Berjarak belasan kilometer dari pusat kota Semarang, Jawa Tengah, terdapat Kampung Ngebruk yang terletak di Mangunharjo, Mangkang Wetan, Kecamatan Tugu. Di situ merupakan salah satu kampung pengrajin batik yang sehari-harinya terlihat sepi. Turis jarang datang berkunjung untuk sekedar melihat cinderamata khas Indonesia itu.
Padahal kampung itu masih membuat batik namun memang terkesan sunyi senyap. Ternyata segelintir ibu-ibu memilih duduk bersimpuh di beranda rumah milik Hariyati untuk mengerjakan pesanan batik. Berulang kali pipa cantingnya dicelupkan dalam wajan, lalu dipakai menggoreskan ragam motif batik. Ketekunan nampak pada wajah penggiat batik mangrove itu.
“Lebih susah nyanting batik mangrove ketimbang motif lainnya. Makanya ngerjainnya harus telaten,” kata Asadhah, seorang perajin batik saat berbincang dengan Asumsi.co.
Asadhah sudah lima tahun terakhir menggeluti pembuatan batik. Kampungnya selama ini dikenal sebagai sentra kerajinan batik mangrove yang mengandalkan warna alam sebagai bahan bakunya. Setiap harinya Asadhah melukis selembar kain batik. “Satu kain rampungnya dua hari,” katanya.
Pekerjaan ini, menurut Asadhah, menjadi salah satu jenis penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Lumayan, Mas. Bisa buat tambah-tambah penghasilan setiap hari,” aku warga RT 01/RW V Kampung Ngebruk tersebut.
Hariyati, si empunya rumah menceritakan bahwa aktivitas pembuatan batik mangrove baru berlangsung dari 2014 silam. Mula-mula, terbesit ide memanfaatkan tumbuhan mangrove tatkala melihat banyaknya tumbuhan tersebut tumbuh di sekitar kampungnya. Kebetulan, kampungnya kala itu tengah getol menggalakan reboisasi pantai Mangunharjo untuk menanggulangi ancaman abrasi.
Kemudian atas bantuan warga lainnya, ia lalu mengumpulkan kulit-kulit mangrove sedikit demi sedikit. Dari situlah dimulai produksi batik mangrove ini. Hariyati mengatakan kalau pembuatan batik mangrove ini menguntungkan karena tidak pernah tergantung pada cuaca. Walau musim hujan juga bisa dijemur sampai kering.
“Kita pilih mangrove karena bahan bakunya mudah didapat di sekitar sini. Lagian kan enggak perlu butuh banyak biaya. Dulunya ada banyak perempuan yang dilibatkan pembuatan batik. Tapi lama-lama dengan kesibukan masing-masing, sekarang tinggal tujuh orang saja,” terangnya kepada Asumsi.co di tempat yang sama.
Ia mengaku batik mangrove punya keunggulan ketimbang kain batik pada umumnya. “Karena adem pas dipakai, jadinya cocok untuk cuaca yang panas di pesisir Semarang,” bebernya.
Untuk harga pun dinilai cukup terjangkau. Selembar kain, kata Hariyati, dibanderol dengan harga Rp 350 ribu sampai 600 ribu. Menurutnya, itu harga yang sepadan lantaran pembuatannya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Batik mangrove kebanyakan justru digandrungi kalangan dosen dan para guru. Pesanan yang datang rata-rata bisa berjumlah 10 kain sampai 15 kain. Hebatnya, pesanan itu juga datang dari luar wilayah Semarang. “Bahkan ada pesanan dari Kalimantan. Ya itung-itung bisa memberdayakan ibu-ibu yang tinggal di sini sekaligus mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Kalau punya uang sendiri kan mereka enggak perlu bergantung sama suami,” tambahnya.
Kendati demikian, ia bilang sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap usahanya masih terbilang kurang. Selama ini, pemerintah daerah setempat masih terfokus pada produk batik Semarangan. Sedangkan usahanya jarang dilirik dengan berbagai pertimbangan.
“Selama ini belum dapat suntikan dana dari pemerintah. Yang bantu kita kebanyakan malah dari mahasiswa Undip. Mereka rutin menjualkan secara online. Untuk pemkot, kami belum pernah diajak pameran sama sekali,” tuturnya.
Di tengah keterbatasan modal tersebut, ia tetap optimistis untuk mampu bersaing dengan para perajin batik lainnya. Lewat merek batik Wijayakusuma, ia sesekali ikut pameran dengan perajin batik asal Solo, Yogyakarta sampai Pekalongan. Namun ternyata banyak pembeli yang tertarik dengan batik mangrove. “Karena itulah, saya jualannya via online,” akunya.
Di sisi lain, Fajar Purwoto, Kepala Dinas Perdagangan Kota Semarang, menambahkan bila pihaknya sedang berusaha mengajak perajin batik untuk ikut pameran skala nasional. “Kan batik ini warisan dunia. Maka harus dilestarikan. Walau pun memang kita masih terkendala soal packaging yang belum maksimal,” ujar Fajar.
Laporan: Fariz Fardianto dari Semarang