Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar saat menghadiri Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia terkait deforestasi menuai kecaman publik. Organisasi dan pegiat lingkungan hidup menilai pernyataan Siti menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca sebagai narasi yang kontradiktif, sekaligus kontraproduktif.
Melalui cuitan di akun Twitter, Siti mengungkapkan hal yang disampaikannya saat COP 26. Ia menegaskan kalau komitmen Indonesia untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca tak bisa menghindari deforestasi alias penebangan hutan.
“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” cuit Siti.
Menurutnya, menghentikan pembangunan atas nama deforestasi sama halnya dengan melawan mandat Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, Indonesia juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia.
Ia mencontohkan, kondisi saat sebatang pohon ditebang di belakang rumah di Eropa dikategorikan sebagai deforestasi. Kondisi semacam ini, menurutnya berbeda anggapannya di Indonesia.
Siti Nurbaya Bakar juga menyampaikan kalau target Indonesia untuk bebas deforestasi pada 2030 merupakan langkah yang tidak tepat dan tidak adil. Pasalnya, setiap negara memiliki permasalahan masing-masing yang dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya.
Ia mengatakan bila hanya mengkhawatirkan deforestasi maka tidak akan ada pembangunan jalan di Indonesia. Hal ini justru membuat kondisi masyarakat terisolasi.
Peningkatan Deforestasi
Bicara soal deforestasi, data Greenpeace terbaru penebangan hutan di Indonesia terus meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta hektar pada tahun 2003 sampai 2011 menjadi 4,8 juta hektar di tahun 2011 sampai 2019.
Adapun tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019 sampai 2021, dinilai tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia, sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat.
“Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 hektar kebun sawit,” demikian disampaikan laporan tersebut.
Menurut Greenpeace, deforestasi di masa depan bakal semakin meningkat saat proyek food estate dijalankan. Proyek ini, menurut mereka bisa membuat jutaan hektar hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini.
Ingatkan Krisis Bumi
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, M Iqbal Damanik menyayangkan pernyataan Menteri Siti Nurbaya Bakar. Ia mengatakan pernyataan ini justru bertolak belakang dari arah keberpihakan Menteri LHK yang semestinya, yakni memastikan seluruh rakyat Indonesia mendapatkan haknya berupa Lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai amanat UUD 1945 pasal 28H.
Ditambah lagi, baru-baru ini Presiden Jokowi juga ikut menandatangani komitmen mengakhiri deforestasi dan degradasi lahan 2030 dalam The Glasgow Leaders’ Declaration on Forest and Land Use (Deklarasi Pemimpin Glasgow atas Hutan dan Pemanfaatan Lahan).
“Justru pernyataan yang berseberangan datang dari Menteri LHK hanya berselang satu hari. Sangat disayangkan Indonesia memiliki Menteri LHK yang pro terhadap pembangunan skala besar yang jelas-jelas berpotensi merusak lingkungan hidup,” ucapnya melalui keterangan pers yang diterima Asumsi.co, Kamis (4/10/2021).
Ia menegaskan, tidak ada pembangunan dan pertumbuhan yang bermanfaat di atas lingkungan yang buruk atau bumi yang tidak layak dihuni.
“Perlu diingat saat ini kita berada dalam kondisi krisis iklim dan kita berada di bumi yang sama. Kalau tidak ada tindakan yang signifikan untuk menurunkan atau menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat serta mitigasi iklim, maka kehancuran ada di depan mata,” tuturnya.
Koreksi Paradigma
Sementara itu, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono mengingatkan paradigma pembangunan di Indonesia sudah harus dikoreksi oleh pemerintah. Hal ini lebih diperlukan alih-alih berkutat dengan terminologi deforestasi.
“Ini yang perlu dikoreksi, makanya sering muncul pembangunan proyek skala besar di sini. Ini perlu diletakkan mau ke mana sebetulnya Indonesia di 2045. Ada cita-cita bahwa itu tahun emas setelah kemerdekaan,” tegasnya kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon.
Ia mengatakan seharusnya persoalan lingkungan hidup diletakan kepada keinginan dan aspirasi generasi masa depan yang akan hidup pada tahun 2045. Adanya persepsi anak muda usia 17-35 tahun berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia terkait sikap pemerintah terhadap lingkungan dan iklim, juga mesti jadi rujukan.
“81 persen dari 4.000 responden mengatakan bahwa yang utama adalah melestarikan lingkungan dan aksi untuk mengatasi krisis iklim, meski kemudian menyebabkan ekonomi kita tidak tumbuh. Ini aspirasi anak muda. Semestinya hal ini diletakkan dalam perspektif tersebut,” terangnya.
Yuyun menambahkan, pembangunan infrastruktur dan food estate skala besar atau pembangunan tambang-tambang atau lahan kelapa sawit yang besar tidak bisa terus dipertahankan ke depannya.
“Pembangunan kualitas lingkungan hidup dan sumber daya manusia adalah poin penting untuk mengatasi krisis iklim. Ini aspirasi dan semestinya jadi konteks dalam mengatasi krisis iklim. Esensinya adalah untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat,” pungkasnya.
Baca Juga: