Eksklusif

Aroma Orde Baru dan Razia Rambut Gondrong di Sekolah

Manda Firmansyah — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi rambut gondrong

“Gondrong itu hanya style, bukan hal yang perlu dilarang. Sekarang preman malah jarang gondrong”
– Fredy Santoso

Fredy Santoso (27) masih ingat betul cuma bisa pasrah saat rambutnya kena razia guru. Kekesalannya meledak-ledak, tetapi hanya bisa dipendam. Di kepalanya, kenapa pula sekolah mengatur gaya rambut murid?

Kala itu, Fredy masih berstatus pelajar. Dan, pertanyaannya tak kunjung terjawab. Unek-unek itu mengganjal isi kepala Fredy selama duduk di bangku sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.

“Enggak masuk akal juga anak sekolah disamaratakan rambutnya. Rambut itu lebih ke arah privasi, aturan sekolah aneh,” ujar Fredy saat dihubungi Asumsi.co baru-baru ini.

Fredy terus merawat mimpinya untuk bisa gondrong.

Tentu saja seharusnya kamu sepakat dengan pepatah yang menyebut: Bermimpilah sebanyak-banyaknya, setinggi-tingginya. Apabila bunga tidurmu berguguran, kamu akan baik-baik saja. Kamu tetap bisa bernapas dan melanjutkan kehidupan.

Setelah lulus sekolah, Fredy tak mau buang-buang waktu. Ia langsung memanjangkan rambut alias gondrong.

“Ketika kuliah, sudah bisa, langsung saja gondrong, sampai kerja, bahkan, sampai menikah gondrong,” ujar Fredy.

Beda sekolah, tapi kisah sama. Apa yang dialami Fredy, juga dilalui Najib Zahro’u (26).

Lulus sekolah Najib memutuskan untuk gondrong. Najib mengaku tak mengerti kenapa anak sekolah tak boleh abai dengan gaya rambut.

Padahal, di matanya, laki-laki dengan rambut gondrong terlihat keren. Setelah menuntaskan sekolah menengah atas, Najib memulai perjalanannya sebagai mas-mas Gondrong di Surabaya.

“Kalau dulu (jaman kuliah) itu lebih ke lingkungan, orang-orang kan semua gondrong rambut, terutama melihat kakak tingkat semua gondrong. Noe Letto, dulu aku senang banget. Sabrang itu, melihat mereka kok keren ya. Stylenya nyantai. Rambut gondrong,” ujar Najib saat ngobrol dengan Asumsi.co.

Kuasa Orde Baru
Di masa Orde Baru, pelajar mengadakan aksi unjuk rasa untuk menanggapi permasalahan di sekolah maupun situasi politik nasional.

Douglas Kammen dalam ‘Rehearsals for Employment: Indonesian School Kids on Strike in the 1990s’ yang terbit di Jurnal Indonesia edisi Oktober 1995, menulis, selain memprotes kualitas pendidikan dan pengutusan biaya sekolah, pelajar sekolah menengah (SMP/SMA/SMK/STM) juga memprotes segala macam aturan.

Aturan seperti larangan memakai parfum, celana ‘cutbray, ikat pinggang besar, hingga rambut gondrong turut menjadi agenda protes. Bahkan, jumlah aksi unjuk rasa murid sekolah menengah terus meningkat dari tahun 1987 hingga tahun 1994.

Menurut Aria Wiratma Yudhistira dalam buku ‘Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an’, pelajar sekolah menengah merupakan yang paling terkena getah akibat aksi-aksi anti rambut gondrong.

Misalnya, kasus Kepala sekolah SMA XIX Jakarta memasang pengumuman yang melarang murid berambut gondrong mengikuti ujian pada Agustus 1973. Nama-nama murid-murid yang berambut gondrong tersebut ditampilkan pula pada papan pengumuman.

Lalu, kasus 40 murid SMA 1 di Medan dikeluarkan karena melarikan diri saat upacara bendera untuk menghindari razia rambut gondrong pada September 1973. Akan tetapi, hanya 9 murid yang dikeluarkan. Sedangkan 31 murid lainnya dikecualikan karena mereka merupakan anak pejabat.

Orde Baru memaksakan kekuasaannya kepada anak muda dengan mengatur rambut. Ide pengaturan rambut anak muda dapat ditilik dari karakter penguasa Orde Baru yang membayangkan negara sebagai sebuah keluarga.

Dalam budaya politik Indonesia pada masa Orde Baru, negara dibayangkan sebagai sebuah keluarga. Bapak sebagai kepala keluarga yang berperan membimbing. Sedangkan Ibu menghormati suami dan merawat anak-anaknya.

Aria Wiratma Yudhistira menilai, dalam bayangan negara sebagai sebuah keluarga, penanganan masalah rambut yang tampak sepele menunjukkan kerenggangan antara orang tua (pemerintahan) dengan anak-anak muda.

Kemungkinan aspirasi pengaturan rambut gondrong anak muda berasal dari Tien Soeharto sebagai seorang Ibu dalam konsepsi kekuasaan Orde Baru. Hal tersebut tercermin dari bagaimana Tien Soeharto menyukai kerapian rambut.

Dalam buku 34 Wartawan Istana Bicara tentang Pak Harto, Tien Soeharto pernah menegur wartawan yang gondrong dan memintanya segera mencukur rambutnya.

Sedangkan representasi Bapak dipertontonkan Soeharto dengan memerintahkan ABRI dan pegawai negeri mengeluarkan instruksi untuk melarang laki-laki membiarkan rambutnya gondrong. Dari ABRI dan pegawai negeri, aturan pelarangan gondrong diikuti pula sekolah-sekolah hingga TVRI.

Baca Juga:

Dangdut Terus Berevolusi

Tahun Politik Datang, Dangdut Berdendang

Saat Alunan Dangdut Berkelindan di Antara Kita

Share: Aroma Orde Baru dan Razia Rambut Gondrong di Sekolah