnya di masyarakat kita, pasar tradisional itu tidak ada pimpinan (formal). Realitasnya ada yang menyebutnya sebagai kepala keamanan, mandor, atau jeger. Bukan kami merekrut preman,” kata Gatot dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Jakarta, Senin (14/9).
Menurut Gatot, tokoh-tokoh informal ini tidak berwenang untuk menerapkan sanksi-sanksi yang diatur dalam peraturan daerah atau peraturan kepala daerah. Dalam hal ini, Satpol PP-lah yang berhak menjalankannya.
Gatot menyebut jumlah personel polisi sangat terbatas. Karena itu keterlibatan tokoh-tokoh informal dalam satu komunitas diperlukan untuk memastikan protokol kesehatan dijalankan dengan benar. “Kalau kesadaran kolektif berbasis komunitas kita kerjakan bersama, percepatan memutus mata rantai COVID-19 bisa dilaksanakan,” ucapnya.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo mengkritik rencana Wakapolri Komjen Gatot melibatkan preman pasar untuk mengawasi disiplin warga dalam menerapkan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19. Menurutnya, lebih baik polisi menggandeng tokoh masyarakat.
Politikus yang akrab disapa Bamsoet itu mengatakan bahwa langkah melibatkan tokoh masyarakat dinilai lebih efektif guna mendongkrak kedisiplinan masyarakat. Apalagi, peran tokoh-tokoh tersebut memang dibutuhkan di kalangan masyarakat.
“Mendorong Polri sebaiknya menggandeng pimpinan PD Pasar Jaya, tokoh masyarakat dari berbagai kalangan, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh-tokoh organisasi masyarakat untuk mengawasi serta menyosialisasikan protokol kesehatan,” kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/9).
Bamsoet pun menyarankan agar Gatot mempertimbangkan dan menghitung secara cermat dampak dan ekses yang akan muncul jika preman pasar dilibatkan. Menurutnya, Gatot juga harus mempertimbangkan dampak psikologis bagi masyarakat secara luas, khususnya pedagang di pasar.
“Ini karena kehadiran preman dalam beberapa kesempatan justru memunculkan keresahan serta mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Mendorong Polri tetap objektif dan selalu terukur dalam setiap mengambil langkah dan kebijakan untuk melayani serta mengayomi masyarakat.”
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai penggunaan ormas dalam kamtibmas adalah kemunduran dalam pemolisian masyarakat. Dalam kepolisian modern, lanjutnya, pemolisian masyarakat juga dilakukan secara modern.
“Yakni menggunakan lembaga-lembaga formal yang bisa dipertanggungjawabkan tindakan maupun keberadaannya. Makanya security industry atau satpam menjadi pilar utamanya. Semangat ini yang didorong oleh ‘Bapak Satpam,’ alm. Jenderal Awaloedin Djamin,” kata Bambang saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (15/9).
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dibantu oleh: Kepolisian Khusus; Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Bambang menyebut mereka inilah yang melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Lalu, bentuk-bentuk pam swakarsa dalam UU 2/2002 itu ditindaklanjuti melalui Perkap 24/2007 tentang sistem manajemen pengamanan yang secara umum dikenal dengan satpam. Namun, Perkap 24/2007 tersebut dicabut dan akhirnya diganti dengan Perkap Nomor 4 Tahun 2020.
“Pam swakarsa ini adalah pengamanan swakarsa untuk internal sebuah lembaga atau perusahaan yangg dikelola sendiri. Dan dalam peraturan Kapolri tersebut sudah jelas adalah satpam,” ujarnya.
Bambang menilai semangat pemolisian masyarakat yang linier dengan upaya pemuliaan satpam, yang dikelola dengan formal melalui badan usaha jasa pengamanan, malah digembosi sendiri oleh kepolisian dengan rencana melibatkan ormas maupun preman pasar.
“Artinya penggunaan ormas sebagai kepanjangan kewenangan polisi dalam Kamtibmas itu jelas tak memiliki landasan hukum. Sekaligus kemunduran terhadap program pemolisian masyarakat. Hal ini akan jadi masalah bila ormas melakukan pelanggaran hukum atau terjadi konflik horizontal karena tidak ada aturan hukum yg menaunginya,” ucapnya.
Menurut Bambang, dengan menggunakan ormas, kepolisian malah seolah menghadap-hadapkan masyarakat dengan masyarakat. Sekaligus lepas tangan terhadap kondisi kamtibmas di era pandemi COVID-19 saat ini. Padahal, lanjutnya, semua orang tahu bahwa anggaran kepolisian saat ini sangat besar.
Lebih jauh lagi, Bambang melihat kondisi ini juga menunjukkan kalau kepolisian yang diberikan kewenangan negara, justru gagal mengelola rasa takut untuk mendisiplinkan masyarakat. Sampai akhirnya harus menghadap-hadapkan organisasi masyarakat vs masyarakat.
“Dalam konteks ini, pertanyaan ekstremnya (kalau radikal dilarang), apa gunanya anggaran besar untuk kepolisian dan apa gunanya ada kepolisian? Bila hal ini diteruskan, indikasinya, kepolisian negara sesuai amanat UU 2/2002 pelan-pelan berubah menjadi alat Negara Polisi (police state) yang mengarah pada totalitarianisme.”
Kondisi ini menurut Bambang jelas akan merusak demokrasi yang sudah dibangun dan tak sesuai dengan amanat reformasi. Ia menilai ada indikasi mengulang era orde baru, meski aktornya berubah.
“Bila di era orde baru aktornya adalah ABRI dengan TNI AD sebagai aktor utama, di era sekarang adalah kepolisian,” kata Bambang.
Sejak era Orde Baru hingga saat ini, organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan praktek kekerasan alias preman, selalu muncul dalam kancah perpolitikan Indonesia. Meski eksistensi preman muncul dengan pola hubungan yang berbeda, baik dengan penguasa ataupun rakyat.
Semasa Orde Baru, preman kerap digunakan sebagai alat untuk menegakkan ketertiban sosial versi negara, selain juga melanggengkan kekuasaan rezim. Misalnya saja terkait “kewenangan” yang dimiliki organisasi pemuda untuk mengintimidasi para pengkritik rezim dengan mengatasnamakan Pancasila.
Ian Douglas Wilson dalam buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru—yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Desember 2018 lalu—mengatakan bahwa hubungan antara kelompok preman dengan sejumlah partai politik, bahkan kepolisian, sudah menciptakan jejaring pengamanannya sendiri.
Wilson mengungkapkan bahwa pernah ada sosok mantan wakil kepala polisi Indonesia yang mengatakan kalau kelompok preman ini bisa bermanfaat. Namun, di sisi lain bisa jadi masalah juga. Dalam konteks ini, di era Orde Baru, rezim Soeharto sebagai sistem kekuasaan, dinilai memiliki hubungan atau relasi khusus dengan preman pada tingkat lokal, baik di tingkat kampung maupun organisasi.
Lebih lanjut, Wilson membeberkan bahwa demokratisasi pasca 1998 ternyata tidak serta merta mengakibatkan lenyapnya kelompok-kelompok preman di Indonesia. Menurutnya, demokratisasi malah mengubah pola relasi antara kelompok-kelompok kekerasan lokal dengan aparat negara. Kelompok preman ini malah beradaptasi dan mencari celah dalam situasi politik yang berubah.
Wilson menyebut ada kompleksitas di dalam hubungan-hubungan tersebut. Pertama, dulu preman harus berinduk ke negara. Sehingga menurutnya jadi tak mengherankan kalau kelompok seperti Pemuda Pancasila, memiliki tujuan membela NKRI, membela Pancasila dan sebagainya.
“Jadi mereka dianggap punya peran ideologis tapi juga peran di jalan untuk mengawasi, mengontrol unsur-unsur masyarakat, kekuatan sosial yang lain, yang mungkin dianggap mengancam negara,” kata Wilson yang meneliti dari periode 2004-2014 untuk buku Politik Jatah Preman, seperti dinukil dari ABC News, Rabu (16/9).
Menurut Wilson, pola-polanya berubah pasca Orde Baru. Jadi ada yang mulai mengatasnamakan bukan membela Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dan berinduk ke negara, tapi mereka punya identitas yang beda-beda. Ia menyebut ada kebangkitan ormas yang berinduk ke identitas.
Misalnya saja dengan kemunculan organisasi masyarakat Betawi, seperti FBR (Forum Betawi Rempug) dan Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi) di Jakarta. Dalam bukunya, Wilson juga membeberkan soal keberadaan Front Pembela Islam (FPI) yang muncul sekira tahun 1998/1999.
Saat itu, para pemimpin dan para pasukan FPI masih dirangkul oleh para pejabat tinggi dari TNI, dalam konteks Pamswakarsa. Wilson menyebut perwira TNI merangkul berbagai elemen masyarakat untuk menjadi pasukan untuk menghalangi gerakan mahasiswa, gerakan reformasi, dan bisa disebut gerakan yang mau perubahan secara struktural terhadap sistem kekuasaan di Indonesia.
Lalu saat Orde Baru tumbang, ormas-ormas tersebut merasa kehilangan kontrol sehingga harus mencari relasi-relasi baru. Misalnya saja FPI yang akhirnya menggunakan identitas Islam untuk melawan sekularisme yang mereka anggap sebagai ekses dari demokrasi. Sedangkan FBR, yang kemudian muncul di tahun 2001, memakai identitas budaya untuk mewakili komunitas Betawi.
“Jadi hubungan antara elite dengan ormas seperti FPI, FBR ada, tetapi ini sudah zaman demokrasi dan kontrol aparat kenegaraan atau figur elite politik tidak seperti sebelumnya.”
Wilson menyebut ormas-ormas bercorak kekerasan bisa menjalin hubungan untuk proyek politik tertentu, tapi mereka tak lagi dikontrol oleh siapapun. “Saya kira mereka adalah preman yang sudah bisa freelance, orang merdeka. Mereka freelancer dalam arti mereka bisa kerja untuk siapa saja asal sesuai dengan kepentingan mereka.”
Pada akhirnya, lemahnya penegakan hukum dan tak terpenuhinya kebutuhan dasar warga miskin dianggap sebagai faktor langgengnya preman politik. Rezim Orde Baru pun mewariskan sejumlah ormas yang dekat dengan negara dan kerap melakukan kekerasan.