Eksklusif

Dilema Seniman Gondrong Tahun 1970-an

Manda Firmansyah — Asumsi.co

featured image
Larangan gondrong di TVRI

Suatu rombongan pengisi acara hiburan sandiwara gelisah di depan kamar rias TVRI setelah rekaman. Majalah Tempo edisi 25 September 1971 menceritakan, mereka khawatir dengan kabar bahwa rekamannya belum pasti akan disiarkan, karena di antara rombongan tersebut ada yang berambut gondrong. Pemimpin rombongan sandiwara itu bingung dan pergi bersama anggotanya ke warung belakang gedung TVRI.

Ketika memesan es batu untuk menenangkan kepalanya yang panas, mata rombongan tersebut terpaku pada selembar kertas di atas paku.

Sebuah instruksi dari Kepala Studio TVRI Jakarta. M. Sani larangan menampilkan artis-artis berambut gondrong. Akan tetapi, setelah dibaca lebih teliti, ternyata instruksi tersebut secara terang-terangan dimaksudkan untuk para penyanyi dengan rombongan bandnya yang berambut gondrong.

TVRI merupakan stasiun televisi tertua di Indonesia dan satu-satunya pada 1970-an. Ketika demam anti-rambut gondrong yang dipelopori ABRI merebak, M. Sani mengeluarkan instruksi larangan menampilkan artis-artis berambut gondrong. Surat kabar Ekspres edisi 14 April 1972 melaporkan, TVRI menetapkan syarat dan standar kepantasan ketat terhadap artis yang boleh ditampilkan.

Menurut M. Sani, pelarangan artis berambut gondrong tampil di TVRI merupakan bagian dari peningkatan pelayanan bagi pemirsa. Sebab, diklaim banyak pemirsa bersurat ke TVRI agar melarang artis berambut gondrong tampil di televisi. Jika artis berambut gondrong tidak dilarang tampil di TVRI, kata dia, maka akan menjadi bumerang.

“Tidak berarti ada diskriminasi dalam hal ini. Tapi yang harus ditampilkan ialah kepantasan dalam penampilan,” ujar M. Sani. M. Sani menganggap, TVRI perlu ikut membendung adanya arus ilfiltrasi kebudayaan. “Justru itu bila band (grup musik) yang beranggotakan rambut gondrong tidak dikenankan main di TVRI. Begitu pula halnya yang berasal dari luar negeri,” ucapnya.

Majalah Tempo edisi 25 September 1971 menilai, penyebab dikeluarkannya instruksi yang menganggetkan tersebut agak mengherankan. Yaitu, kurang rapi, kurang sopan, dan gerak-gerik trek gaya yang terlalu dibuat-buat. Meski, instruksi tersebut mencantumkan pula kata-kata yang bersilat, yaitu ‘dan lain sebagainya’.

“Lepas dari segala penilaian yang macam-macam kami tidak setuju rambut gondrong. saya tidak melarang, tetapi TV tidak akan menampilkan rambut gondrong lagi. Saya tegas melaksanakan ini,” tutur Direktur TVRI, Sumadi.

Jawaban Sumadi terkait alasan larangan menampilkan artis-artis berambut gondrong sama dengan berbagai pejabat TVRI lainnya. Menurut Sumadi, televisi harus menyajikan acara yang dapat dinikmati segala tingkatan umur pemirsa. Disisi lain, para orang tua kesulitan melarang anak-anaknya nonton pertunjukan khusus bagi orang dewasa, sehingga TVRI perlu menyensor adegan 17 tahun ke atas.

“Memang kebanyakan band-band rambut gondrong itu jelek dan tidak memiliki pengetahuan musik yang baik,” ujar Sumadi.

Seperti M. Sani, Sumadi juga menganggap, pelarangan artis berambut gondrong tersebut merupakan bagian dari upaya meningkatkan mutu siaran TVRI dan menjawab protes-protes pemirsa. Meski, enggan dijelaskan rincian protes-protes pemirsa yang bersurat ke TVRI tersebut.

“Hubungan antara mutu dan rambut gondrong memang tidak ada. kalau motif-motifnya itu mempunyai nilai artistic, misalnya rambut gondrongnya (Albert) Einstein itu boleh, tetapi, yang dipakai pemain-pemain band sering hanya merupakan fashion saja, tidak ada estetisnya,” ucapnya.

Menurut Sumadi, ukuran estetis terletak pada fungsi rambut kepala, serta kaitannya dengan watak dan identitas pelakunya.

“Jadi dalam pementasan drama, tujuan rambut gondrong lain dengan hanya sekadar fashion. Maka Sumadi pun sampailah pada kesimpulan: setiap orang harus membuktikan apakah rambut gondrong itu berfungsi atau tidak. Kalau tidak dapat, maaf saja tidak usah main di TV,” tutur
Sumadi.

Sumadi terkesan mencla-mencle dan tebang pilih saat membahas pelarangan artis berambut gondrong tersebut. Setelah menyatakan tegas melarang artis berambut gondrong tampil di TVRI, Sumadi justru mengecualikan orang-orang tertentu.

“Rendra sudah gondrong sebelum mode gondrong populer; jadi jelas itu bukan hanya sekadar fashion. Pak Djaja pernah saya tanya, mengapa gondrong. Dijawab itu untuk melindungi agar tidak masuk angin. Umar Kayam belum saya tanya motifnya,” ujar Sumadi.

Bahkan, terungkap TVRI justru melanggar aturan sendiri ketika mengundang grup musik Apotik Kaliasin (AKA) asal Surabaya yang sensasional (bawa peti mati ke panggung hingga atraksi kesurupan) dan berjaya pada awal 1970-an. Hal itu terungkap dalam dalam ‘Wawancara dengan Dedengkot AKA’ yang terbit di Majalah Midi edisi 15 September 1973.

AK memang tidak pernah muncul di layar TVRI. Absennya AKA di layar TVRI menimbulkan pertanyaan penggemarnya. Majalah MIDI menanyakan kepada penyanyi AKA, Utjok, apakah bandnya tidak mau tampil di TVRI atau memang tidak pernah diminta.

“Sebetulnya kami pernah diminta muncul untuk membawakan lagu-lagu dari rekaman volume II AKA (grup musik Apotik Kaliasin). Tetapi kami menolak karena harus menjepit dan mengikat rambut kami. Kami maunya yang apa adanya saja. Kalau memang rambutnya gondrong ya biarkan saja begitu. Tidak usah ditutup-tutupi,” ujar Utjok dalam ‘Wawancara dengan Dedengkot AKA’ yang terbit di majalah Midi edisi 15 September 1973.

Baca Juga:

Aroma Orde Baru dan Razia Rambut Gondrong di Sekolah

Padahal Hanya Gondrong

Dangdut, Irama Orang-orang Bawah

Share: Dilema Seniman Gondrong Tahun 1970-an