Isu Terkini

Menteri LHK: Pembangunan Besar-besaran Era Jokowi Tak Boleh Berhenti Atas Nama Deforestasi

Antara — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/FB Anggoro/wsj/aa

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar menyatakan pembangunan besar-besaran di era Presiden Joko Widodo tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. Dia menilai menghentikan pembangunan atas nama kedua hal itu sama dengan melawan mandat UUD 1945.

Alasan: Siti mengatakan inisiasi Indonesia Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca bukan berarti sebagai nol deforestasi.

Inisiasi itu bentuk komitmen Indonesia mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga terjadi netralitas karbon pada 2030. Bahkan, kata dia, pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan atau penyimpanan karbon sektor kehutanan.

“Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” ujar Siti dikutip dari Antara.

Mandat UUD 1945: Siti mengklaim menghentikan pembangunan atas nama nol deforestasi sama dengan melawan mandat UUD 1945. Menurutnya, kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan di samping tentu saja harus berkeadilan.

”Kita juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia,” ujarnya.

Peringatan: Siti mengingatkan semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain. Pasalnya, dia menyatakan ada perbedaan definisi.

“Jadi harus ada ‘compatibilty’ dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detil. Bila perlu harus sangat rinci,” ujar Siti.

Persoalan: Siti menyampaikan pembangunan setiap negara tidak ada yang sama. Dia berkata beberapa negara maju sudah selesai membangun sejak tahun 1979-an sehingga tinggal menikmati hasil pembangunan. Artinya, sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut emisi nol bersih.

“Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional? Memaksa Indonesia untuk ‘zero deforestation’ di 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya,” kata Siti menegaskan.

Contoh kasus: Siti mencontohkan kondisi di Kalimantan dan Sumatera. Dia menyebut banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Kemudian, ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.

”Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,” kata Siti.

Strategi: Siti berkata pemerintah menargetkan penurunan emisi 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional. Namun, dia mengingatkan target penurunan emisi 41 persen Indonesia sekitar 1,1 giga ton emisi. Sementara Inggris, pengurangan emisi 50 persen hanya 200-an juta emisi.

“Jadi faktor angka absolut ini yang harus dipahami. Arahan Bapak Presiden kepada saya sangat jelas bahwa kita menjanjikan yang bisa kita kerjakan, tidak boleh hanya retorika, karena kita bertanggung jawab pada masyarakat kita sendiri sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” kata Siti.

Respons NGO: Jaringan Advokasi Tambang Nasional menyatakan pembangunan besar-besaran era Jokowi tidak boleh berlanjut jika hanya untuk kepentingan 1 persen orang kaya. JATAM menilai melanjutkan pembangunan atas nama kepentingan 1 persen orang kaya sama dengan melawan mandat UUD 1945.

“Mengingat, kesejahteraan itu adalah hak semua rakyat, dan itu menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah,” kata JATAM Nasional lewat Twitter.

Peringatan: JATAM mengingatkan kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dijaga dan dikelola secara adil dan berkelanjutan, tidak untuk diobral bagi kepentingan industri tambang, sawit, dan sebagainya yang merusak dan menyengsarakan warga sekitar.

JATAM juga menolak dan mengecam kebijakan KLHK yang dengan mudah mengubah status kawasan hutan hanya untuk kepentingan industri tambang, dan industri-industri sejenisnya yang merusak.


Baca Juga:

Share: Menteri LHK: Pembangunan Besar-besaran Era Jokowi Tak Boleh Berhenti Atas Nama Deforestasi