Isu Terkini

Profesi Guru Tak Dihargai Karena Upah Tak Manusiawi

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/Rahmad

Di tengah peringatan Hari Guru Nasional setiap tanggal 25 November, masih banyak persoalan kekinian yang dihadapi para pahlawan tanpa tanda jasa ini. Masalah nasib dan kesejahteraan guru honorer serta tantangan keterampilan mengajar melalui teknologi digital menjadi isu yang perlu diperhatikan.

Sejarah Hari Guru Nasional

Hari guru nasional tak terlepas dengan berdirinya organisasi Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang hadir pada masa kolonial Belanda. Laman PGRI DKI mencatatkan, kehadiran PGHB bertujuan untuk menyejahterakan para guru pribumi.

Kala itu, organisasi yang didirikan pada tahun 1912 ini beranggotakan kepala sekolah, guru desa, guru bantu, dan pemilik sekolah di berbagai daerah tanah air. Mereka memiliki latar belakang pendidikan dan agama yang berbeda-beda.

Para anggota PGHB banyak bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua. Sejak berdiri, PGHB terus memperjuangkan nasib dan kesejahteraan seluruh anggotanya di masa kependudukan Belanda.

Hingga akhirnya, semangat kebangsaan dan perjuangan PGHB bangkit dan mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Para anggotanya tak hanya berjuang memperbaiki nasib dan kesetaraan hak dengan Belanda, mereka juga mengobarkan semangat kemerdekaan.

Pada tahun 1932 PGHB memutuskan mengubah namanya menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Pemerintah Belanda pun panik dengan semangat para guru yang menggunakan kata “Indonesia” di dalam organisasi mereka. Hal ini dinilai mencerminkan semangat nasionalisme yang tidak disenangi oleh Belanda.

Hingga di masa pendudukan Jepang segala Persatuan Guru Indonesia (PGI) dibekukan hingga mereka tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya.

Semangat kemerdekaan dan proklamasi 17 Agustus 1945 memicu diselenggarakannya Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 hingga 25 November 1945 di Surakarta. Mereka bersatu untuk kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui kongres inilah, disepakati didirikiannya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tanggal 25 November 1945. PGRI pun menyatakan janji setia mengabdi sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, dan independen.

Atas penghormatan terhadap perjuangan dan pengabdian para guru, di era Presiden Soeharto, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.

Kelayakan Upah

Walau Indonesia telah merdeka, para guru masih sering mendapat permasalahan klasik. Salah satunya terkait pengupahan.

Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyayangkan tata kelola guru Indonesia, khususnya pengupahan yang layak bagi para guru. Khususnya untuk para guru honorer yang saat ini pengupahannya masih jauh dari kata layak.

Padahal penting untuk menyejahterakan para guru, termasuk para honorer, mengingat perjuangan dan pengorbanan mereka demi mencerdaskan anak bangsa.

Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim mengatakan berdasarkan laporan jaringan P2G di daerah, hingga saat ini upah para guru honorer masih sangat rendah. Besarannya jauh di bawah upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten (UMK) buruh.

“Contoh UMK buruh di Kab Karawang Rp4,7 juta, sedangkan upah guru honorer SD Negeri di sana hanya Rp1,2 juta. Kemudian UMP Sumatera Barat Rp2,4 juta per bulan, namun upah guru honorer jenjang SD negeri di Kabupaten 50 Kota dan Kabupaten Tanah Datar sekitar Rp500 sampai Rp800 ribu per bulan,” jelasnya kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Kamis (25/11/2021).

Ia juga mengungkapkan upah guru honorer di Kabupaten Aceh Timur besarannya hanya Rp500 ribu per bulan, bahkan ada yang hanya sebesar Rp400 ribu.

“Di Kabupaten Ende, guru honorer di SMK negeri diupah Rp700 sampai Rp800 ribu per bulan. Di Kabupaten Blitar upah para guru besarannya Rp400 ribu untuk honorer baru, bagi yang sudah lama mengajar diupah Rp900 ribu. Jadi, besarannya tergantung lama mengabdi,” katanya.

Melanggar Undang-undang

Berdasarkan laporan yang diterima ini, maka P2G menyimpulkan rata-rata upah guru honorer di Indonesia berada bawah Rp1 juta per bulan, bahkan tak sampai Rp500 ribu.

“Sudah kecil, upah pun diberikan rapel mengikuti keluarnya BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Padahal mereka butuh makan dan pemenuhan kebutuhan pokok setiap hari. Jauh dari jamninan sejahtera. Upah bergantung kebijakan kepala sekolah dan jumlah murid atau rombongan belajar,” tuturnya.

Melihat kenyataan ini, Satriwan Salim menilai bahwa pemerintah Indoesia belum serius untuk mencapai tujuan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, fakta memperlihatkan bahwa negara belum menjalankan visi dan misi presiden dengan baik, yakni mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul.

“Variabel yang menentukan tercapainya SDM unggul adalah bagaimana pendidikan dikelola dengan baik. Pendidikan itu kata kuncinya guru. Bayangkan kalau gurunya upah standarnya di bawah buruh seperti ini, kita tidak bisa mengharapkan lebih untuk peningkatan kompetensi mereka,” ungkapnya.

Menurutnya, jika upah guru honorer dibiarkan rendah dan ditentukan besarannya oleh kepala sekolah serta pemerintah daerah dengan nominal semaunya, hal ini melanggar Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

“Di pasal 14 ayat 1 (a) itu kan, disebutkan kalau dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial,” tegasnya.

Tak Dihargai

Oleh sebab itu, P2G mendesak supaya pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai standar upah minimum nasional bagi guru non aparatur sipil negara (ASN).

Satriawan mengungkapkan, urgensi Perpres ini untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan seluruh kelompok guru, bukan cuma ASN melainkan juga guru honorer dan pengajar di sekolah-sekolah swasta.

Ia menyebut meski saat ini sudah ada guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang menjadi bagian dari ASN, namun belum mengakomodir keberadaan guru honorer yang hampir 1,5 juta orang.

“Seleksi guru PPPK baru menampung 173 ribu guru honorer dari formasi yang dibuka 506 ribu secara nasional,” ucapnya.

Ia mengingatkan, regulasi upah layak bagi guru penting demi penghormatan profesi sehingga mereka merasa memiliki harkat dan martabat di samping profesi lain.

“Juga mendorong anak-anak bangsa yang unggul dan berprestasi mau dan berminat menjadi guru. Kenyataannya profesi guru sekarang terkesan tak dihargai, tak bermartabat karena upahnya tidak manusiawi,” ungkapnya.

Kompetensi Digital

Satriawan Salim juga menyoroti tantangan keterampilan para guru untuk mengajar melalui teknologi digital dewasa ini. Akibat situasi pandemi COVID-19, ia menilai banyak guru yang menunjukkan semangat untuk meningkatkan kemampuan digital mereka.

Keinginan mereka meningkatkan kemampuan, lanjut dia semata mata untuk menghadirkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berkualitas, efektif, dan bermakna bagi para siswa.

“Tentu perlu diapresiasi semangat para guru mengikuti pelatihan online selama pandemi supaya skill mengajar mereka dengan memnafaatkan teknologi digital ini terbangun,” ujarnya.

Namun semangat ini, kata dia tidak dibarengi dengan jumlah pelatihan guru yang tersedia. Sehingga belum berdampak signifikan terhadap kualitas PJJ dan peningkatan keterampilan para guru cakap menggunakan teknologi.

“Akhirnya PJJ tidak efektif. Pelatihan guru selama pandemi hanya memindahkan pola mengajar offline yang didigitalisasikan. Akhirnya gaya dan metode pembelajaran dengan pandemi dan PJJ tidak ada bedanya,” terangnya.

Inovasi Dipertanyakan

Sekretaris Nasional P2G, Afdhal menimpali pentingnya peningkatan kompetensi guru usai mendapatkan sertifikat pendidik. Sebab, selama ini kepemilikan Sertifikat Pendidik guru seolah-olah dinilai sudah cukup dipandang sebagai puncak prestasi guru.

“Sementara upaya untuk meningkatkan kompetensi guru terbatas pada seminar, pelatihan, kompetisi dan lomba-lomba insidental. Bukan strategi yang komprehensif dan sistematis peningkatan skill mereka,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Menurutnya, guru yang sudah mendapatkan Sertifikat Pendidik tidak menjamin memiliki kompetensi yang diharapkan. Selain itu, pola pendidikan profesi guru (PPG) yang berjalan selama ini belum sesuai harapan.

Ia juga mempertanyakan inovasi pendidikan dan pelatihan guru yang ingin dilakukan pemerintah sejauh ini. Hal tersebut dinilai penting agar para guru bisa memiliki kompetensi digital yang berkualitas.

“Penyelenggaraan PPG di negara kita masih business as usual with more money. Rendahnya kompetensi guru Indonesia tak lepas dari pengelolaan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang gitu-gitu saja,” tandasnya.


Baca Juga:

Share: Profesi Guru Tak Dihargai Karena Upah Tak Manusiawi