Banjir sudah melanda sejumlah wilayah di Pulau Kalimantan sejak September lalu. Mulai dari Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah hingga Kalimantan Selatan.
Aktivis lingkungan menyebut semua itu terjadi imbas dari pembangunan skala besar yang membuat daerah resapan kehilangan fungsi. Akibatnya, banjir terjadi bahkan lebih dari dua pekan seperti yang dialami warga Sintang, Kalimantan Barat.
Wilayah ibu kota baru, yakni Penajam Paser Utara yang berada di antara Kalimantan Timur-Kalimantan Utara juga dianggap berpotensi terendam banjir.
Kondisi Kalimantan
Juru kampanye Greenpeace, Rio Rompas menjelaskan bahwa dalam setahun terakhir, banjir kerap menerjang wilayah Kalimantan.
Faktor deforestasi yang dalam skala luas tak bisa dilepaskan. Kalimantan menjadi sangat rentan bencana alam.
“Karena hutannya sudah diganti sawit, tentu bencana hidrometeorologi akan makin mengancam. Kalau kemarau kebakaran, kalau hujan terjadi banjir,” kata Rio saat dihubungi.
Cakupan banjir pun makin meluas ke seluruh Kalimantan mulai dari Kalimantan Selatan, Tengah, Timur, hingga Barat.
Ironis karena Kalimantan yang dikenal sebagai wilayah kaya akan hutan, namun kini malah terendam banjir di berbagai wilayahnya.
Ibu Kota Baru
Rio Rompas mengatakan lokasi ibu kota baru di Penajam Paser Utara relatif aman dari banjir karena berada di ketinggian.
Namun, bukan berarti akan selalu terbebas dari ancaman banjir. Apalagi jika pembangunan skala besar terus dilakukan tanpa memperhatikan keseimbangan alam.
“Tapi tidak menutup kemungkinan kalau wilayah Pegunungan Ratus, Mului, juga dibuka, itu akan berdampak terhadap lokasi ibu kota baru. Karena dia berada di punggungnya,” ujar dia.
Rompas mengatakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara akan diiringi pembangunan. Pemindahan ibu kota, lanjutnya, tentu seirama dengan ekspansi modal yang membuntuti migrasi penduduk.
Permukiman, pusat perbelanjaan, dan sebagainya akan banyak dibangun untuk menunjang kebutuhan masyarakat. Walhasil, Kalimantan makin akrab dengan beton ketimbang hutan.
“Ini akan menambah beban lingkungan. Apalagi kalau mengukur dari model pembangunan sebelumnya, artinya ekstraktif Sumber Daya Alam termasuk pembangunan berbasis lahan sudah berdampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungannya,” ucap dia.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Marjani tak memungkiri kalau ada sejumlah potensi bencana alam di Penajam.
Di antaranya banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, serta angin puting beliung. Kendati demikian, Marjani potensi bencana sebatas level kecil dan sedang.”
Banjir tidak sampai menginap dan kemungkinan hanya terjadi setengah hari,” ucap Marjani.
Solusi
Agar bencana banjir tidak menjadi bom waktu bagi ibu kota baru, pemerintah perlu benar-benar memperhatikan keseimbangan alam dalam proyek pembangunan ibu kota.
Jangan sampai hanya sebatas memindahkan ibu kota, dari Jakarta yang sudah penuh, ke Kalimantan namun memakai konsep pembangunan yang sama.
Jika demikian, cepat atau lambat ibu kota baru akan lemah dihajar bencana.
“Model pembangunan yang ekstraktif dan berbasis lahan masih jadi yang utama, harusnya diimplemtasikan pada model pembangunan yang ramah lingkungan,” ucap Rio Rompas dari Greenpeace.
Baca juga:
Gubernur Kalbar Sebut 20 Perusahaan Sawit Tak Peduli Korban Banjir
Deret Fakta Banjir Kalbar: Imbas Tambang, Dua Minggu Tergenang, Kesulitan Makanan
Menteri LHK: Pembangunan Besar-besaran Era Jokowi Tak Boleh Berhenti Atas Nama Deforestasi