Sudah empat pekan berlalu, banjir masih saja merendam Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Satgas penanganan bencana wilayah tersebut belum memberikan tanda-tanda perbaikan secara signifikan selama empat pekan ini.
Presiden Jokowi menyatakan penyebab banjir di Kabupaten Sintang akibat kerusakan area tangkapan hujan yang sudah terjadi beberapa puluh tahun lalu. Selain itu, BNPB juga beranggapan bahwa intensitas hujan yang tinggi menjadi penyebab air di wilayah hulu Sungai Kapuas meluap.
Pernyataan itu menjadi perhatian yang serius bagi beberapa pihak. Pasalnya, sekalipun memang sudah menjadi masalah puluhan tahun, seharusnya pemerintah bisa bergerak mengantisipasinya karena ini bukan hal baru lagi bagi pemerintah.
Daya Tampung dan Dukung Rusak
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Nikodemus Ale menilai ada dua faktor yang perlu disadari, yakni faktor internal dan eksternal. Menurutnya, faktor eksternal memang tidak bisa dihindari lantaran cuaca curah hujan tinggi yang tidak terkendali.
Beberapa waktu terakhir, di Kalimantan sedang diguyur oleh curah hujan yang sangat tinggi. Terutama, di daerah perhuluan seperti Kabupaten Melawi hingga Kabupaten Sintang.
Jika faktor eksternal memang tidak bisa dihindari, untuk faktor internal sejatinya bisa diantisipasi. Dalam hal ini, Niko menjelaskan faktor internal yang dimaksud adalah persoalan daya tampung dan daya dukung yang sudah rusak.
Niko mengungkap secara geografis Kabupaten Sintang berada di pertemuan tiga Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS pertama itu Melawi yang melintas dari Kabupaten Melawi dan bermuara di Sintang. DAS kedua itu Ketungau yang rute sungainya dari kawasan perbatasan dan bermuara di Sintang. Terakhir, DAS ketiga itu Kapuas dan melewati Kabupaten Sintang.
Sehingga, Sintang menjadi muara akhir dari pendistribusian ketiga DAS tersebut. Hal ini diperparah dengan kesalahan pembangunan berbasis tata ruang, dimana keberadaan kawasan produksi sawit sudah lebih besar dari seharusnya.
“Dokumen tata ruang provinsi sudah menetapkan 6,4 juta hektar sebagai kawasan produksi dari 14,7 juta hektar area di Kalimantan Barat. Saya melihat ada kesalahan disini akibat aktivitas investasi seperti perkebunan kelapa sawit, tambang, dan sektor kehutanan sudah melebihi kapasitas tata ruang, menjadi sekitar 12 juta lebih hektar. Bahkan, kawasan non produksi sudah digunakan oleh pihak industri,” katanya.
Adanya aktivitas ilegal juga menjadi faktor utama penyebab banjir seperti pertambangan emas tanpa izin dan dilakukan di badan-badan sungai. Niko menegaskan pelanggaran penggunaan kawasan industri dan aktivitas ilegal sudah merusak infrastruktur sungai menjadi dangkal.
Niko menyarankan pemerintah seharusnya sigap dalam memperoleh database soal bencana. Karena hal ini sangat membantu bagi pemerintah daerah untuk melihat kawasan-kawasan yang rentan terkena banjir. Sehingga, apabila kawasan tersebut direndam banjir, Pemda sudah siap untuk penanganannya. Niko menilai perlu ada evaluasi atau revisi terkait kesalahan tata ruang.
“Tata ruang dibuat 10 tahun sekali, sehingga pemerintah dapat merevisi data tersebut selama 5 tahun. Kemudian, adanya revisi perizinan untuk menghindari aktivitas ilegal dari oknum-oknum yang menyimpang,” tegas Niko.
Pemerintah Pusat Perlu Datang Langsung
Sementara itu, Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas merujuk pada data BPBD bencana banjir yang tidak kian surut akan berdampak luas. Mulai dari penduduk yang banyak mengungsi, perekonomian lumpuh, termasuk listrik dan sumber daya kehidupannya lumpuh. Arie menilai dari data-data tersebut penanganan pemerintah belum maksimal.
Faktanya, Jokowi belum mengunjungi wilayah Kabupaten Sintang. Arie menyarankan harus ada evaluasi dari perizinan pembangunan yang menyimpang. Bukan hanya rehabilitasi yang ditawarkan.
“Langkah terakhir adalah rehabilitasi, namun butuh puluhan hingga ratusan tahun untuk pemulihan hutan secara maksimal. Jokowi jangan hanya menyatakan pendapat seperti itu, tapi perlu adanya tindakan cepat terkait evaluasi dan pencabutan izin tentang kehutanan serta mengembalikan fungsi hutan ke masyarakat adat,” katanya kepada Asumsi.co, Rabu (17/11/2021).
Fokus Perbaikan Daerah Tangkapan Hujan
Seperti yang diberitakan Asumsi.co sebelumnya, Jokowi sendiri mengaku bakal fokus untuk perbaikan daerah tangkapan hujan mulai tahun depan. Salah satunya di sepanjang sungai Kapuas dan yakin kondisi tersebut menjadi penyebab banjir di Kalimantan.
Selain itu, pemerintah daerah juga telah melakukan perpanjangan status tanggap darurat untuk penanganan bencana banjir, angin puting beliung, dan tanah longsor hingga kemarin 16 November 2021.
Melansir dari CNN Indonesia, BNPB baru mengirim bantuan Dana Siap Pakai (DSP) senilai Rp1,5 miliar untuk mempercepat penangan banjir yang sudah melanda di empat Kabupaten Kalimantan Barat.
Rinciannya Rp500 juta untuk penanganan banjir di Kabupaten Sintang, Rp500 juta untuk Kabupaten Melawi, Rp250 juta untuk Kabupaten Sekadau, dan Rp250 juta untuk Kabupaten Sanggau.
Diberitakan Antara, Presiden Joko Widodo juga sudah mengirimkan 5.000 paket sembako bantuan untuk warga korban banjir di wilayah Sintang, Kalimantan Barat. Sementara itu, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji mengatakan bahwa Pemprov Kalbar sudah mengirim bantuan untuk lima kabupaten sebanyak 33 truk dari masyarakat dan Pemprov Kalbar.
Namun, kebijakan ala “pemadam kebakaran” ini yang baru datang ketika bencana datang sejatinya bisa dikurangi apabila permasalahan sesungguhnya sudah diselesaikan. Butuh perhatian khusus dari pemerintah, terkait perbaikan tata ruang sehingga bencana yang sama tidak terus menerus terjadi.
Baca Juga: