Miss World Malaysia 2021
Lavanya Sivaji menyampaikan permohonan maaf usai menjadi perhatian dan menuai
protes dari warganet karena mengklaim batik sebagai budaya Malaysia. Batik
diketahui telah ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Budaya PBB
(UNESCO) sebagai warisan budaya asli Indonesia.
Ganti Keterangan Unggahan
Pernyataan Lavanya yang
mengklaim batik sebagai budaya Malaysia saat ia mengunggah foto salah satu gaun
bermotif batik yang bakal dikenakannya saat berlaga di ajang Miss World nanti,
lewat Instagram.
Akun @mommy.pageant
memperlihatkan keterangan unggahan Lavanya sebelum diganti yang mengatakan,
kain batik merupakan lambang keberagaman orang Malaysia yang direpresentasikan
melalui berbagai warna, cetakan, dan desainnya.
“Saya mempersembahkan
kepada kalian, gaun malam saya untuk Miss World Malaysia 2021 yang terbuat dari
kain batik Malaysia,” katanya.
Kini, Lavanya telah mengganti
keterangan foto yang diunggah di akun @lavanyasivaji. Keterangan barunya
menuliskan bahwa dirinya sangat bersyukur telah diajarkan untuk menghargai
keragaman budaya negaranya.
“Saya berterima kasih
kepada desainer saya atas rancangan gaun indah ini untuk malam terakhir saya.
Saya bangga mewakili negara saya dan siap untuk melangkah memasuki perjalanan
baru,” ungkapnya.
Permohonan Maaf
Di dalam akun Instagram yang
sama, Lavanya menyampaikan permohonan maafnya karena pernyataannya soal batik
merupakan budaya Malaysia merupakan hal yang keliru.
“Halo semuanya! Untuk
seluruh pageant lovers tersayang, khususnya di Indonesia. Saya harap
kalian semua dalam keadaan sehat. Pertama-tama, saya meminta maaf bila
menyinggung banyak orang karena unggahan saya ini (gaun batik). Saya mengakui
kalau kata “Batik” berasal dari Jawa, begitu pula desain dan
sejarahnya,” tuturnya.
Namun menurutnya, saat ini
banyak negara yang memasukkan batik sebagai unsur kebudayaannya seperti di
Indonesia. “Tidak sedikit negara lain yang mempraktikkan unsur budaya
tersebut, seperti Malaysia, Sri Lanka, India dengan desain dan motif rancangan
masing-masing,” lanjut Lavanya.
Ia menambahkan, batik buatan
negara mana pun, baik Indonesia atau Malaysia akan selalu membanggakan untuk
dikenakan. Dirinya juga berterima kasih kepada warganet yang telah
mengingatkannya untuk menghormati akar budaya dan tradisi negara lain.
“Terima kasih sudah
mengingatkan saya. Kapan pun saya mengenakan Batik, sungguh saya mampu
merasakan kekuatan seorang wanita sejati. Kami memiliki kekuatan super. Kami
penyembuh. Kami adalah ibu,” tandasnya.
Asal Nama Batik
Hal yang menarik untuk
mengupas sejarah batik, sebagai bagian dai budaya Indonesia. Filolog dan
arkeolog berkebangsaan Belanda, Jan Laurens Andries Brandes mencatatkan batik
sebagai akar budaya Indonesia pada tahun 1889.
Mengutip laman Indonesia
Kaya, jauh sebelum ada kata Indonesia, masyarakat Nusantara sudah mengenal
sepuluh unsur kebudayaan yang salah satunya adalah membatik.
“Pendapat Brandes, yang
ditulis tahun 1889, diperkuat dengan ditemukannya motif pada panel Candi
Prambanan dan Borobudur yang diyakini oleh peneliti sejarah sebagai motif
batik. Jika merunut pada penemuan tersebut, kebudayaan batik sudah ada di Nusantara
sekitar abad ke-8,” demikian ditulis laman tersebut.
Merujuk pada buku “Seni
Batik Indonesia” yang ditulis S.K. Sewan Susanto (1974), secara etimologi,
kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “ngembat”
atau melempar berkali-kali dan “tik” atau membuat titik.
“Secara harfiah, batik
dapat diartikan membuat titik atau membuat gambar pada sehelai kain,”
demikian dituliskan sumber buku.
Berawal dari Keraton
Batik mulanya berkembang di
lingkungan keraton. Pola dan ragam hiasnya kental dengan pengaruh Hindu dan
Islam. Sewan Susanto mengatakan batik awalnya dikenakan sebagai busana raja dan
keluarganya.
Motif yang ada saat itu antara
lain seperti kawung, parang, sawat, cemungkiran,
hingga alas-alasan. Motif ini sering disebut sebagai “pola larangan”.
Sementara batiknya lebih dikenal dengan sebutan batik keraton.
“Usai adanya Perjanjian
Giyanti pada 1755, berbagai pola ragam hias berkembang secara terpisah di dua
keraton yakni Yogyakarta dan Surakarta. Masing-masing keraton menampilkan matra
keindahan dan berbeda dari koleksi batik mereka,” lanjut sumber
Hingga akhirnya pembuatan
batik menjalar keluar lingkungan keraton. Kegiatan membatik di luar keraton
dikelola para pengusaha atau saudagar batik di Kauman, Kratonan, dan Laweyan.
Mereka memodifikasi gaya klasik batik dengan selera pasar agar bernilai jual.
Indonesia Kaya menyebutkan
masyarakat luas yang sebelumnya mengenakan kain lurik yang ditenun, mulai
terbiasa mengenakan kain batik dengan pola ragam hias yang berbeda.
“Kain batik ini kemudian
dikenal dengan sebutan batik sudagaran. Batik rupanya menarik hati para
perempuan Indo. Bukan hanya mengenakannya sebagai busana sehari-hari, mereka
juga membuat batik sendiri yang kemudian dikenal sebagai batik Belanda,”
jelas mereka.
Diakui UNESCO
Pembuatan batik berkembang
pesat setelah masuknya orang Tionghoa ke Indonesia pada masa kolonial. Batik
produksi Belanda maupun Tionghoa pun mulai berkembang. Produksinya terpusat di
kota-kota pesisir utara Jawa seperti Pekalongan, Cirebon, dan Lasem.
Teknik baru dalam membatik
mulai muncul pada pertengahan abad ke-19, yakni dengan menggunakan cap yang
berasal dari alat yang terbuat dari tembaga atau besi yang dibentuk sesuai
dengan motif yang diinginkan.
Popularitas batik berjaya di
tahun 1970-an. Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin menetapkan batik sebagai
pakaian resmi pria di wilayah DKI Jakarta hingga akhirnya diikuti secara
nasional.
Pada 2 Oktober 2009, UNESCO
mengakui batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi
(Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) dari Indonesia.
“Kerajinan batik tak bisa
dilepaskan dari identitas budaya Indonesia dan orang-orangnya, melalui
simbolisasi penuh makna dengan warna dan desain yang mengekspresikan kreativitas
dan spiritualitas para perajinnya,” kata UNESCO lewat laman
resminya.
Baca Juga: