Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam proses hukum terhadap Valencya alias Negsy Lim, perempuan yang dituntut satu tahun penjara karena memarahi suaminya yang mabuk, di Karawang. Komisioner Komnas Perempuan Andy Yetriani menilai, Valencya sebenarnya adalah korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
“Kondisi ini merupakan cermin ketidakmampuan Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, dalam memahami relasi kuasa dalam kasus-kasus KDRT,” kata Andy melalui siaran pers kepada Asumsi.co, Selasa (16/11/2021).
Menjadi korban: Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari Valencya pada bulan Juli 2021. Dari pengaduan tersebut, didapatkan informasi bahwa Valencya adalah korban KDRT berulang dan berlapis.
Andy menjelaskan, setelah menikah pada tahun 2011 dan mengikuti suaminya ke Taiwan, Valencya baru mengetahui bahwa suaminya, berinisial CYC, telah berbohong tentang status perkawinannya.Valencya juga menjadi pihak pencari nafkah utama, sementara CYC kerap pulang dalam kondisi mabuk.
Valencya menghadapi kekerasan ekonomi akibat utang CYC, termasuk untuk mengembalikan pinjaman atas mahar perkawinannya. “Hal ini menyebabkan V memilih kembali ke Indonesia, mengembangkan usahanya dan bahkan menjadi sponsor bagi CYC untuk mendapatkan kewarganegaraan di Indonesia,” kata Andy.
Meminta cerai: Namun, tabiat CYC yang kerap mabuk dan berhutang terus berlanjut. Atas peristiwa KDRT berlapis dan berulang serta dalam kurun waktu yang lama, Valencya kemudian menggugat cerai. Gugatan ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Karawang pada Januari 2020.
Pengadilan memberikan hak asuh anak kepada ibu dan pihak CYC harus memberikan nafkah dan biaya pendidikan per bulannya bagi kedua anaknya. CYC tidak terima dengan putusan tersebut. Pada Juli 2020, CYC mengajukan banding dan meminta pembagian harta gono-gini dibagi rata.
Pengadilan Tinggi Bandung telah memeriksa dan menguatkan keputusan pengadilan tingkat pertama. Atas putusan banding, CYC kemudian mengajukan permohonan kasasi yang kemudian dia cabut pada Maret 2021, sehingga putusan pengadilan tingkat pertama telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Namun, pada bulan Juli 2020, CYC sebagai mantan suami melaporkan Valencya atas tindak pidana KDRT psikis (pasal 45 UU Penghapusan KDRT) karena Valencya telah mengusirnya dari rumah dan menghalanginya bertemu dengan anak.
CYC beranggapan bahwa mereka terikat perkawinan karena proses banding putusan cerai masih berjalan. “V juga melaporkan CYC di bulan September 2020 atas tindak pidana KDRT dan penelantaran anak,” kata Andy.
Malah ditersangkakan: Dalam prosesnya, polisi menunda proses hukum dari laporan Valencya, namun justru memproses laporan CYC. Akhirnya, Valencya ditetapkan sebagai tersangka kasus KDRT.
Komnas Perempuan sudah merekomendasikan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat bersama dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat melakukan gelar perkara kasus tersebut. Komnas Perempuan, Andy menjelaskan, berpendapat bahwa Korban Valencya tidak boleh diposisikan sebagai terlapor tindak pidana KDRT berdasarkan fakta serangkaian kekerasan yang dialaminya dalam relasi perkawinan.
Komnas Perempuan juga menyarankan diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas laporan CYC terhadap Valencya. “SP3 merupakan upaya mencegah hukum digunakan sebagai impunitas terhadap pelaku dan menegaskan perlindungan hukum bagi korban KDRT yang sesungguhnya, yakni V dan kedua anaknya,” kata Andy.
Dengan kondisi itu, Andy berharap, perkara yang telah disidangkan Pengadilan Negeri Karawang ini bisa selesai dengan memberikan rasa keadilan pada Valencya sebagai korban KDRT. Karena itu, Komnas Perempuan mendorong Majelis Hakim melihat permasalahan tersebut secara utuh.
Baca Juga
Kejagung Eksaminasi Perkara Istri Dituntut 1 Tahun Penjara Omeli Suami Mabuk
Bagi Korban KDRT, Rumah Bukanlah Tempat yang Aman Semasa Pandemi