Eksklusif

Tahun Politik Datang, Dangdut Berdendang

Muhammad Fadli — Asumsi.co

featured image

Para politikus telah menemukan pasangan yang tepat untuk membalut kampanye mereka lebih menarik. Sosok itu namanya dangdut.

Dunia politik dan panggung dangdut sudah berkawan lama. Menurut berbagai catatan, dangdut punya tempat spesial di politik Indonesia sejak Pemilu 1977.

Coba bayangkan kampanye politik tanpa dangdut. Jika bayanganmu kampanye akan mengerikan, hanya penuh dengan janji-janji dan pidato-pidato, visualisasi kita sama.

Muhammad Sholeh pandai betul melihat peluang. Lewat grup musik Orkes Melayu Selera Rakyat (OM SERA), ia menjadikan dangdut dan politik sebagai ladang cuan.

Ia tak mau ikut pusing harus memilih siapa yang boleh dan yang tidak bisa menjadikan OM SERA sebagai senjata kampanye. Di mata Sholeh, setiap kampanye adalah sama. Asalkan harga oke, OM SERA bakal menggung seasik-asiknya, sebaik-baiknya

“Iya, kami tergantung budged-nya. Kami tidak terbawa siapa yang nyewa, enggak. Siapa yang membutuhkan, kalau deal ya jalan. Bukan terpengaruh politiknya,” ujar Sholeh saat berbincang dengan Asumsi baru-baru ini.

“Saya enggak terjun ke politik. Jadi, semua (aturan sewa untuk) partai juga begitu,” imbuh Sholeh mantap.

Tahun politik datang, OM SERA bergoyang. Sholeh bilang partai-partai seperti Golkar, Gerindra, PKM dan beberapa partai lain pernah memakai jasanya. OM SERA dibawa berkeliling ke berbagai titik di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Panggung di daerah Solo, Boyolali, Madiun hingga Sragen sudah pernah dicicipi OM SERA.

Bukan hanya melayani partai, OM SERA juga pernah dipakai politisi-politisi beken semacam Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa hingga Eks Gubernur Jatim Soekarwo alias Pakde Karwo.

“Mereka itu juga sering memakai OM SERA. Tetapi bukan orangnya sendiri, tetapi tim-timnya yang mengundang OM SERA, gitu,” ujar Sholeh.

Sholeh tak mengungkap berapa biaya sewa OM SERA untuk manggung di level pilkada. Namun, untuk level pilpres, sekali manggung OM SERA mematok harga Rp75 juta. Harga digoyang artinya penonton batal berdendang.

Soal harga jasa, Pedangdut Pantura, Eka Widyawati alias Eka Ariana punya pendapat serupa. Top 4 di ajang Dangdut Pantura 5 salah satu tv swasta itu mengaku senang bila diajak manggung di acara politik. Sebab, persoalan budget lebih jelas.

“Artinya kalau orang-orang politikus, orang penting itu mereka akan paham dengan rate, kualitas. Gitu. Kalau orang-orang kampung itu mungkin karena merasa ‘wonge dewek’, orang sendiri, putri daerah. Jadi artinya udahlah jangan mahal-mahal gitu,” ujar Eka kepada Asumsi.

Politik dan Dangdut Rhoma Irama

Rhoma Irama punya catatan manis soal dangdut dan politik. Pada Pemilu 1977, ia berhasil menjungkalkan suara Partai Golkar dan PDI di wilayah Jakarta. Kala itu, Rhoma merupakan Juru Kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Aksi Rhoma, membuat PPP memperoleh suara tertinggi di Ibu Kota.

Setelah menjajal PPP, Rhoma memutuskan vakum dari dunia politik. Tak terendus radar, perjalanan Rhoma berlabuh ke Partai Golkar. Bahkan ia menjadi salah satu Juru Kampanye Golkar di Pemilu 1997.

Setelah reformasi 1998, pergerakan Rhoma di dunia politik tak begitu terlihat. Namun, pada Pemilu 2004, Rhoma sempat manggung untuk partai politik. Uniknya, saat itu Rhoma harus manggung untuk dia partai berbeda dalam sehari di Jakarta, Selasa (30/3/2004).

Bersama Soneta Group, Rhoma menghibur massa pendukung Partai Keadilan Sejahtera di pagi hari. Kemudian ia beralih ke panggung Partai Bintang Reformasi (PBR) di sore harinya.

Karir Rhoma tak bisa dibilang stagnan. Sebab, pada Pemilu 2014, Rhoma sempat menjadi kandidat calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bukan hanya sebagai capres, PKB menyulap Rhoma menjadi juru kampanye nasional. Namun, cerita tak berujung manis. Sebab, PKB melirik Joko Widodo.

Masih merasa belum cukup, Rhoma bikin partai pada 2015. Partai Idaman. Namun, Partai Idaman tak berbicara banyak. Apalagi usai dinyatakan tidak memenuhi syarat kelolosan untuk mengikuti Pemilu 2019.

Partai Idaman kawin dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Di PAN, Rhoma Irama kembali menjadi juru kampanye. Ia menjadi corong suara untuk pasangan capres dan cawapres 2019, Prabowo-Sandiaga Uno. Kini Rhoma kembali ke cinta lamanya, Golkar.

Tak hanya di level nasional, Rhoma juga tercatat pernah kampanye untuk level daerah.

Pada 2016, Rhoma sukses memeriahkan kampanye Salim S Mangga-Hasanuddin Mas’ud di Pilgub Sulawesi Barat. Rhoma menggoyang massa dari kabupaten Majene, Mamasa hingga Mamuju.

Kemudian pada 2018, Rhoma Irama juga mengisi acara kampanye Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak untuk Pilgub Jawa Timur. Pada gelaran yang sama, pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno juga menggandeng penyanyi dangdut, yakni Via Vallen dan Nella Kharisma.

Di Balik Kemesraan Dangdut dan Politik

Peneliti musik dangdut, Rubiyanto melihat dangdut memiliki kemampuan untuk mengumpulkan massa. Ia mengamini, awalnya dangdut identik dengan masyarakat kelas bawah.

Rubiyanto tak menampik soal peran Rhoma Irama membawa dangdut ke politik di era 1970-an. Menurut Rubiyanto, sejak lama dangdut bisa menyelinap ke semua partai, baik nasionalis maupun religius.

“Dangdut masuk ke semua golongan. Siapapun bisa menggunakan dangdut untuk menggaet massa, simpati. Supaya memilih partainya, atau orangnya. Itu hal yang wajar,” ujar Rubiyanto.

Bagi Rubiyanto dangdut terbukti efektif menarik massa. Namun, untuk menarik pemilih itu persoalan lain.

Terlepas dari seberapa banyak pemilih yang bisa digapai, dangdut terus menjadi magnet bagi politikus. Alasannya sederhana, karena masyarakat merasa dekat dengan dangdut.

“Kalau persoalan percintaan semua orang merasakan cinta, masalah selingkuh semua orang merasakan ada persoalan perselingkuhan, dari strata paling bawah sampai atas. orang hidup susah di rumah mertua, itu juga sama, orang di atas sama dan di bawah juga sama. atau misalnya begadang juga ada. jadi lirik dari suatu lagu adalah general,” ujar Rubiyanto.

“Universal. Nah, lirik yang ada di dangdut itu narasi-narasi, bahasa yang umum yang mudah dicerna, tidak perlu mikir, tidak perlu, tidak terlalu puitis. tapi filosofi. Nahh itu, tidak puitis tapi filosofi, Rhoma Irama itu begitu,” imbuh Rubiyanto.

Senada dengan Rubiyanto, Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah dangdut hanya mampu bicara sebatas mengumpulkan masa. Bila menyinggung seberapa banyak pemilih yang bisa digapai itu urusan lain.

“Sebenarnya tidak ada korelasi dangdut dengan pilihan pemilih. Dangdut itu dijadikan ajang untuk mengumpulkan massa, lalu dalam agenda itu bisa dengan mudah disampaikan misi dan visi kandidat, baik perorangan maupun partai,” ujar Dedi saat dihubungi Asumsi.

Sementara menurut Pengamat Politik Arif Nurul Imam, dangdut hanya menjadi alat politikus menarik massa. Alasannya, biaya menggunakan dangdut lebih murah ketimbang metode lain.

“Dangdut efektif untuk mengundang masa. Yang itu secara perhitungan kalkulasi politik lebih murah ketimbang memobilisasi masa. Mengundang orkes Rp50 juta itu massa udah ribuan yang datang. Coba kalau memobilisasi, costnya per orang seratus ribu saja bisa dikalkulasikan,” ujar Arif kepada Asumsi.

Menurut Arif, para politikus dan partai politik membutuhkan massa di setiap acara terbuka. Sebab, hal itu sebagai bukti kekuatan.

“Fungsi dangdut adalah ketika politisi atau partai politik punya kegiatan itu masa harus banyak, supaya unjuk kekuatan, Kalau kemudian jadi pendukung ya enggak juga, belum tentu juga. wong dia datang itu karena butuh hiburan gratis,” ujar Arif.

Baca Juga:

Saat Alunan Dangdut Berkelindan di Antara Kita

Dangdut, Irama Orang-orang Bawah

Euforia Band Rock 1970-an

Share: Tahun Politik Datang, Dangdut Berdendang