Foto: Freepik
Perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan termasuk dalam hak asasi manusia dan merupakan tanggung jawab negara. Komnas Perempuan lewat kajiannya yang bertajuk “Kebijakan tentang Layanan Terpadu bagi Perempuan Korban Kekerasan di Indonesia” menganalisis kebijakan-kebijakan di tingkat daerah tentang pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan di Indonesia, dan menemukan bahwa belum semua kebijakan telah berperspektif korban dan memberikan perhatian khusus kepada kelompok rentan.
Kajian ini memotret dan menganalisis 285 dari 414 kebijakan daerah tentang layanan yang disahkan oleh pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota selama kurun waktu 2000-2019. Kebijakan yang mencakup peraturan daerah, peraturan kepala daerah, surat keputusan, MoU, dan lainnya ini termasuk mengatur: (1) perlindungan; (2) akses pada proses hukum, penyelidikan, hingga persidangan; (3) pemulihan korban; dan (4) pencegahan.
Penemuan ini kemudian dinilai kesesuaiannya menggunakan kerangka hak-hak konstitusional, seperti Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Tak hanya untuk menyikapi fenomena kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan juga melihat apakah kebijakan yang berlaku telah menyorot akar permasalahan dan mencegah kasus kekerasan serupa dapat terjadi lagi.
Hasilnya, diketahui bahwa sepanjang 2000-2010 kebijakan terkait layanan pemenuhan korban kekerasan telah mengalami peningkatan bertahap. Peningkatan ini mencapai jumlah tertinggi pada 2011—yaitu sebanyak 71 kebijakan, dan kemudian jumlahnya bergerak naik turun hingga 2018. Kemunculan kebijakan-kebijakan ini diduga disebabkan oleh munculnya arahan dari pemerintah pusat untuk merancang kebijakan yang mengarusutamakan gender (PUG) pada 2010. Ada pula peraturan menteri terkait layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang juga dibentuk pada 2010.
Secara umum, sebagian besar kebijakan ini mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun, terdapat pula sejumlah kebijakan yang lebih spesifik mengatur tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perdagangan manusia, kekerasan seksual, konflik dan pelanggaran HAM, kesehatan reproduksi, anak berhadapan dengan hukum (ABH), orang dengan disabillitas, dan orang lanjut usia.
Dari 285 kebijakan yang dikaji, sebanyak 135 kebijakan mengatur tentang kelembagaan, 11 kebijakan mengatur tentang layanan, dan tiga kebijakan mengatur tentang kerja sama. Selebihnya, sebanyak 136 kebijakan merupakan irisan dari pengaturan tentang kelembagaan, layanan, dan kerja sama. Komnas Perempuan menyorot bahwa fokus kebijakan yang masih pada kelembagaan menunjukkan belum adanya prioritas terkait layanan sebagai inti dari kebijakan itu sendiri.
Sebaran kebijakan pun sebagian besar masih di Pulau Jawa dan Madura yang mencapai 175 kebijakan. Banyak kebijakan yang terpusat di Jawa itu mengatur aspek-aspek penting terkait perlindungan dan pemulihan korban, seperti kebijakan tentang fasilitas Rumah Aman (43 dari 96 kebijakan), layanan bantuan hukum (54 kebijakan), dan layanan medis seperti visum (44 dari 94 kebijakan). Sedangkan kebijakan paling rendah terletak di Maluku dan Maluku Utara yang hanya terdapat 9 kebijakan.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mencatat terdapat 136 kebijakan yang mengatur tentang pendampingan hukum hingga konseling, 51 kebijakan tentang layanan berbasis komunitas, 235 kebijakan tentang anggaran layanan, dan 130 kebijakan tentang aspek monitoring dan pelaporan. Pihaknya menilai kebijakan terkait monitoring dan pelaporan ini terbilang masih sedikit, padahal aspek ini penting demi mendapatkan umpan balik terhadap pelaksanaan kebijakan untuk perbaikan dan pemajuan layanan bagi korban kekerasan.
Secara keseluruhan, Komnas Perempuan menyorot bahwa belum semua kebijakan mencakup semua aspek penting terkait penyelenggaraan layanan. Keterlibatan masyarakat sipil, khususnya perempuan korban kekerasan itu sendiri, juga terbilang masih minim. “Tidak ada pula perhatian khusus terhadap kelompok rentan seperti orang dengan disabilitas, orang lanjut usia, dan perempuan yang mengalami kekerasan berlapis,” ujar Ketua Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam rilis persnya (6/11).
Padahal, elemen-elemen ini dinilai krusial karena terkait dengan akses pemulihan dan bertujuan untuk memastikan keberlanjutan hidup korban. “Pengabaian terhadap kerentanan-kerentanan khusus tersebut menunjukkan adanya kelalaian serius pemerintah yang harus segera dicari jalan keluarnya,” lanjut Andy.
Untuk itu, Komnas Perempuan memberikan sejumlah rekomendasi kepada lembaga-lembaga terkait. Kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Komnas Perempuan merekomendasikan agar terdapat kebijakan yang lebih aplikatif dalam hal pelaksanaan layanan terpadu. Kepada Kementerian Kesehatan, direkomendasikan agar dikembangkannya mekanisme penanganan kekerasan terhadap perempuan dan peningkatan kapasitas bagi petugas kesehatan di semua jenjang pelayanan kesehatan.
Ada pula rekomendasi terhadap pemerintah daerah untuk memastikan agar substansi layanan terpadu dapat terintegrasi dalams setiap kebijakan daerah, kepada UPTD-P2TP2A dan lembaga layanan masyarakat untuk mengembangkan SOP pelaksanaan kebijakan, kepada Kementerian Dalam Negeri agar mendorong pemerintah daerah untuk memproduksi kebijakan yang memberikan perhatian khusus kepada kelompok rentan, dan kepada institusi penegak hukum untuk memastikan kebijakan yang telah ada berpihak pada perempuan korban kekerasan.
“Salah satu tujuan berdirinya Komnas Perempuan adalah meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini diimplementasikan dengan memastikan ruang-ruang pemenuhan hak asasi perempuan, terutama hak perempuan korban kekerasan, menjadi tanggung jawab negara. Berbasis hasil kajian ini, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi untuk perbaikan layanan terpadu yang efektif bagi perempuan korban kekerasan.”